Suatu pagi, saya sedang menunggu pesanan lontong sayur ibu saya di pasar. Lalu, seorang anak perempuan merengek kepada ibunya, meminta dibelikan sebuah bola sepak plastik. Sontak ibu-ibu yang tadi sedang mengobrol melarang anak perempuan itu, katanya, “Eh.. jangan, anak perempuan kok main bola?”, “Beli boneka sana, apa masak-masakan”.
Cukup familiar kah Anda dengan situasi di atas? Atau barangkali di antara kita pernah mengalaminya? Masyarakat telah menciptakan diferensiasi antara laki-laki dan perempuan sejak manusia tersebut masih di dalam kandungan. Begitu ia lahir dan bertumbuh, diferensiasi itu semakin kuat dalam berbagai aspek kehidupan manusia tersebut. Salah satunya, diferensiasi dalam permainan anak. Anak laki-laki biasanya diajarkan untuk bermain sepak bola, bola basket atau ragam olahraga lainnya. Bisa juga dibelikan mainan seperti pedang-pedangan, layang-layang, atau kelereng. Sedangkan, anak perempuan lebih identik dengan bermain boneka dan masak-masakan. Dalam hal mengajarkan suatu instrumen musik pun, masyarakat masih sering menciptakan sekat diferensiasi. Misalnya, pemain drum atau bass identik dengan anak laki-laki, sehingga biasanya anak perempuan diarahkan untuk bermain piano.
Bahkan, masyarakat menciptakan istilah-istilah khusus bagi anak-anak yang dianggap “menyimpang” dari diferensiasi yang telah mengakar menjadi budaya masyarakat tersebut. Misalnya, ‘cewek tomboi’, ‘cowok flamboyan’ atau ‘feminin’, dan banyak istilah lainnya. Dan sayangnya, istilah ini digunakan untuk menempatkan pihak yang dilabelinya tersebut dalam kelas inferior. Patut diingat, inferioritas lekat dengan ketertidasan.
Tidak dipungkiri, bahwa saat ini, mulai banyak anak-anak muda berbakat yang muncul dan mendobrak sekat-sekat tersebut. Ada banyak anak perempuan berbakat yang menjadi pemain drum atau pemain sepak bola profesional. Banyak juga anak laki-laki berbakat yang menjadi koki. Namun, pengalaman saya di awal tulisan ini membuat saya terhentak dan sadar, bahwa diferensiasi ini masih melekat kuat dalam lapisan-lapisan masyarakat tertentu.
Prof. Dr. Toeti Heraty dalam bukunya yang membahas tentang kesetaraan gender menurut Simone de Beauvoir menggunakan banyak pemikiran Freud tentang hakekat feminitas dan masukilinitas pada diri manusia. Misalnya, Freud berpendapat bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya maskulin atau feminin. Manusia adalah makhluk yang kompleks. Untuk itu, setiap manusia terbentuk dari gabungan karakteristik antara keduanya, feminitas dan maskulinitas. Itu berarti, dalam diri anak perempuan, baik yang senang bermain boneka maupun yang bermain bola, juga terdapat sisi maskulin. Dan dalam diri anak laki-laki yang senang olahraga maupun yang senang memasak, juga terdapat sisi feminin.
Saya juga pernah beberapa kali mendengar pendapat yang mengatakan bahwa benda itu tidak memiliki gender atau genderless. Memang dalam beberapa atau banyak tata bahasa, benda turut dikelompokkan dalam kategori feminin, maskulin atau ada juga yang menambahkan kategori neutral. Tetapi, sejatinya benda tidak memiliki gender. Untuk itu, tidak ada yang salah apabila anak perempuan bermain bola, atau anak laki-laki bermain masak-masakan. Saya teringat perkataan dosen saya di kelas Pendidikan Kristiani, “Gimana anak laki-laki bisa tahu cara menjadi ayah yang baik, jika ia dilarang bermain boneka dan berpura-pura seolah sedang menjadi seorang ayah?”. Saya rasa, pertanyaan itu patut direnungkan lebih jauh lagi.
Lagipula, Prof. Dr. Singgih Gunarsa melalui tulisannya tentang perkembangan anak menyampaikan bahwa, ada sekitar 20.000 faktor genotipe/ keturunan pada setiap proses fertilisasi. Untuk itu, setiap anak memiliki begitu banyak potensi dalam dirinya yang perlu digali. Dan masa kanak-kanak adalah masa yang tepat untuk mencoba berbagai macam hal, sampai anak benar-benar menemukan dan memahami potensi dirinya.
Anak-anak bebas bermain apa saja, selama tidak menempatkannya dalam resiko yang merusak perkembangan fisik, sosial dan psikis anak.
Mahasiswi Theologia Universitas Duta Wacana
Leave a Reply