“Aku bingung nih, anakku prestasinya di kelas jeblok abis. Apa perlu aku menghadap gurunya?” ujar seorang kawan. Mari kita sebut saja namanya Kliwon. Sore itu saya, Kliwon dan seorang kawan lain, sebut saja Wage, sedang berbincang di angkringan.
“Jelas dong. Prestasi anak itu bagaimanapun juga separuhnya tanggung jawab sekolah,” sahut Wage. Sontak saya kaget dengan diskusi ini. Prestasi jeblok, salahkan guru dan sekolah.
“Jangan gitu dong. Bagaimanapun juga orangtua yang paling berperan soal prestasi anak. kalau perlu diskusilah sama anakmu, kenapa nilainya buruk. Jangan-jangan dia nggak suka sekolah. Kalau memang dia nggak suka, ya nggak usah sekolah. Ajak dia lakukan yang dia suka,” komentar saya panjang lebar sambil ngemil rempeyek. Tentu saja saya tidak becanda soal konsep ‘tidak sekolah’, karena saya kerap mendengar konsep homeschooling, bahkan unschooling, dari berbagai sumber.
“Iya, anakku tuh bakatnya di musik. Dia hobi banget nyanyi dan sudah ikut les musik. Aku juga dorong dia untuk rajin berlatih. Karena dengan bernyanyi dia dapat berguna bagi Tuhan dan sesama.” Gumam Kliwon melanjutkan.
“Ealah, Won. Kalau suka nyanyi ya nyanyi aja. Nggak usahlah bawa-bawa berguna buat sesama dan sebagainya. Trus kalau ditengah jalan dia nggak berhasil jadi penyanyi, jadi nggak berguna dong dia? Kenapa nggak sesederhana: kalau dengan menyanyi kamu bahagia, ya bernyanyilah. Titik.” Oke, saya sedikit sok tahu soal yang satu ini, karena mengutamakan ‘kebahagiaan’ sebagai parameter. Tapi bukankah ‘kebahagiaan’ adalah ujung pangkal dari kehidupan singkat yang fana ini? Setdah!
“Udah, Ger. Udah. Nggak semua orang bisa ngikutin pikiran kamu,” sahut Wage sambil menyeruput kopi tubruk pesanannya. Epilog dari Wage tadi menutup ‘jagongan angkringan’ sore itu, sekaligus membanting saya kembali ke dunia nyata. Bahwa urusan mengasuh dan mendidik anak memang tidak pernah punya kebenaran yang mutlak sama.
***
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, benak kita selalu, melulu, mengkaitkannya dengan sekolah, kurikulum, dan guru. Ketika muncul masalah, seperti Ujian Nasional misalnya, maka seluruh rakyat bersaut suara mengkritik negara. Mulai dari yang jelata yang duduk di bangku-bangku angkringan, hingga non jelata yang berdiskusi dalam forum-forum nasional. Banyak orang tidak memahami bahwa perkara pendidikan adalah perkara yang lebih luas.
Romo Mangun dalam salah satu tulisannya berkata bahwa “pendidikan hakikatnya adalah seluruh masyarakat”. Perundang-undangan pun telah membagi pendidikan dalam 3 jalur: formal, non formal dan informal. Prestasi jeblok seperti kekhawatiran kawan saya, Kliwon, tadi hanyalah sepersekian permasalahan dalam jalur pendidikan formal. Kliwon sebagai orangtua tentu saja memiliki banyak peluang untuk mengoptimalkan potensi si anak melalui jalur pendidikan informal, seperti saat anak berada di rumah, lingkungan keluarga dan masyarakat.
Jika saat ini sekolah sebagai jalur formal pendidikan masih berkutat dengan prestasi akademik, akreditasi, serta mengelu-elukan ijazah sebagai senjata pamungkas untuk iming-iming agar anak rajin belajar, biarkan sajalah. Yang penting kita, sebagai orangtua mampu menciptakan ekosistem yang lebih ‘membahagiakan’, alih-alih latah mendewakan ijazah.
Karena tampaknya negara, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, masih mencari formula kurikulum terbaik. Terbukti dari berubah-ubahnya kurikulum tiap kali kabinet dan menterinya berganti. Kurikulum semacam ‘chicki’ yang berubah-ubah kemasan namun 2/3 isinya hanya angin—ini sekaligus membuat para guru, calon guru dan guru honorer terseok-seok mengejar perubahan serta sibuk merubah pertanyaan-pertanyaan ujian.
Lupa bahwa esensi dari mendidik adalah bukan membuat siswa menjawab 1000 pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya, namun membuat siswa bertanya 1 pertanyaan yang membawanya menemukan 1000 pengetahuan.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply