Beberapa waktu lalu, saya mewakili Komunitas Belajar SALAM, dalam sebuahforum group discussion (FGD) di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atmajaya Jogjakarta.
Tema yang dibahas bagi saya sangat menarik, tentang film untuk anak-anak. Dalam pembuka FGD itu, disampaikan bahwa film yang dibuat untuk anak-anak sangat minim. Selama kurun 1926-2015 atau sekitar 90 tahun perjalanan perfilman tanah air, rata-rata tidak sampai satu film yang mengkhususkan pada segmen anak yang diproduksi tiap tahunnya. Anak-anak belum menemukan media hiburan dan edukasi yang cukup serta sesuai dengan karakter dan usia mereka.
Dalam diskusi itu juga diungkapkan, bahwa film anak yang ada pun tidak semuanya layak menjadi tontonan anak-anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hananta (2013) yang memeriksa muatan kekerasan dalam tiga film Indonesia anak layar lebar yang diputar di bioskop antara kurun 2009-2011, terdapat variabel kekerasan yang termuat dalam film-film yang diteliti tersebut. Ketiga film itu adalah Meraih Mimpi, Obama Anak Menteng, dan Lima Elang.
Variabel kekerasan yang dipakai untuk memeriksa film-film itu yakni, kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial, dan relasional. Hasilnya, kekerasan psikologis termuat dalam ketiga film tersebut lebih menonjol dibandingkan kekerasan lain. Kekerasan psikologis yang dimaksud yakni membentak, merendahkan, menghina, menggunjingkan, dan mengancam.
Nah dari situ, timbul pertanyaan sebetulnya film yang pas untuk anak-anak itu seperti apa sih?
Dalam diskusi tersebut hadir pula Psikolog Anak Nessi Purnomo. Nessi mengungkapkan, anak-anak mampu menyerap informasi sangat cepat, layaknya spon, dalam merespons sesuatu. Begitu pula saat mereka melihat adegan film. Sehingga jika anak-anak melihat film yang tidak selayaknya untuk usia mereka maka perlu ada pendampingan dari orang tua.
Mendengar pemaparan itu saya pun manggut-mangggut. Karena saya juga merasa kesulitan saat memilihkan film yang layak untuk anak saya. Terutama film anak produksi dalam negeri. Mentok pun akhirnya saya setelkan anak saya, yang saat ini duduk di Kelas 5 SALAM, film-film komedi. Itu pun juga terbatas, karena tidak semua film komedi juga pas untuk anak-anak.
Saya pun mengungkapkan uneg-uneg dalam memilih film untuk anak. Dalam diskusi itu pun terkuak bahwa dari sineas sendiri memang masih terbatas minatnya untuk membuat film anak. Hal itu diungkapkan oleh Hindra Setya dari komunitas Bioskop Kecil atau Bioscil. Dia mengungkapkan, dari hasil komunikasi dengan sejumlah sineas pada diskusi sebelumnya, bahwa para film maker juga merasa ”berat” dalam proses pembuatan film anak. Sebab, proses pembuatannya pun haruslah ramah anak.
Lantas bagaimana solusinya dalam mencari film untuk anak? Menurut Nessi, tiap orang tua harus aware terhadap tontontan yang dilihat anak. Jangan ragu pula untuk selalu mendampingi anak saat melihat film. Selain itu juga selalu melihat rating atau klasifikasi film tersebut. Sebab, meski dalam film itu ada actor anak-anak belum tentu juga materi yang disampaikan pas untuk anak. (*)
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply