Ditulis oleh dr. Ilsa Nelwan MPH. Penulis adalah dokter yang menyelesaikan master of Public Health (MPH) Field of Study Epidemiology, Columbia University School of Public Health di New York. Penulis pernah bekerja di World Health Organization (WHO) Asia Tenggara sebagai Health Systems Regional Advisor. Bersama Noer Fauzi Rachman PhD menulis buku Memahami Krisis serta Kemelut Pandemi COVID-19 (Yogyakarta, Insist Press, akan terbit).
Pada 28 Juni 2021 di tingkat global telah dicatat hampir 182 juta kasus, penambahan 70 juta kasus baru 3,9 juta kematian dan 166,4 juta kasus pemulihan. Dari sumber terpercaya “our world in data “ data Indonesia jumlah kasus COVID-19 yang terlapor adalah 2.1 juta, kematian 57.5 ribu, dan pulih 1.9 juta.
Data ini perlu dibaca dengan hati hati, pemodelan kasus dari Imperial College menyatakan di Indonesia kasus yang sebenarnya adalah delapan kali lipat yang terlapor. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan penduduk besar seperti India ternyata kasus konfirmasi dalam dua minggu di Indonesia 746 per satu juta penduduk lebih tinggi dibandingkan India yang memiliki 557 kasus konfirmasi per satu juta penduduk. Memang sejak akhir Mei peningkatan kasus COVID-19 sangat tinggi, peningkatan kasus COVID-19 lebih dari 110 persen. India pertambahan kasusnya minus 50 persen, artinya ada penurunan jumlah kasus yng cukup besar.
Kerugian ekonomi global diperkirakan sekitar 12 trilyun USD, terjadi kemunduran cakupan imunisasi global menjadi keadaan 25 tahun yang lalu. Imunisasi rutin turun 14 persen, 37 juta orang jatuh miskin, resesi dunia yang parah, dan meningkatkan kesenjangan kaya – miskin, negara kaya-negara miskin.
Mengapa grafik pertambahan kasus baru di Indonesia terus meningkat?
Faktor pertama adalah kemampuan testing yang terbatas. Sampai akhir juni 2021 Indonesia baru mentest 0.26 per 1000 penduduk jauh lebih rendah dibandingkan India 1.28/1000 penduduk. Rendahnya testing ini juga terlihat dari masih tingginya positivity rate, jumlah kasus positif diantara kasus suspek yang di test PCR. Indonesia masih memiliki positivity rate 19.3/100. Di tingkat nasional positivity rate ini meningkat tajam pada bulan Juni. Namun persentase sampel positif hanya bisa diinterpretasikan baik bila ada surveilans dan testing dengan standar satu per 1000 penduduk per minggu. Deteksi kasus minimum ini dalam tiga
minggu terakhir hanya dicapai oleh DKI Jakarta, Yogyakarta, Sumatra Barat dan Riau. Namun diantara provinsi provinsi ini pun belum ada yang mencapai 5/100 positivity rate sebagai salah satu tanda keberhasilan pengendalian wabah. Peningkatan kemampuan laboratorium masih perlu dilengkapi dengan ketersediaan reagens dan tenaga laboratorium terampil.
Kedua, kelemahan surveilans. Pelacakan kasus yang seharusnya 30 orang untuk setiap kasus di Indonesia hanya mencapai 9 kasus, kurang dari sepertiga yang diharapkan. Jumlah kasus positif tanpa gejala yang bisa menularkan tidak terdeteksi, sementara berbagai penelitian mengungkapan bahwa sekitar 40 persen diantara yang di test PCR positif tidak bergejala. Karena tidak menampilkan gejala, maka mereka beredar sebagai vektor penular penyakit dan menambah jumlah penderita.
Cara mengakhiri wabah
Ada dua jalan. Pertama, eradikasi atau memberantas virusnya. Agak sulit dilaksanakan mengingat virus ini sudah tersebar di seluruh dunia. Jalan kedua dengan menekan penularan virus COVID-19 ini, disebut eliminasi, melalui mencegah penularan dengan intervensi 3M, mencari dan menetapkan pengobatan spesifik dan vaksinasi COVID-19. Ternyata instruksi atau himbauan pemerintah untuk 3M belum bisa diikuti oleh seluruh masyarakat, karena kurangnya pemahaman tentang COVID-19. Pencapaian vaksinasi COVID di Indonesia: Sampai dengan 26 Juni Indonesia telah mencakup 14 /100 penduduk dengan vaksinasi pertama COVID-19, sedangkan vaksinasi lengkap Indonesia 4.7 /100 penduduk artinya ada drop out rate lebih dari 9 persen. Ini penting untuk menindak lanjuti cakupan vaksinasi, orang yang menerima vaksinasi pertama jangan sampai tidak menerima vaksinasi kedua. Perlu diingat bahwa kita perlu mencapai 70-80 persen penduduk agar terbentuk kekebalan kelompok.
Kerjasama baru berdasarkan komunikasi risiko dan pendekatan ilmiah
Simulasi vaksinasi yang dimuat dalam laporan “Goal Keepers 2020” dari Gates Foundation menarik dalam upaya global untuk meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19 untuk menghentikan pandemi ini: Bila semua negara menerima tiga milyar dosis vaksin yang 80 persen efektif proporsional pada populasinya akan bisa mengurangi kematian 61 persen, sedangkan memberikan dua milyar dosis vaksin pada 50 negara terkaya hanya akan mengurangi kematian 33 persen. Jelaslah bahwa imbauan WHO untuk kerjasama global dalam vaksinasi akan menguntungkan semua.
