Siapa yang pernah mengira, gambar-gambar yang ada dalam buku-buku cetak sekolah dapat menjadi sumber kekerasan pada anak? Saya sendiri pun tidak he he. Letupan-letupan itu dan ini muncul, seketika saja ketika saya membaca buku mengenai kekerasan simbolik di sekolah dalam ide sosiologi Pierre Bordieu.
Bordieu merupakan sosiolog yang aktif dalam berbagai gerakan sosial dan politik yang erat kaitannya dengan perlawanan terhadap mekanisme dominasi kelas sosial, setidaknya begitulah yang digambarkan oleh Nanang Martono dalam buku yang saya singgung di atas. Untuk itu, ia memunculkan sebuah konsep mengenai kekerasan yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik. Bagi Bordieu, kekerasan lahir dalam lingkup kekuasaan, sebab apapun upaya sebuah kelas mendominasi kelas lainnya, maka di dalam prosesnya akan lahir kekerasan. Singkatnya, kekerasan simbolik adalah mekanisme kekerasan “tak kasat mata” sebagai upaya suatu kelas mendominasi kelas lainnya, yang membuat kelas terdominasi tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi objek kekerasan.
Lantas apa kaitannya dengan gambar pada buku-buku cetak? Nanang Martono dalam bukunya mengejutkan saya dengan begitu banyaknya contoh gambar dari buku-buku cetak maupun soal-soal ujian yang bias kelas.
Misalnya, contoh ilustrasi mengenai denah sebuah rumah. Di dalam denah tersebut, terdapat, kamar tidur, ruang makan, dapur, kamar ART dan garasi. Hmmm… Seingat saya sih… saya tidak pernah punya kamar ART dan garasi? Akhirnya, denah tersebut menjadi tidak relevan bagi saya sebagai murid, malah, bisa jadi saya tidak percaya diri dengan denah rumah saya sendiri. Mengapa? Karena, ilustrasi tersebut merupakan proyeksi dari kehidupan kelas atas dan proyeksi saya sebagai murid bukan proyeksi dari kehidupan kelas atas.
Sayangnya, buku cetak tersebut dipakai dalam skala nasional, yang berarti mencakup kehidupan kelas bawah, menengah dan atas. Banyak masyarakat kita yang tidak memiliki garasi, motor biasanya dimasukkan saja ke ruang tamu (coba saja berselancar di dunia per-tuit-an, banyak anak muda yang berbicara soal ini ha ha ha). Atau, contoh gambar tentang mainan anak sehari-hari. Gambar yang digunakan ialah anak-anak yang bermain mobil dengan remote control. Bagaimana dengan anak-anak yang sehari-hari mainnya petak umpet atau tidak punya mobil dengan remote control? Lagi-lagi proyeksi yang digunakan kehidupan kelas atas.
Ini sudah cukup menunjukkan bukan, bagaimana kelas atas mendominasi kehidupan kita? Bahkan, pada “titik-titik buta” seperti ilustrasi pada buku-buku cetak sekolah. Inilah yang disebutkan Bordieu sebagai sebuah kekerasan simbolik, dalam kasus ini melalui gambar. Proyeksi kehidupan kelas atas digunakan menjadi standar kehidupan masyarakat dan digunakan untuk melanggengkan mekanisme dominasi kelas bawah sebagai kelompok tertindas.
Kalau begitu, apakah solusinya dengan menggeser proyeksinya pada kehidupan kelas bawah? Ya tidak juga, kalau begitu kita hanya menggeser posisi pemain saja, bukan meruntuhkan mekanisme dominasi kelas. Kalau bagi saya, solusinya ya tidak usah ada buku cetak, apalagi berskala nasional.
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply