Semua jenis ilmu milik Tuhan. Para ilmuwan memanggul kewajiban membantu Tuhan menegakkan kemanusiaan, kebenaran dan keadilan di bumi. Ilmuwan memanggul ke sana ke mari peran suci untuk melindungi orang-orang yang lemah. Mereka selalu membela orang-orang lemah itu sebagai dharma hidup. Dharma ini dilaksanakan dengan suka cita. Menjadi ilmuwan, orang berilmu, tak bisa berpangku tangan begitu saja.
Banyak peran ilmuwan. Mereka juga menjadi penyambung lidah rakyat. Lidah tak bisa berbicara tanpa ilmu. Di bidang hukum, cara ilmuwan menjalankan panggilan sucinya tampak khas. Usaha mereka menegakkan keadilan membuat para ahli hukum, atau ilmuwan di bidang hukum, memiliki semangat perjuangan yang begitu menggetarkan: keadilan harus ditegakkan biarpun langit akan runtuh.
Selama ahli hukum masih bisa melakukannya, mungkin dalam hitungan detik, penegakan hukum wajib diperjuangan. Jika langit sudah runtuh dan para ahli hukum tak lagi berdaya, lain lagi soalnya. Dalam situasi seperti itu kita tak lagi berbicara mengenai keadilan. Mungkin kita hanya diam menanti keadilan dari Tuhan, sumber dan pemilik segala keadilan.
Janji-janji para ilmuwan untuk melaksanakan peran itu mugkin terjadi bukan di bumi. Mungkin intu semua janji di sorga loka. Di bumi, keadaan tidak sama dengan di sorga.
Godaan di bumi, terutama mungkin di bumi yang namanya Indonesia, banyak sekali. Godaan uang menggiurkan. Nafsu memiliki jabatan bergejolak di dalam diri manusia, seperti gejolak di samudera yang tak mudah diatasi. Godaan di bumi membuat para ilmuwan berkhianat.
Janji-janji yang dulu dijunjung tinggi kini dilupakan. Ilmuwan di bidang hukum, ahli hukum, praktisi hukum, pengacara atau pembela menyimpang jauh dari warna rohaninya sendiri. Ini kalau mereka semua masih punya sisi kehidupan rohani. Berhubung dunia ini begitu licin, orang memilih hanya yang termudah. Pilihannya jatuh pada kehidupan jasmani. Mungkin pada mulanya ini tak begitu mengenakkan. Ada pula perasaan malu. Bahkan orang masih bisa menyadari bahwa dirinya berkhianat terhadap peran utama mereka sebagai ahli hukum.
Tapi perilaku menyimpang itu juga suatu fenomena yang dipelajari. Apa yang pada mulanya tak enak, dan membuatnya merasa malu itu lama-lama menjadi terbiasa. Perilaku menyimpang yang memperoleh imblan materi membuat rasa malu itu menipis. Jika penyimpangan sudah menjadi kebiasaan dan imbalan atas tindakannya makin terasa menyenangkan, penyimpangan bukan lagi penyimpangan.
Menyimpang sudah menjadi sebutan masa lalu. Kini sebutannya kebiasaan. Dan kebiasaan itu berlangsung terus tanpa cela tanpa kesadaran akan implikasi dosa ini dan itu, dan ancaman hari akhir yang begini dan begitu. Hari akhir itu urusan nanti. Orang beriman pun bisa tiba-tiba tak begitu tertarik lagi membicarakan kehidupan di hari akhir. Orang yang saleh pun bisa saja lalu berlagak pikun: apa betul hari akhir itu ada? Kaum materialis, yang tak percaya pada apa yang tak jelas, yang bukan materi, jelas menolak apa yang tak pasti. Mereka melebih-lebihakn begitu rupa apa yang jelas dan pasti dalm hidup sekarang. Duit, kekuasaan dalam birokrasi, jabatan, kedudukan di partai politik, wibawa dan kemuliaan duniawi, lebih mempesona.
Apa gunanya memikirkan janji surga untuk hidup dalam tatanan etis dan moral maupun hukum, kalau semua itu menyulitkan? Apa gunanya taat pada janji kalau ada tawaran hidup lebih megah, dengan duit, duit dan posisi duniawi lainnya yang lebih nyata? Orang lalu mudah berkata: apa salahnya menyimpang? Siapa yang tahu bahwa kita menyimpang? Lagi pula siapa bakalan menghukum penyimpangan kita?
Lebih-lebih kalau kita bertemu orang yang juga menyimpang. Perasaan sama-sama menyimpang membuat orang bisa membangun solidaritas. Kalau orang yang menyimpang itu ingin disebut tidak menyimpang, yang salah ingin disebut benar dan kita bisa menolongnya, apa salahnya membelanya kalau honornya luar biasa besar? Honor besar itu dambaan. Dengan honor besar itu hidupnya berubah drastis menjadi orang kaya.
Orang yang bisa mengubah kita menjadi orang kaya itu layak dibela mati-matian. Disuruh apapun akan ditaati. Disuruh berbohong? Dilakukan. Apa salahnya berbohong kalau sesudah itu kita menjadi kaya raya? Disuruh menipu publik dengan berbagai manipulasi? Tidak masalah. Publik mudah ditipu dengan berbagai kebohongan. Gunakan orang berpengaruh. Ajak wartawan. Ajak siapa saja merekayasa kebohongan agar apa yang bohong dan yang tidak bohong tak mudah dibedakan. Disuruh nabrak tiang listrik pun mau. Melakukan manipulasi medik, membuat orang sehat menjadi seolah sakit parah? Mudah. Ada dokter yang bisa diajak berbuat begitu dengan berbagai dalih profesional seolah profesi lebih agung dari kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Begitu pengaruh kekuasaan dan duit.
Pengaruh orang yang kekuasaannya besar, jabatannya tinggi dan duitnyatak terhitung, lebih hebat lagi. Perintahnya untuk melakukan apapun bakal dituruti. Bagaimana kalau kita menjadi pembela– lawyer—yang bekerja dengan bingkai moral dan menjaga tegaknya profesi? Tidak ada masalah. Duit itu penting. Raihlah duit itu hari ini, selagi masih sempat. Katakan profesi tak dilanggar. Jadi kita masih berada dalam bingkai profesi terhormat. Dan duit banyak akan mampu membuat kita seolah-olah menjadi lebih terhormat.
Kalau orang yang besar kekuasaannya dan tinggi jabatannya dengan duit tak terhitung itu menyuruh kita, sebagai pembela, melawan arus kebenaran dan keadilan? Kita lakukan, Duit itu penting. Disuruh apapun, selama ada duit dalam jumlah besar, orang akan melakukannya. Disuruh menjilati telapak kakinya, menjilati sepatunya, menjilati keringatnya, akan ditaatinya. Dalih, dalil, argumen—termasuk yang konyol dan ngawur—bisa dibuat. Disuruh melakukan perbuatan lebih jorok lagi pun tak masalah. Argumen kita kelihatan konyol tak masalah pula. Kita bikin apa yang di mata orang lain kelihatan konyol itu seolah benar, lurus, suci dan mulia. Kita harus berani nekat. Berani konyol. Berani ngawur. Berani badut-badutan. Komis tebal rontok semua bukan suatu masalah. Di pasaran banyak komis palsu untuk mengganti sementara. Apa salahnya ngawur, konyol dan badut-badutan kalau honornya besar? Diteriaki orang banyak, dikutuk dan disumpahi di mana-mana? Katanya, itu risiko perjuangan. Hidup punya risiko. Lawan suara orang banyak dengan dalil-dalil yang kelihatannya benar. Keluarga, istri dan anak-anak dan orang tua maupun mertua tahu kekonyolan kita? Jelaskan dengan cara meyakinkan agar mereka paham.
Kalau mereka mengerti bahwa kita konyol sekonyol-konyolnya? Beri argumen ngawur. Dan kalau mereka masih mendebat? Lawan terus secara ngawur dan kemudian lupakan. Jangan masukkan ke dalm hati. Mungkin betul. Lagi pula hati apa? Orang senekat itu, sebohong itu dan sekonyol itu hanya melihat duit dengan akal. Hati tak lagi terlibat. Itu pun kalau dia masih punya hati.
Tak sedikit jumlah orang yang bisa dan dengan mudah,menjual jiwanya kepada setan demi kenikmatan duniawi. Bagaimana kalau semua kebohongannya segera diketahui umum, dan dia tak bisa berkelit lagi? Bagaimana kalau kita tak lagi berdaya dan di depan umum kita ibaratnya telanjang bulat dan dipermalukan? Zaman sekarang kebohongan mudah segera terbongkar. Tapi mengapa orang terus bohong? Zaman sekarang koruptor mudah ketahuan dan dipenjara dan dipermalukan. Tapi mengapa orang tetap korup dan tak lagi merasa malu?
Kebohongan segera terbongkar mungkin bukan masalah. Orang tetap melakukan kebohongan karena tak bisa melakukan yang lain, dan punya apapun lagi selain kebohongan itu. Mungkin kebohongan sudah menjadi identitas dirinya dan nama panggilannya.
Kolumnis, Budayawan
Leave a Reply