Ketika dalam Robohnya Surau Kami, A.A. Navis memasukkan Haji Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka, sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan yang tak ia “restui”. Navis sedang menggugat kesalehan ritual: jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan seberapa sering salat sunat ia lakukan.
Pendek kata, kesalehan itu ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, untuk ini ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas buat menilai kredibilitas moral orang lain. Ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain. Islam bukan agama individual. Ajaran yang dibawa Gusti Kanjeng Nabi Muhammad itu, dari “atas” memang dirancang buat rahmat bagi semesta alam. Orang yang paling saleh pun dengan demikian tak punya hak monopoli atas agama itu.
Kita tak berhak menentukan tingkat kesalehan tetangga sebelah. Dan tak satu pun di antara kita punya wewenang “mengontrol” ibadah orang lain. Terutama bila hal itu disertai sikap sinis dan cemooh, seperti Haji Saleh dalam Robohnya Surau Kami itu. Kita tahu Bang Navis orang Minang dan ia sedang bicara tentang situasi kultural Minang. Tapi corak keagamaan itu tak dengan sendirinya cuma milik orang Minang. Di Jawa pun, pada saat yang sama, tiga puluhan tahun yang lalu, ketika perpecahan ideologi kultural kuat mewarnai kehidupan masyarakat, gejala serupa juga menonjol. Terjadinya polarisasi santri-abangan, sebagaimana dirumuskan Clifford Geertz, adalah produk zaman tersebut.
Namun juga tak berarti cuma milik zaman itu. Sekarang pun, setelah tiga puluhan tahun yang berlalu, kecenderungan agamis seperti itu toh masih juga terasa. Maka pada tahun 1980-an, ketika Gus Dur giat menganjurkan agar kita istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang batalnya wudlu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani, ia seperti memberi jawaban atas persoalan yang merunyamkan A.A. Navis tersebut.
Dengan kata lain, Gus Dur sedang berbicara tentang kesalehan sosial: suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praksis hidup keseharian kita.
Orang semacam Gus Dur dan mayoritas umat yang miskin tentu saja juga memerlukan penyelamatan sorgawi seperti Haji Saleh itu. Bedanya, Haji saleh mengesankan sikap hidup egoistis, ingin mencari selamat sendiri, sedangkan Gus Dur tampak altruis , ingin menikmati penyelamatan sorgawi bersama umat. Kalau boleh, mungkin mau masuk sorga dengan sandal kulitnya itu sekaligus.
Kecuali itu, Haji Saleh yakin bahwa sorga bisa digapai dengan kesalehan ritual. Gus Dur melihat bahwa sorga justru (setelah melihat konteks sosio-ekonomis umat yang compang-camping) harus lebih diraih dengan kesalehan sosial. Usahanya “menerobos” pintu Bank Summa untuk melakukan kerja sama ekonomi dengan membuka BPR, misalnya, jelas mempertegas wawasan keagamaannya.
Dalam kitab suci disebutkan bahwa sorga itu ada tingkatan-tingkatannya. Tanpa menodai ajaran, saya sering menafsirkan bahwa rasanya, sekarang pun saya sudah menikmati sebagian kenyamanan sorga itu. Maka, tafsiran saya selanjutnya, sorga bagi rakyat kecil, mayoritas umat yang miskin tentu juga sederhana tingkatannya: yakni sekadar buat pemenuhan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan). Buat kebutuhan rohani, (membaca salawat buat Kanjeng Nabi, maupun segala puja dan puji kepada Allah) tentu dirasa sebagai kebutuhan luks. Dus, belum merupakan kebutuhan primer.
Tafsiran serupa saya dengar pernah dibuat oleh seorang pastur muda yang arif. Sehabis mengkhotbahi habis-habisan para “domba” yang miskin, ia antar mereka pulang. Di tengah nyala obor, di sepanjang jalan licin dan becek di daerah Malang, terjadilah dialog antara sang pastur dan dan para jemaahnya. Sang pastur kemudian menyimpulkan: saya ini keliru. Kongkret, mereka butuh makan. Tapi saya beri mereka cerita tentang sorga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa … Pemikiran keagamaan seperti ini ternyata juga bukan monopoli kaum terpelajar, seperti Romo Pastur muda tadi. Di Desa Ciater, Serpong, tempat saya melakukan penelitian tentang hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi, saya temukan seorang haji tua, pedagang kecil, yang beranggapan bahwa kesalehan itu terletak dalam praksis, bukan dalam doa-doa.
Ketika saya tanyakan kepadanya, orang yang bagaimana yang disebut sebagai orang saleh, Haji Asnen bin Haji Thalib itu menjawab: “Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha,” katanya. Baginya, kedua hal itu harus diseimbangkan. Namun, jika ia harus memilih, ia akan lebih memilih yang kedua dulu. “Mengapa?” tanya saya. “Karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawab kongkret: kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari usaha.” katanya lagi. “Doa mah kaga enak dimakan,”
Dengan kata lain, haji dari Betawi ini pun sedang bicara bahwa dalam kondisi tertentu, kesalehan sosial terasa agak lebih, dan karena itu perlu didahulukan dari kesalehan ritual. Dengan begini, gugatan Navis kini terasa berdengung kembali dan memperoleh lagi relevansinya. Bukan haji kalau ia tak bisa memperkuat argumentasinya dengan contoh kuat. Maka, Haji Asnen pun mengutip sebuah Hadis. Katanya, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Kanjeng Nabi. “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”
“Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Kanjeng Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut.
“Kakaknya itulah yang layak disebut saleh,” sahut Kanjeng Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya.
Ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan, jadinya, lalu dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial. Tentu saja, hanya kesalehan sosial yang bisa diukur dengan cara seperti itu.
Dalam agama, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap hamba. Kita, pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya, secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya saleh juga.
Maka, betapa pun pahitnya harus diakui bahwa memang, silang selisih antara mereka yang lebih menggarisbawahi kesalehan ritual dengan mereka yang lebih memilih kesalehan sosial masih bisa terjadi terus-menerus. Ini tak menjadi soal. Sebab, bukankah silang selisih itu sendiri merupakan sebuah dialog untuk mencapai takaran ideal itu juga?
Kolumnis, Budayawan
Leave a Reply