Bukan hanya anak yang belajar, melainkan juga orang tua. Itu yang selalu saya ungkapkan kepada teman atau kerabat yang tertarik bergabung dalam komunitas belajar, Sanggar Anak Alam (SALAM).
Kenapa? Karena memang semuanya berbeda, dari mulai proses pembelajaran, model komunikasi yang intens, hingga keaktifan orang tua dalam mendampingi anak-anak berproses.
Mengutip tulisan Mbak Karunianingtyas dalam artikel berjudul “Selamat Datang Semester Baru SALAM” yang menyatakan belum semua orang tua dan fasilitator memahami sepenuhnya visi SALAM yang harus diperjuangkan bersama. Saya pun juga merasa begitu. I felt you mbak.
Kenapa? Karena, mungkin, orang tua masih menganggap SALAM sebagai “sekolah alam”. Sebuah sekolah yang belajar mengajarnya di tengah sawah. Sudah, selesai, titik—finis.
Padahal bukan itu sebenarnya yang dilakukan di SALAM. Belajar di tengah sawah, iya itu benar, tapi mungkin hanya kabetulan saja rumah milik Bu Wahya dan Pak Toto, yang dijadikan lokasi sekolah, pas berada di tengah sawah.
SALAM, sejauh sepengetahuan saya, adalah komunitas belajar yang memerdekakan anak. Membebaskan anak berkembang sesuai dengan bakat alaminya dan sesuai dengan minatnya. Itu terlihat dari riset pribadi dan daur belajar yang dilakukan dalam proses pembelajaran di SALAM.
Namun, nyatanya, masih banyak orang tua di SALAM yang belum sepenuh hati mencoba menyelami proses belajar di SALAM. Itu saya ketahui dari pengamatan maupun perbincangan saya dengan sejumlah orang tua, baik yang anaknya masih di SALAM maupun yang sudah lulus.
Suatu kali saya pernah ngobrol dengan seorang ibu, dia bercerita anaknya tidak terlalu aktif di sekolah. Jadi seolah anaknya “tidak terlihat” katanya. Kemudian dia melanjutkan ceritanya, bahwa dia memang tidak terlalu aktif juga dalam kegiatan yang diadakan baik oleh sesama orang tua maupun fasilitator. Lha trus? Itu sudah nemu jawabannya, tapiii kok,,, ahh sudahlah, batin saya.
Suatu kali saya pun bertemu dengan orang tua di SALAM yang sangat ahli dalam memberikan wejangan terkait parenting. Memberikan informasi harus begini dan begitu. Namun, dalam praktiknya, seperti dalam penglihatan saya, kok perilakunya tidak seperti yang diucapkan ya?
Suatu kali saya juga bertemu dengan orang tua yang sangat jarang terlibat dalam kegiatan anak-anak di sekolah. Hanya nginguk (melihat) anaknya presentasi saja tidak. Yah, memang tipikal orang tua itu memang berbeda-beda dan kadang lebih unik dari anak-anak.
Maka saya pun sepakat dengan Mbak Karunianingtyas yang memiliki gagasan mengubah nama Penerimaan Siswa Baru dengan Penerimaan Orang Tua Baru. Bukan berlagak selektif dan eksklusif, tapi agar orang tua benar-benar memiliki komitmen dan persamaan pandangan dengan proses yang berjalan di SALAM.
Saya sendiri, mengakui, tidak selalu bisa terlibat aktif di sekolah. Kadang saya ikut terlibat, namun tak jarang juga saya melewatkan beberapa kegiatan di SALAM. Saya memang melewatkan, tapi bukan berarti anak saya juga ikut melewatkan kegiatan di sekolah. Itu menjadi salah satu komitmen saya untuk mendukung kegiatan anak-anak, begitu pula kegiatan sekolah.
Dan, nyatanya fasilitator dan orang tua yang lain juga menerima kondisi saya yang sok sibuk ini. Apalagi SALAM sangat terbuka untuk berdialog. SALAM juga sangat terbuka dengan berbagai gagasan. Bahkan jika bertemu fasilitator saja dirasa kurang afdol, Bu Wahya dan Pak Toto pun pastinya akan meluangkan waktu sedikit untuk kita, para orang tua, untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Intinya, jangan males untuk gerak, jangan males untuk bertanya, jangan males untuk bergabung. Karena, kemungkinan, kemalasan kita lah yang menjadi pengganjal perkembangan anak kita.
Saya ucapkan selamat datang dan selamat bergabung kepada para orang tua siswa baru. Semoga kita bisa saling kenal dan saling mengenal. []
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply