Pada kesempatan ini, redaksi dengan sengaja ingin membagikan pengantar dari buku yang menarik berjudul “Sekolah Tanpa Jurusan”, yang ditulis oleh Gernata Titi, seorang Fasilitator di SMA Eksperimental SALAM. Sebagai pengantar, peran Gernata Titi tidak hanya sebagai penyambung kata, tetapi juga sebagai pemandu bagi para pembaca dalam memahami esensi dari karya yang akan dijelajahi.
Namun, sebelum kita memasuki substansi buku, redaksi ingin menghadirkan pengantar yang sangat berharga yang disusun oleh Roem Topatimasang. Beliau adalah seorang praktisi Pendidikan, pendiri INSIST, Penulis Buku “Sekolah Itu Candu”, dan penerjemah Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” karya Paulo Freire. Melalui pengantar yang akan kami unggah secara bersambung ini, Roem Topatimasang memberikan pencerahan yang cukup mendalam.
Pengantar ini memiliki dimensi panjang, mengisyaratkan bahwa kita akan dihadapkan pada pemikiran yang kompleks dan mendalam. Roem Topatimasang, sebagai figur yang berdedikasi pada dunia pendidikan, memberikan landasan filosofis yang kokoh melalui karyanya “Sekolah Itu Candu”. Dengan demikian, pembaca diundang untuk merenungi dan memahami betapa pentingnya menggali lebih dalam dalam dunia pendidikan.
Setelah membaca tulisan ini, redaksi ingin mengajak para pembaca untuk segera mengeksplorasi buku tersebut. Jika Anda belum sempat membaca “Sekolah Tanpa Jurusan”, mari segera memperolehnya. Apabila buku tersebut belum ada di tangan Anda, segera lakukan pemesanan. Kehadiran buku ini tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga merupakan undangan untuk menjelajahi filosofi pendidikan yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, mari bersama-sama meresapi dan mengapresiasi setiap helaian kata yang membawa kita ke dalam dunia “Sekolah Tanpa Jurusan”. (Red)
Ada enam remaja usia belasan tahun ingin tahu tentang enam hal yang berbeda pula. Ada yang ingin tahu tentang proses produksi tenun pewarna alami. Ada yang ingin tahu tentang kerajinan daur ulang. Ada pula yang ingin tahu tentang dasar-dasar bisnis kuliner. Salah seorang dari mereka yang sejak kecil mengalami masalah mental (down syndrome), ingin belajar musik kolaboratif. Bahkan, ada dua orang yang minatnya sangat khas: satu orang ingin belajar tentang masakan Jawa berbahan dasar daging kambing dan ikan laut, satu orang lagi berminat mempelajari dasar-dasar bahasa Korea!
Nah, bagaimana caranya memenuhi semua keingintahuan mereka itu pada masa atau rentang waktu bersamaan? Bagi para ‘guru’ di sekolah-sekolah yang kita kenal selama ini, pertanyaan itu mungkin akan membuat pening sepuluh keliling. Bahkan, sangat mungkin mereka akan menjawab kalau itu mustahil dilaksanakan, apalagi jika harus berpegang kaku pada tuntutan kurikulum resmi dan metode baku yang dipraktikkan di sekolah-sekolah yang sudah lazim. Tapi, bagi para ‘fasilitator’ Sanggar Anak Alam (SALAM) di Bantul, Yogyakarta, itu praktis bukan masalah lagi, tapi suatu keharusan, bahkan suatu asas (prinsip). Mereka memang sudah terbiasa menjalankan peran ‘memperlancar’ (facilitating) berbagai keingintahuan yang berbeda atau minat belajar yang sangat beragam dari setiap anak dan remaja di SALAM. Meskipun, untuk mencapai taraf kemampuan tersebut, mereka telah melalui satu proses panjang yang tak mudah sama sekali, termasuk tak luput dari berbagai kesalahan yang lumrah, selain juga menghadapi beragam kendala yang tak ringan.
Ya, tapi bagaimana mereka melakukannya? Baik, bacalah dengan cermat buku ini dari awal sampai akhir. Anda akan menemukan uraian yang cukup rinci tentang proses pendidikan yang berlangsung di ‘sekolah tak lazim’ di Kampung Nitiprayan itu: mulai dari perencanaan hingga praktik pelaksanaan, penyajian temuan atau pembahasan hasil, serta penilaian dan pemaknaan (evaluasi dan refleksi) atas keseluruhan proses dan hasil tersebut. Semuanya dilakukan bersama dengan anak-anak dan remaja yang pilihan tema pelajaran dan cara mereka mempelajarinya sangat beragam dan saling berbeda satu sama lain. Bahkan para orang tua anak-anak dan remaja itu pun terlibat dalam keseluruhan proses tersebut, sesuatu yang tak akan dijumpai di sekolah-sekolah biasa. Namun, anak-anak dan remaja itu sendiri tetap sebagai ‘pelaku utama.’ Minat mereka, bukan keinginan para orang tua dan fasilitatornya, menjadi acuan pertama dan utama. Intinya, anak-anak dan remaja SALAM berdaulat penuh, merdeka menentukan sendiri tema utama (pokok bahasan) yang ingin mereka ketahui atau pelajari, cakupan dan batasannya, sumbersumber informasinya, cara dan media (alat) untuk mempelajari dan menyajikan hasilnya, bahkan juga tolok ukur (kriteria) dan penanda (indikator) penilaian keberhasilan atau kegagalan mencapainya.
‘Kurikulum Merdeka’? Sudah, lupakan saja semboyan yang kian gencar dan latah dikumandangkan oleh para pegawai pemerintah bidang pendidikan tersebut. Itu cuma istilah yang bikin gaduh. Dalam kenyataannya, kurikulum itu disiapkan oleh satu tim khusus para ‘pakar’, bukan oleh anak-anak sekolah yang justru akan menjalani praktik pemberlakuannya nanti. Kata para pakar itu, ruang lebih terbuka disediakan bagi anak-anak sekolah untuk memilih mata pelajaran dan bidang kajian yang mereka minati. Selain itu, berbagai aturan dibuat lebih pegas (flexible) yang akan membuat para pelajar, misalnya, bisa mengubah pilihan awal mereka atau bahkan pindah sekolah secara lebih mudah. [] Bersambung……..
Pendiri INSIST, Penulis Buku “Sekolah Itu Candu”, Penerjemah Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” Paulo Freire
Leave a Reply