Geta: Wah, mas Aji ki Galak Banget e
“Kalau mau belajar soal inklusi, pergilah ke kelas 10” begitu kata pak Candra Muljono suatu kali saat ngobrol di kedai kopi yang dikelola oleh bu Chris Ronggo. Karena, kata pak Candra–yang juga ayah Arsa, dari KB-TA sampai kelas 12, kelas 10-lah yang paling beragam kondisi anak-anaknya.
Rupa-rupa pembelajaran di Kelas 10 SMA Eksperimental SALAM dirasa cukup unik. Lihat saja di papan tulis kelas yang berada di Rayya Atas. Di bagian atas tertulis bermacam-macam tema riset berikut step-step yang akan dilakukan oleh beberapa anak. Juga bermacam-macam tema yang biasanya dibicarakan untuk anak setingkat SMA, seperti jatuh cinta, pacaran, dan lainnya. Sementara di bagian bawah papan tulis terdapat deretan huruf-huruf dasar yang dirangkai menjadi sebuah kata. Deret huruf yang dipakai untuk mengajari anak membaca di tahap awal.
Lho masa anak SMA masih belajar huruf? Aneh nggak sih? Jawabannya adalah tidak. Itu menurut Aji Prasetyo, yang sudah menjadi warga SALAM sejak tujuh tahun lalu tapi baru bergabung sebagai fasilitator enam bulan ini.
Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan di sebuah warung kopi di bilangan Jomegatan, Nitiprayan, Kasihan, Bantul. Setidaknya lebih dari 60 menit recorder di handphone saya nyalakan. Benar-benar cerita yang panjang.
Paling banyak cerita yang muncul darinya adalah tentang siswa-siswa di kelasnya dibandingkan pengalaman pribadinya terjun ke dunia pendidikan. Baginya, masing-masing anak memiliki keunikannya sendiri.
Bagi Aji, kondisi yang beragam dalam satu kelas menjadi pengalaman baru. Aji yang memiliki latar pendidikan animasi, web dan games design ini memang masih awam dengan proses pembelajaran di SALAM meski sudah tujuh tahun mengenal SALAM. Apalagi latar belakang masing-masing anak di kelas yang diampunya bersama Budi S. Gemax dan bu Chris ini termasuk dalam kategori inklusi. Betapa tidak, masing-masing anak memiliki kisahnya sendiri.
Dia menceritakan satu per satu anak di Kelas 10 SALAM. Ada Arsa, remaja dengan kondisi autisme. Arsa juga memiliki OCD, jadi baginya semua hal harus sesuai dengan yang seharusnya. Misalnya saat dia menjahit, gunting harus berada di sisi kanannya. Arsa masuk ke SALAM sejak duduk di bangku SMP. Kala itu, lingkungan kelas sudah dikondisikan dan dibuat sedemikian rupa agar Arsa merasa nyaman. Terlebih, fasilitator SALAM sudah banyak menggali informasi tentang Arsa dari orang tuanya, mulai dari kebiasaannya, hal-hal yang membuatnya marah, sampai hal yang membuat tidak nyaman.
“Nah, di SMA ini justru sebaliknya. Berusaha mengusik sisi ketidaknyamanannya. Karena kami berharap, Arsa bisa menemukan solusinya sendiri saat berada di situasi yang membuatnya tidak nyaman,” ujar Aji.
Arsa, lanjut Aji, sering berlaku impulsif. Dia akan berteriak dan melakukan tindakan fisik, misalnya loncat-loncat atau memukul sesuatu hingga kadang menyakiti diri sendiri. Hal itu terjadi ketika OCD-nya terusik atau merasa tidak nyaman. Salah satu contohnya saat snack yang datang berupa bubur kacang hijau atau makanan yang lembek lainnya yang dia tidak suka, Arsa pasti merasa tidak nyaman dan berlaku impulsive. Tapi sisi OCD nya membuatnya harus menghabiskan makanan itu. Alhasil dia tetap memakan snack itu sambil berteriak-teriak sepanjang mengunyah.
“Saat ini Arsa sudah bisa menemukan cara untuk membuatnya tenang. Arsa memberikan sugesti pada dirinya sendiri dengan mengambil napas dalam berkali-kali dan membuat gesture tarik napas dan lepaskan. Ada cerita lucu, saat Arsa bertindak impulsive, saya mencoba mengusik ketidaknyamanannya dengan mengambil gunting yang biasa dia pakai. Saya baru berikan ketika dia sudah tenang, beberapa kali saya lakukan itu dan berhasil. Namun, sepertinya trik itu sudah dia pahami. Jadi saat dia berlaku impulsive dan saya mencari guntingnya, ternyata sudah dia sembunyikan di balik tumpukan kain-kain yang menjadi media risetnya,” tutur Aji sembari tertawa-tawa kecil mengingat kejadian itu.
Ada juga Geta yang dirasa spesial bagi Aji. Geta memiliki background yang cukup pelik baik dari kondisi kesehatannya juga di lingkungan sekolahnya dulu. Geta bisa dikatakan slow learner, karena saat kecil pernah jatuh dan kejang serta harus mengonsumsi obat. Hingga tahun lalu Geta harus mengalami operasi otak dan membuat kemampuan akademisnya kembali ke awal. Misalnya saja membaca, Geta harus memulai dari awal untuk mengenal gabungan huruf yang dirangkai menjadi kata dan kalimat. Makanya di papan tulis masih ada deretan huruf untuk membantu Geta belajar membaca.
Namun, meski masih kesulitan membaca, Geta sangat senang menulis. Dia akan menulis semua hal yang dia lihat. Bahkan saking senangnya menulis, dia menyalin semua catatan milik teman-temannya. Semua yang ada di papan tulis pasti dia salin. Semangat sekali kalau sudah menulis atau menyalin.
“Melihat itu, kami, fasilitator mencoba melakukan pendekatan dengan memberikan Geta materi tentang baca dan tulis,” ungkap Aji.
Cerita paling mengharukan dari Geta adalah saat kelas musik. Saat itu, Geta dan teman-temannya menyanyikan lagunya Mbah Surip, Tak Gendong Kemana-mana. Ketika itu, Geta sudah merasa sendu meski menyanyi dengan suka cita. Hingga di lagu berikutnya, Geta meminta lagu Ayah, yang pernah dipopulerkan oleh Rinto Harahap. Saat menyanyikan itu, tiba-tiba air mata Geta bercucuran meski tetap semangat menyanyi.
“Saat ditanya kenapa menangis, Geta menjawab kalau dia sudah lama sekali tidak digendong-gendong oleh ayahnya. Itu merupakan memori yang tersisa sebelum operasi otak yang dilakukannya. Sebuah memori yang sangat tidak terlupakan, sehingga mengaduk-aduk emosinya,” tutur Aji.
Cerita tersebut sering sekali dituturkan oleh Aji saat mengobrol dengan saya. Dan, setiap kali dia menceritakan kisah ini saya pun ikut terenyuh dan ikutan nangis juga. Begitu pula saat saya menuliskan tulisan ini, saya juga menahan air mata. Ini merupakan cerita yang mengharukan.
Masih tentang Geta, pendekatan yang dilakukan oleh Aji juga berbeda dengan anak lain. Dengan Geta yang memiliki energi besar, Aji sering bermain peran. Dia mengaku berlagak galak di depan Geta. Saya kurang tahu apakah ini benar berlagak galak atau memang aslinya galak. Alasan Aji bertindak begitu, karena terkadang Geta sering tak mau mendengar ketika diminta untuk tenang dan tak mengganggu temannya. Sampai-sampai Geta sering berujar “Wah, mas Aji ki galak banget e”.
Siswa lainnya adalah Naya. Sosok yang cukup pemalu dan introvert. Sangat irit bicara. Naya sudah bersekolah di SALAM sejak SD, SMP, dan kini SMA. Naya masih mengalami kendala dalam hal menulis. Naya sangat pemalu dan terkadang tak ingin keluar dari zona nyamannya. Misalnya saja saat piket kelas, dia hanya mau membersihkan dalam kelas saja. Dia merasa enggan jika harus ke luar kelas. Dia juga kadang enggan jika masuk ke kelas musik.
Pendekatan yang dilakukan juga beda. Ada trik khusus saat harus mencoba bernegosisasi dengan Naya. Salah satunya dengan berbicara to the point. Bukan bermaksud memberikan kalimat perintah, namun lebih pada instruksi yang jelas. Menurut Aji, pendekatan seperti ini cukup berhasil sejauh ini. Bahkan Naya akhirnya mau mengerjakan piket di luar kelasnya. Dia bersedia membersihkan area wastafel maupun area lain di luar kelas.
Kemudian ada Niltu. Sosok siswa yang pemalu namun ternyata baru kelihatan kalau Niltu merupakan seorang family man. Kondisi Niltu hampir sama dengan Geta, slow learner juga karena kondisi kesehatannya yang terkena Tokso ketika kecil. Saat pertama kali datang ke SALAM, Niltu bisa dibilang pemalu terutama dengan orang baru yang ditemuinya. Tapi semakin ke sini, Niltu sudah bisa mengeluarkan sisi jenakanya.
“Niltu sering sekali melucu ala Srimulat. Dia juga sangat iseng dan jahil. Kocak banget dan membuat suasana kelas jadi meriah,” jelas Aji.
Niltu juga merupakan peniru ulung. Dia kerap mengamati para fasilitator saat mencoba menenangkan Arsa saat bertindak impulsive. Saat Arsa mulai impulsive dengan sigap Niltu mendatangi dan membantu Arsa untuk tenang. Cara yang dia pakai persis seperti yang dilakukan oleh para fasilitator. Misalnya dengan duduk di depan Arsa–kadang berlagak melotot, kemudian dengan intonasi yang cukup tinggi mengatakan “tenang Arsa, tenang, ayo tarik napas”.
“Niltu ini sosok yang family man banget. Care dengan temannya,” tutur Aji.
Siswa berikutnya adalah Angel. Dia merupakan siswa pindahan dari SMA formal. Bagi Aji, Angel juga salah satu siswa yang spesial karena kondisi eksternalnya. Angel merasa dirinya indigo, karena kerap melihat makhluk astral atau mendengar bisikan-bisikan. Angel juga memiliki kisahnya sendiri, dia merupakan anak yang pemalu, pendiam, dan secara gesture dia seolah bergantung pada orang lain. Seperti mencari perlindungan dan kenyamanan dari orang lain.
Kadang saat diberikan challenge atau sekadar membicarakan progres risetnya, dia menolak dengan alasan takut dan khawatir. Saat berada di kondisi seperti itu, ke-indigoan-nya muncul. “Mungkin saat merasa ragu dan takut, dia jadi merasa mendapatkan “penglihatan” sehingga dia akhirnya tidak ingin terbuka dan menceritakannya ke fasilitator,” ungkap Aji.
Lantas pendekatan apa yang dilakukan oleh fasilitator? Aji menuturkan, dengan Angel dia justru menjaga jarak untuk tidak terlalu mendesaknya. Hal ini dilakukan agar Angel bisa lebih dekat dan terbuka dengan teman-temannya. Menurut Aji sejauh ini ada progresnya. Angel kerap jalan bareng dengan kakak kelasnya, seperti Rachel dan Happy.
“Untungnya kakak-kakak kelasnya juga perhatian. Jadi kami fasilitator tidak terlalu khawatir juga,” ungkapnya.
Kemudian ada Rahman yang masuk ke kelas belakangan. Rahman pernah bersekolah di SMP yang berada di Salatiga. SMP-nya dulu suasananya mirip dengan SALAM. First impression, ada banyak hal positif dari Rahman. Dia bisa membawa diri dengan baik, juga bisa jaga sikap dan emosi. Rahman pun tak segan membantu teman lainnya.
“Salut dengan sikapnya. Rahman ini meski terlihat mandiri namun terlihat ada kerapuhan dalam dirinya. Sisi anak-anaknya terkadang masih sering muncul. Mungkin bisa dibilang, wajah garang tapi hati Hello Kitty. Rahman juga enak diajak ngobrol, utamanya tentang persoalan yang muncul dan yang harus dihadapi,” kata Aji.
Siswa terakhir, Gracia yang merupakan sosok anak yang cerdas dan berwawasan luas. Gracia ini menurut Aji, idealis namun cenderung ambisius. Saat pra riset, Gracia bisa mempresentasikan dengan baik minat, metode, dan tujuan yang akan dicapai. Too good to be true. Tapi justru inilah yang membuat Aji khawatir, sebab ketika nantinya dia menemui titik kebosanan dalam risetnya justru akan mengalami antiklimaks. Asumsi ini berdasarkan pengalaman kakak-kakak kelasnya di kelas 11 maupun 12.
“Tantangannya saat berhadapan dengan Gracia tentunya berbeda. Treatment-nya adalah sebisa mungkin membuatnya tidak nglokro di tengah riset,” tuturnya.
Di kelas 10 ini, Gracia dan Rahman merupakan dua sosok siswa yang mampu memberikan ambience yang positif untuk teman-temannya di kelas. Mereka pun diharapkan dapat membantu teman-temannya yang lain.
Aji mengungkapkan, di tingkat SMA ini memang mengacak-acak habit atau kebiasaan yang dilakukan oleh anak di kelas sebelumnya. Mengusik rasa nyaman mereka. Bagaimana mereka bisa menghadapi rasa ketidaknyaman. Sebab, nantinya di luar sana mereka akan menemui hal-hal yang lebih tidak nyaman lagi dan di masa sekaranglah mereka mulai belajar menghadapinya. Belajar bagaimana berkompromi dengan keadaan namun tetap bisa saling menjaga.
Secara umum pendekatan atau treatment yang dilakukan berbeda untuk masing-masing anak. Melihat kondisi dan kebutuhan anak. Misalnya saja untuk Gracia dan Rahman, fasilitator justru lebih banyak memberikan keleluasaan untuk mereka berkembang sendiri.
“Yang ditekankan adalah kemandirian, konsistensi mereka dalam menjalankan riset, dan bagaimana mereka mencari solusi dari ketidaknyamanan yang mereka rasakan,” ucap Aji.
Aspek lain yang juga diutamakan dalam proses pembelajaran di kelas 10 adalah komunikasi dengan orang tua masing-masing anak. Menurut Aji, sebisa mungkin ngobrol dengan orang tua dan bersinergi dengan mereka.
Ada banyak hal yang harus diperhatikan dan dikompromikan dengan orang tua maupun dengan anak-anak didiknya. “Komunikasi intens dengan orang tua saat awal semester, untuk sekarang lebih santai. Karena kami, fasilitator, memberikan ruang bagi orang tua dan anak saling berkomunikasi di rumah terkait proses belajar mereka di SALAM,” jelasnya.
Di sisi lain, selama enam bulan ini menjadi fasilitator, Aji mengaku banyak belajar. Dia sendiri tak memiliki basic pendidik maupun psikologi anak. Dengan terjun sebagai fasilitator dia mengaku lebih banyak mengontrol diri. Menahan diri untuk tidak menjadi guru. Hal itu dia pelajari saat awal menjadi volunteer.
“Melihat Mbak Gerna dan Pak Candra tak terlalu cawe-cawe dalam urusan riset anak-anak. Mereka membiarkan anak menemukan sendiri solusinya. Kadang masih suka “gatel” inginnya langsung mengarahkan sebaiknya begini atau begitu. Tapi, saya berusaha menahan ego dan kontrol diri. Dan bagi saya ini cukup sulit. Saya pun masih harus banyak belajar,” begitu ujar Aji menutup obrolan sembari menyeruput segelas kopi Kerinci yang sudah mulai dingin. (*)
foto-foto oleh: Aji Prasetyo
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply