Catatan pertama saya menjadi fasilitator. Sebelumnya tidak pernah bepikir bahwa tulisan ini akan bermanfaat untuk Anda, yang saya pikirkan ketika menulis ini terus terang saya membutuhkan media dokumentatif yang mampu merekam ingatan. Karena ingatan saya begitu buruk, sehingga menulis merupakan cara untuk membantu saya mengingat apa yang telah saya lakukan. Syukur-syukur, melalui tulisan ini bisa diketahui proses perkembangan saya.
Suatu pagi di tanggal 6 Agustus 2018 merupakan hari pertama saya menjadi fasilitator kelas 6 di (SALAM) Sanggar Anak Alam. Perlu dicatat, menjadi fasilitator berbeda dengan menjadi guru. Ada perbedaan mendasar dalam praktek dan teorinya. Dalam pikiran saya, Guru itu mengajar, fasilitator itu menemani mereka dalam proses belajar. Guru serba tahu, fasilitator tak perlu banyak tahu, yang paling penting dia mau belajar dan sabar.
Menjadi fasilitator memang telah menjadi keinginan saya sudah sejak lama, hanya saja hal itu baru bisa terlaksana ketika tahun ke 6 berada di bangku perkuliahan di jogja. Menjadi fasilitator barangkali menjadi langkah besar, karena harus keluar dari zona nyaman. Atau mungkin juga pelarian saya, atas kekecewaan terhadap dunia politik, advokasi dan isu-isu “tingkat tinggi” yang selama ini saya geluti. Menjadi fasilitator di SALAM merupakan sebuah bentuk realisasi dari pemikiran yang telah lama mengendap. Dalam masalah-masalah yang bangsa hadapi, sebenarnya apa yang paling fundamental? Menurut saya persoalan apa saja ujung lingkaran setan selalu dimulai dari pendidikan. Orang menjadi pasrah dengan kemiskinannya, intoleran, korupsi dan hal buruk lainnya karena terlalu cepat meninggalkan tirakat pendidikan; terlalu berorientasi pada satu aspek saja sehingga hidupnya menjadi timpang, kemanusiannya telah lama direduksi oleh lembaga pendidikan yang hanya mementingkan materi belaka.
Hari ini saya belajar banyak dari anak-anak. Bahwa kreatifitas anak atas pemecahan masalah adalah beragam, tidak tunggal. Saya yang dibesarkan oleh sekolah formal, biasa dengan kebenaran tunggal. Cara-cara lain yang coba dilalui selalu mendapat tentangan oleh system. Di SALAM saya belajar untuk menghargai kreatifitas mereka dalam menyelesaikan masalah. Yang bisa saya lakukan sebagai fasilitator terhadap situasi tersebut hanyalah menyarankan alternatif-alternatif yang lebih cepat dan efekti. Bukan mengambil jalan pintas dengan pemaksaann.
Sejujurnya, saya adalah orang yang menyukai anak-anak tapi belum bisa dekat dengan anak-anak. Ketika menjadi fasilitator, maka tembok keengganan ini harus saya robohkan. Jika tidak begitu, maka saya hanya akan menjadi patung di kelas, atau lebih parahnya, menjadi guru yang memekasakan kehendak dan pikiran pribadi saya kepada mereka. Bayu, seorang anak yang sangat peduli terhadap teman dan makanan hari ini tampak bingung. Ia kebingungan karena nasi yang ia ambil ketika makan siang ternyata melebihi kapasitas perut dia untuk makan. Maka ia dilema, terus makan tapi tidak kuat, mau dibuang tapi sayang. Dalam dilema itu, ia bertanya pada saya. “Baiknya gimana ya mas?”
Dengan gugup saya menjawab “Duh, aku juga bingung”. Setelah diam sejenak, saya berpikir untuk membagi beban Bayu. Saya tawarkan, bagaimana kalau sisa nasi ini kita bagi berdua, setengahnya mas ubed makan dan setengahnya bayu yang akan. Ia setuju dan senang sekali. Setelah momen itu, rasanya ia mulai tak segan untuk berbicara pada saya, terlebih untuk minta pertolongan saya. Dari momen tadi saya belajar, dalam keadaan rumit dimana anak merasa tak lagi ada jalan keluar selain menyerah, peran fasilitator atau orang dewasa sangat lah penting untuk mendampingi, untuk membuka dialog bukan memaksakan kehendak. []
Fasilitator SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply