“Ini masuk ke Sanggar Anak Alam (SALAM) lewat mana sih?” Yang saya lontarkan setelah bingung juga mencari tempat parkir. Alih-alih menemui gerbang, di sini kita disambut oleh pematang sawah sebagai jalan utama. Masuk juga bisa dari mana saja, menyusuri parit juga boleh. Hari itu, hari dimana saya ditemani sahabat saya, sowan pak Toto untuk memohon izin melakukan tugas akhir di SALAM. Dengan tanpa basa-basi permohonan kami dikabulkan, esok paginya saya diminta langsung datang sebagai fasilitator selama satu semester.
Hari berikutnya, pukul 07:30 WIB. Sedikit terburu buru berangkat dari rumah, takut terlambat melewatkan pagi ini. Sambutan hangat dari kanan kiri yang penuh sawah dan air parit yang waktu itu suaranya tak kalah dengan deru motor di jalan raya. Ternyata jam segini masih terlalu pagi untuk warga SALAM, kesempatan untuk mempersiapkan tenaga berkenalan dengan orang baru, beradaptasi, dan bermain dengan anak anak.
Menempatkan diri sebagai fasilitator baru, di minggu awal ini sepakat dengan diri sendiri untuk menaruh jauh-jauh ekspektasi terhadap SALAM. Saya menantang diri untuk coba terima dan mencerna dari apa yang saya lihat juga rasakan di SALAM untuk pertama kali. Pikir saya mungkin untuk sekarang, tepat bila perlu mengesampingkan asumsi dan opini yang melekat pada SALAM. Selain karena asumsi yang belum tentu benar, tampaknya lebih asyik untuk menebak-nebak jalan cerita selanjutnya di tiap peristiwa. Persepsi saya tentang peristiwa itu bisa saja bermakna beda, maka saya coba membuka mata dan hati selebar-lebarnya untuk menerima peristiwa demi peristiwa.
Saya diberi kesempatan untuk membersamai teman-teman kecil kelas 3 SD bersama Bu Wiwin, Mbak Shafira, dan Mas Pandu. Awal-awal saya mencoba mengobservasi apa yang terjadi di kelas ini.
Betul saja, 2 hari berjalan ada saja kejadian di kelas ini. Bertengkar atau tak mencapai pada kesepakatan bersama, itu terjadi pada beberapa anak. Bahkan di hari yang sama. Melerai anak bertengkar, bagi saya cukup sulit. Maka saya berusaha belajar, melihat para fasilitator memberi kesempatan anak-anak untuk puas menangis ataupun marah. Baru setelah tenang, ditanyai apa yang terjadi pada kedua belah pihak. Di sini yang paling penting, perlu dihadirkan saksi baik dari teman temannya yang waktu itu ikut bermain atau siapapun yang melihat kejadian itu. Kita buka diskusi bersama, apa yang sebenarnya terjadi. Tak jarang bagi anak yang merasa bersalah atau tidak, dia tetap meminta maaf pada temannya.
Ketika ditanya “kenapa kamu minta maaf duluan, Le?” Jawabnya santai “yo rapopo aku pengen wae” katanya ya tidak papa aku hanya ingin minta maaf. Padahal berdasarkan kesaksian teman-temannya, anak yang minta maaf ini tidak bersalah.
Setiap kelas punya kesepakatan masing-masing, sebagai satu contoh yakni berbagi. Berbagi bisa berupa benda ataupun kesempatan. Waktu itu sedang makan bersama di kelas dengan bekal masing-masing, Gara yang tidak membawa bekal terlihat diam saja sambil memperhatikan setiap bekal teman-temannya.
“Nyo Gar, dipangan”, kata Angger sambil menyodorkan tutup tupperware nya yang berisi nasi-lauk-sayur. Ternyata Angger dan Sakha yang sedari tadi sibuk berdua sedang patungan mengumpulkan makan siang untuk Gara. Tetapi Gara menolak “rasah, aku isih wareg kok. Ra ngelih aku.” katanya dengan maksud nggak usah, aku masih kenyang. Ga laper aku.
Karena mereka sudah hafal karakteristik temannya, terutama Gara. Angger dan Sakha tahu bahwa Gara sebenarnya lapar dan pasti mau. Maka menyeletuklah Angger dengan mantap “Ojo nolak rejeki koe ki Gar” dengan maksud jangan menolak rejeki kamu Gar. “Iyo, suwun yo Ngger, Sakh” langsung Gara mengambil tutup makan yang penuh nasi, sayur dan lauk itu.
Sederhana, tapi mengharukan melihat anak-anak tahu betul tentang kebutuhan temannya dan punya empati untuk berbagi. Rakkai namanya, biasanya waktu makan bersama di kelas. Ia akan minta di WhatsApp Mimbok untuk dijemput duluan. Dia tidak ikut makan bersama, bahkan malah membungkuskan makanan itu untuk Mimbok agar dimakan di rumah. Tapi berbeda sore ini. Kami habis melakukan riset bersama kita, membuat sabun. Memang kelas hari ini kita ambil di siang hari. Setelah selesai kami membuat sabun bersama, Rakkai bersama Naka langsung berlari ke parit sebelah kelas.
“Aku tadi mau cari kepiting, tapi yang ketemu malah sampah. Trus temen temen nyusul” cerita Rakkai tanpa harus ditanya. Dulu Rakkai paling pelit untuk menjual suara nya, kalau tidak ditanya duluan. Sekarang dia mau. Dia mau celana nya basah, kakinya terkena lumpur dan main menceburkan diri di parit. Dia fine fine saja. Dengar cerita dari Bu Wiwin, kalau dulu kena kotor sedikit, harus ganti celana bahkan sampai terganggu tidak nyaman hingga menangis. Mungkin setelah Ia berani mencoba kotor, ada keseruan yang Ia temukan. Waktu ditanya, “udah mau di WA in Mimbok buat dijemput pulang?” Oleh Bu Wiwin “Atau Rakkai nggak mau pulang ni?” tambahku, Sambil senyum-senyum Rakkai menjawab “belum mau” Kami hanya tertawa sambil heran, “wah Rakkai sudah nemu sesuatu yang asyik di sekitar dia”. Dulu dia belum bisa, sekarang sudah mulai bisa.
Rakkai pun untuk bisa menemukan kesenangannya butuh waktu. Bagi kami, dia sudah mau menikmati sekitarnya udah sangat membahagiakan. Soal waktu, lama atau tidaknya itu proses masing-masing. Tidak bisa dioyak-oyak, atau dipaksa harus sama dengan yang lain. Memang di sini tidak ada yang bisa diseragamkan. Ada yang sudah paham soal empati, ada yang belum paham tentang mengalah, pun juga ada yang masih sulit mengontrol emosinya ketika marah. Semua itu di sini sangat diterima, justru dari keragamanan pada masing-masing anak bisa dijadikan pembelajaran bersama. Berangkat dari peristiwa sehari-hari, kontekstual, anak-anak bisa memahami kebutuhannya.
Maka dari itu, pantas saja di SALAM jumlah fasilitator lebih banyak daripada guru tiap kelas di sekolah formal. Saya merasa anak butuh didampingi lebih intens dengan mengoptimalkan kemampuannya tanpa dibandingkan dengan temannya, Ini bukan tentang perlombaan. Tidak ada yang lebih dahulu mencapai finish nya. Setiap anak berada pada tempatnya masing-masing. Seberapa panjang perjalanannya, kalau dimaknai, akan sangat kaya pembelajarannya. Peristiwa anak-anak di SALAM kemudian saya kaitkan dengan proses perjalanan saya sebagai mahasiswa yang saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir di SALAM. Bagi saya yang sudah menginjak semester tua melihat teman-teman yang lainnya sudah lulus sidang, merasa kecil hati awalnya. Setiap hari ada saja kabar dari satu atau dua teman sedang merayakan kelulusannya. Sedang saya sekarang berada di sini, di tengah proses menyelesaikan tugas akhir. Masih jauh rasanya dibanding teman-teman. Tapi saya ingat anak-anak. Apa gunanya semua hal ini dipaksakan dan diseragamkan. Jatuhnya terpaksa untuk mengerjakan sesuatu tanpa dimaknai. Justru saya ingin berterima kasih sudah diterima di SALAM dengan begitu hangat untuk melanjutkan perjalanan ini dengan penuh makna bersama anak-anak, fasilitator, orang tua yang sangat suportif, dan masyarakat sekitar SALAM. Everything has its own time. Sama dengan anak-anak setiap proses yang kami miliki pasti ada waktunya tersendiri. Hal ini yang selalu menguatkan ketika sedang mengalami pergulatan.
Bahkan untuk membuat tulisan ini, perlu proses untuk merakit peristiwa dan refleksinya. Mungkin ada yang bisa langsung cepat membagikan pengalamannya melalui tulisan. Tapi bagi saya, untuk bisa merakit menjadi tulisan ini membutuhkan momentum yang pas. Perlu mengalami peristiwanya dulu lalu sharing dengan teman-teman fasilitator. Hingga mengikuti retret bersama teman-teman mahasiswa Psikologi bahwa waktu itu kami sadar terkadang sebagai manusia kita terlalu sibuk dengan rencana duniawi dan terlalu memaksakan semuanya hingga kita lupa dengan Tuhan dan rencana yang telah disiapkan bagi kita. Padahal, tanpa disadari, semua hal yang akan terjadi memiliki waktu dan kesempatannya sendiri. []
Relawan SALAM
Leave a Reply