Blog

Guru Indonesia: Mental Pegawai

Bjork, Christopher . (2013) “Teacher Training, School Norms and Teacher Efectiveness in Indonesia” dalam Suryadarma & Jones, Gavin W. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Alam Mengembang Jadi Guru

Cristopher Bjork merupakan seorang anthropolog lulusan Universitas Stanfordd dan profesor pendidikan di Vassar College, Amerika Serikat. Selain sebagai peneliti dan pengajar di universitas, Bjork juga memiliki sertifikat sebagai guru dan pernah mengajar di ruang kelas, baik di Amerika Serikat maupun Jepang. Ia cukup lama melakukan penelitian pendidikan di Indonesia. Sejumlah buku dan artikel ditulis Bjork dan dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional membahas tentang pendidikan Indonesia, di antaranya Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy (2005).

Guru-guru Indonesia, menurut Bjork, telah dikonstruksi agar sesuai dengan kontur landskap sosial, historis, politis indonesia. Penekaan lebih diberikan pada keanggtaaan dalam Korps Pegawai Negeri yang memiliki kepedulian utama pada kohesi nasional, mengikuti perintah dari atasan ke bawahan dan tanpa mempermaslahkannya. Mereka asing dengan konsep bahwa pengajar merupakan pendidik otonom atau para advokat murid seperti di negara-negara lain. Guru diberi imbalan karena loyalitasnya mengikuti perintah, bukan kapasitasnya akan pemikiran yang independen

Dalam tulisan ini Bjork menceritakan, ia pernah membuat survai terhadap sekitar 100 guru sekolah menengah di Indonesia. Dalam survai itu, sejumlah 57 persen guru menyatakan bahwa mereka sering atau selalu menggunakan metode pengajaran yang berpusat pada murid. Namun kenyataannya ketika Bjork melakukan observasi langsung di kelas, ternyata guru-guru cenderung mengajar dari posisi yang tidak berubah di depan kelas dan menyalin sebagian besar buku teks ke papan tulis. Ia mengaku sangat jarang menyaksikan interaksi antara guru dan murid sebagaimana disebutkan dalam survai. Sejumlah 53 persen keseluruhan pelajaran merupakan ceramah, hanya 20 persen aktivitas yang melibatkan murid, dan hanya 5 persen diskusi. Guru rupanya mengartikan pembelajaran aktif sekadar menggunakan lembar kerja siswa, meminta siswa mengerjakan latihan, dan memberikan pekerjaan rumah. Mereka yakin telah memberkan kurikulum yang hidup pada murid-muridnya, sebagaimana dimaksud oleh Kementrian Pendidikan agar guru mendorong keterlibatan lebih aktif murid di kelas. Ironinya, para pejabat di Jakarta tidak paham dengan situasi ini. Sangat sedikit orang-orang yang terlibat dalam merumuskan kebijakan memahami secara menyeluruh kondisi sekolah-sekolah yang mereka awasi.

Guru-guru Indonesia, menurut Bjork, telah dikonstruksi agar sesuai dengan kontur landskap sosial, historis, politis indonesia. Penekaan lebih diberikan pada keanggtaaan dalam Korps Pegawai Negeri yang memiliki kepedulian utama pada kohesi nasional, mengikuti perintah dari atasan ke bawahan dan tanpa mempermaslahkannya. Mereka asing dengan konsep bahwa pengajar merupakan pendidik otonom atau para advokat murid seperti di negara-negara lain. Guru diberi imbalan karena loyalitasnya mengikuti perintah, bukan kapasitasnya akan pemikiran yang independen ( hal. 56).

Kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan guru, membuat Kementrian Pendidikan membuat sekolah sejauh mungkin kebal terhadap guru (mengutip Shaeffer, 1990). PGRI menjadi mekanisme untuk memonitor daripada sebagai forum bagi guru untuk berpendapat dan mengungkapkan keprihatinan. Mendukung kebijakan pusat akan memberikan keamanan pada pekerjaaan daripada mengabdikan diri memperbaiki praktik kurikulum dan pedagogis di sekolah yang lebih sering tidak memberikan imbalan (hal.57)

Dalam tulisan ini Bjork mencatat, bahwa selama 30 tahun Orde Baru, pendidikan di Indonesia mengalami perkembangkan pesat. Sebelum Orde Baru jumlah murid SD hanya sekitar 2,5 juta anak melonjak menjadi 26,6 juta anak pada awal 1990-1n. Oleh karena itu pada 1990-an kementrian Pendidikan telah mengubah perhatiannya denagan upaya-upaya melakukan desentralisasi dalam pendidikan. Menyerahkan kewenangan pada lokal diyakini akan memperbaiki kualitas pelayanan yang diberikan pada publik dan meningkatan posisi pendidikan Indonesia di dunia internasional. Para perencana pendidikan melihat desentralisasi sebagai strategi yang penting untuk meningkatkan kualitas dan status sistem persekolahan. Pendidikan bukan lagi diatur dan diawasi oleh sekelompok kecil ahli yang bekerja di ibukota yang mengawasi seluruh sistem. Guru, orangtua, dan anggaota komunitas akan membuat keputusan penting tentang bagaimana sekolah harus beroperasi. Memberdayakan aktor-aktor lokal akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien. (hal . 98)

Pada 1994 kementrian pendidikan memperkenalkan kurikulum muatan lokal. Sekitar 20 persen pengajaran dialokasikan untuk matapelajaran yang didesain secara lokal dan untuk dicangkokkan pada kurikulum nasional agar cocok dengan lingkungan dan komunitas lokal. Sekolah diarahkan untuk mengemangkan pelajaran-pelajaran yang relevan dengan daerah setempat agar memahami budaya lokal, keterampiulan hidup dasar, dan keerampilan untuk memperoleh penghasilan.

Pasca Orde Baru, diberlakukan UU 22/1999 tentang Pemerintahan daerah dan 25/1999 keseimbangan keuangan pemerintah pust dan daerah mempercepat desentralisasi. Manajemen berbasis sekolah ditawarkan sebagai penetralisir kekuasaan pemerintahan pusat dan sebagai cara memperbaiki kualitas pendidikan. Pada masa itu dibentuk Komite Sekolah atas dasar keyakinan bahwa perubahan kurkulum dan pengajaran akan lebih efektif bila dikaitkan dengan perbaikan manajemen dan tata kelola sekolah, serta membuat sekolah dan guru lebih akuntabel. Pada 2004 kurkulum berbasis kompetensi diimplementasikan. Kurikulum ini memberikan kewsenangan pada guru untuk mendesain silabus dan menjamin murid dengan aktivitas yang berkualitas tinggi, didesain dengan cermat, dan berpusat pada anak pada seluruh pelajaran. Dengan demikian diharapkan kekuasaan utama ditransfer pada aktor dan institusi lokal dan monopoli kekuasaan yang selama ini dipegang oleh Kementrian Pendidikan akan terhapus.

Di atas permukaan, aktor-aktor lokal tampaknya menikmati derajad otonomi yang semula menolak mereka, guru menggunakan pendekatan pedagogis yang inovatif untuk meningkatkan pengajaran, dan murid mendapatkan manfaat dari kurkulum yang relevan. Akan tetapi laporan diri sendiri, kata Bjork, tidak selalu akurat menangkap realitas praktik dan kebijakan sekolah. Studi lapangan di sekolah-sekolah mengindikasikan bahwa reformasi pendidikan cenderung berhenti setelah mereka meninggalkan kantor Kementrian Pendidikan di jakarta (hal. 59-60). Ada mismatch antara harapan Pusat dan kondisi lokal yang menyebabkan situasi kelumpuhan yang menghambat terjadinya perubahan bermakna. Observasi terhadap aktivitas pembelajaran, kajian dokumen dan topik-topik pembelajaran, maupun metode dalam memperkenalkan pembelajaran sangat sedikit berubah.

Guru, kata Bjork, yakin bahwa yang merek lakukan sejalan denagn harapan Kementrian. Akan tetapi metode pengajaran dinamis sulit ditemukan. Hanya lima persen pembelajaran yang ia saksikan melibatkan diskusi dengan melibatkan murid. Guru cenderung menggunakan sebagian besar waktunya untuk bercermah dan meringkas isi buku pelajaran.
Kegagalan itu, menurut Bjork, karena sedikitnya dukungan yang diberikan pemerintah. Akibatnya, guru harus mengerjakan dengan sarana yang sangat terbatas. Salah satu rintangan terhadap reformasi, menurut Bjork, adalah kurangnya pelatihan sebelum ataupun semasa tugas menjadi guru. Pendidikan yang diberikan untuk murid yang akan menjadi guru umumnya berkualitas rendah, dan berfokus lebih pada teori daripada praktik (mengtutip Weston dan Dall). Para pengajar Fakkultas Penddiikan jarang memiliki pengalaman di sekolah dasar dan menengah, dan para professor mendasarkan pada pengajaran yang lama. Menurut survai yang dikutip Bjork, 93 persen guru dan orang tua yakin standar pelatihan guru perlu diperbaiki. Workshop untuk guru juga tidak memberikan inspiriasi. Mereka mengulang informasi dalam manual yang dikeluarkan kementrian, melatih guru untuk mengisi daftar isian.

Menurut Bjork, memberikan sekolah lebih banyak uang atau memperbaiki kualitas pelatihan guru tidak akan menghasilkan reformasi fundamintal kualitas pengajaran dan pembelajaran, yaitu budaya pengajaran.

Kesalahnnya, menurut Bjork, mereka memberikan tanggungjawab kepada guru di mana guru tidak siap atau tidak mau menerima. Asumsinya guru akan mengambil peran aktif dalam mengimplementasikanprogram baru, akan bertindak sebagai agen perubahan di sekolah mereka, akan menginvestasikan waktu dan tenaga untuk merealisasikan rencana pembaharuan,. Akan tetapi para guru telah terkondisikan untuk menekan keinginan menggunakan pendekatan kebebasan dalam bekerja. Sistem terlalu menekankan kewajiban pada murid dan guru, serta sebagai pegawai negeri yang menghasilkan kultur kepatuhan. Para guru tidak diberi penghargaan karena komitmen mereka untuk bekerja atau pengajaran yang istimewa tapi dihargai karena ketaatan mereka pada atasan. Kepada guru diberlakukan identatitas sebagai bawahan.

Menurut Bjork, selama pendidik terus melihat diri mereka terutama sebagai pegawai negeri, dan mengikuti norma-norma yang membimbing pekerjaan sebagaimana tukang pos, pengumpul pajak dan sebagainya, reformasi yang yang menggantungkan pada guru dengan asumsisikan kemampuan kepemimpinan mereka bakal gagal. Sebelum perubahan bermakna dapat terjadi, menurut Bjork, kultur mengajar harus dibentuk ulang agar sesuai dengan ideal yang mendasari visi tentang sistem pendidikan. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *