Dalam melihat berbagai komunitas di Nusantara, kita sering menemukan kesamaan dalam sifat dan norma-norma sosial yang mereka anut. Orang Melayu, Orang Jawa, dan bahkan orang-orang lokal dari berbagai daerah, semuanya pada dasarnya adalah individu-individu normal yang mencerminkan masyarakat seperti apa adanya. Ini menggambarkan keberagaman budaya di Indonesia yang memiliki akar yang dalam namun juga seringkali memiliki persamaan dalam pola pikir dan perilaku sosialnya.
Konflik Agraria di Pulau Rempang dan Dinamika Elit Lokal
Salah satu fenomena yang sedang terjadi di Pulau Rempang, seperti banyak konflik agraria sebelumnya, nampaknya lebih disebabkan oleh persaingan antara para elit lokal dalam memperebutkan manfaat ekonomi dari proyek eco city yang akan diwujudkan. Segala aspek ganti rugi dan rencana relokasi sudah dihitung dengan teliti sebelum investor asing diundang, bahkan dikabarkan bahwa tawaran ganti rugi mencapai angka yang besar. Seringkali, konflik semacam ini melibatkan perwakilan masyarakat lokal yang memiliki beragam kepentingan. Ketika terjadi perselisihan di antara mereka, situasi menjadi lebih mudah dikuasai oleh pihak-pihak eksternal.
Dalam perjalanannya selama sepuluh tahun, penulis sering mengunjungi Riau dan berinteraksi dengan komunitas di desa-desa. Penulis mengamati perilaku elit lokal di sana dan di berbagai tempat di Nusantara, termasuk di tempat tinggalnya sendiri di Yujo. Hal ini memungkinkan penulis untuk memahami lebih dalam dinamika sosial dan politik yang ada di berbagai daerah.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa elit lokal rela menjual tanah dan lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Penulis berpendapat bahwa hal ini terkait dengan indoktrinasi masyarakat selama bertahun-tahun oleh nilai-nilai modern, baik melalui agama, pendidikan formal, maupun media massa. Hal ini mengakibatkan masyarakat memiliki gambaran tentang kehidupan yang seringkali berbeda dengan realitas hidup mereka. Selain itu, praktek demokrasi yang cenderung memprioritaskan isu-isu primordial demi kepentingan oligarki serta biaya politik yang mahal turut memengaruhi dinamika ini.
Penulis meyakini bahwa kemiskinan seringkali diciptakan dan dipelihara secara sengaja sebagai instrumen politik. Bahkan, dalam peradaban Nusantara yang begitu makmur, konsep kemiskinan seringkali tidak dikenal. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa investasi selalu memungkinkan dan untuk menjaga status quo tertentu.
Kritik Terhadap Jargon Kemiskinan dan Persatuan—jargon yang sering digunakan dalam konteks pembangunan, yakni “mengentaskan kemiskinan” dan “demi persatuan-kesatuan.” Penulis berpendapat bahwa jargon ini, yang seharusnya mencerminkan semangat perbaikan, justru seringkali digunakan untuk menindas bangsa kita. Pandangan terhadap perdana menteri Malaysia yang mengambil tindakan yang, menurut penulis, salah besar dalam menindas bangsa Melayu demi kemajuan tanah Melayu.
Dengan menggabungkan pengalaman pribadi, pemahaman sosial, dan analisis kritis, tulisan ini mencoba untuk menggambarkan kompleksitas konflik agraria dan dinamika sosial di Nusantara serta mempertanyakan sejumlah asumsi yang mungkin telah memengaruhi perkembangan sosial dan politik di wilayah ini. []
Dosen Kehutanan UGM
Leave a Reply