Untuk melaksanakan cakupan vaksinasi yang cukup tinggi agar segera membebaskan dunia dari pandemi ini, WHO mengajak negara negara anggota untuk bersama sama meningkatkan pemerataan vaksinasi melalui COVAX yang secara khusus akan mengadakan vaksin untuk 20 persen kebutuhan dunia, menyebarkan dan mengelola secara aktif portfolio vaksin dan mengirimkan vaksin segera setelah tersedia.
Dalam wabah COVID-19 ini juga sering kita dengar/lihat kabar bagaimana masyarakat menolak perawat dari tempat kosnya, menolak penguburan penderita COVID sesuai prosedur tetap rumah sakit dengan menjemput paksa jenazah COVID dari RS, juga ada keluarga yang sedang menjalankan isolasi mandiri diusir dari lingkungannya. Hal ini didasari oleh ketidak pahaman tentang COVID-19, diikuti oleh ketakutan dan kebiasaan mendiskriminasikan orang yang berbeda.
WHO menyatakan pentingnya “komunikasi risiko”, yaitu “pertukaran informasi nasihat atau pendapat real time di antara ahli dan orang banyak yang tengah menghadapi ancaman pada kesehatan, ekonomi atau kesejahteraan sosial mereka“. Kepercayaan publik perlu dijaga dengan memberikan informasi yang transparan, memberitahukan data yang akurat, bahkan menyatakan tidak tahu kalau informasi yang dibutuhkan belum tersedia.
Komunikasi risiko sangat penting dalam menghadapi yang disebut infodemik. Indonesia dengan penduduk 270 juta termasuk di antara beberapa negara pemakai internet dan media sosial tertinggi di dunia (8,5 jam lebih per hari dengan pemakai internet aktif lebih 50% penduduk). Namun budaya masyarakat masih budaya lisan tidak berdasar fakta dan dibumbui oleh perasaan curiga, takut, benci. Akhirnya yang sering muncul adalah ekspresi prasangka, bullying, hingga kekerasan verbal dan tulisan dalam berbagai manifestasinya.
Perlu diperkenalkan pendekatan ilmiah memahami dan menghadapi COVID-19 ini mengimbangi pendekatan keamanan dan pertahanan, untuk mempercepat penurunan penularan COVID-19 dengan menggunakan jejaring pelayanan kesehatan primer dan pendidikan termasuk melalui media sosial. Kenali sifat virus dan terapkan cara cara yang sudah terbukti menghentikan penularan. Pemerintah harus terus melakukan langkah langkah 3 T :Testing, Tracing dan Treatment ( melakukan test, melacak kasus dan merawat kasus) serta mengisolasi kontak. Perlu diterapkan prinsip kesetaraan karena virus tidak mengenal batas negara, perbedaan agama, pendapatan, kedudukan maupun pendidikan. Satu orang saja yang rentan terjangkit COVID penularan terus terjadi. Karena kesehatan adalah hak asasi, perlu ditingkatkan akses pada kelompok rentan agar tidak terlalu jauh dibandingkan akses pada kelompok yang kuat dari segala aspek.
Perlu juga dikenal konsep One Health, yang mempromosikan adanya masalah kesehatan terkait hubungan saling pengaruh kesehatan hewan-manusia-lingkungan. Pendekatan One Health ini digunakan dan dipromosikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (World Organisation for Animal Health, beserta berbagai organisasi internasional lain (WHO, FAO dan OIE 2019). Pendekatan One Health dan Ecohealth merupakan hasil kerja kolaborasi global untuk memahami ancaman dan risiko kesehatan dari hubungan hewan-manusia-lingkungan dengan memperhatikan patogen zoonosis, yang berasal dari binatang liar maupun binatang peliharaan yang dikembangbiakkan oleh manusia, serta perubahan lingkungan secara menyeluruh.
Mungkin sebaiknya kita tidak mengharapkan virus pergi dan kita kembali ke keadaan sebelum COVID-19, karena apa yang dilakukan sebelum COVID-19 itulah yang menyebabkan dan memperluas wabah menjadi pandemi.
Arahan dari kepemimpinan sektor kesehatan dan kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan, juga kerjasama berbagai kelompok professional membantu pemerintah dan jajaran kesehatan publik agar bisa menggerakkan bahu membahu mempercepat penurunan wabah ini. Dalam jangka panjang publikasi WHO (2020) berjudul “WHO manifesto for a healthy recovery from COVID-19” penting untuk dirujuk. Publikasi ini mengetengahkan pentingnya menjaga dan melestarikan alam yang menjadi sumber kesehatan manusia, menginvestasi pelayanan esensial, mempromosikan sistem pangan sehat yang lestari, membangun kota sehat yang nyaman untuk dihuni serta memberikan subsidi pada pengguna energi baru dan terbarukan. Sesungguhnya untuk kesejahteraan hari esok pembangunan ekonomi perlu sejalan dengan ekologi agar mencegah epidemi dan pandemi lain. []
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply