Blog

Dua Teman (media) Baru Pendidikan Kontekstual

Lensa Untuk Melihat Warna-Warni Lingkunganmu

SALAM sudah terkenal sebagai tempat belajar yang proses belajarnya sangat menghargai minat dan bakat anak. Anak diperbolehkan mengajukan tema risetnya sendiri karena SALAM mempercayai bahwa selama anak tersebut tertarik dengan topik yang ia pelajari, pintu menuju setiap cabang ilmu pun dapat terbuka. Akan tetapi, konsep pendidikan yang diimpikan oleh SALAM bukan hanya sekadar untuk menambah pengetahuan dan keterampilan individual saja. Pendidikan perlu ditarik ke satu langkah yang lebih jauh dan lebih penting yakni: pengetahuan & keterampilan itu akhirnya untuk apa? Harapannya, bukan untuk keuntungan pribadi dan mengejar kesuksesan ala mainstream semata, melainkan untuk kepentingan bersama, terutama lingkungan dekat mereka sendiri.

dahar kembul warga SALAM

Bagaimana cara membangun perkenalan dan kepedulian kepada lingkungan sekitar kita sendiri? Yang pasti, bicara sampai berbusa-busa saja terkadang tidaklah cukup. Lagipula, rasanya sudah banyak yang membahas tentang pentingnya mencintai dan mengenali lingkungan sendiri, tetapi tetap saja hanya dianggap sebagai angin lewat. Belum lagi, kalau yang bicara bukanlah motivator kharismatik yang pandai mengajak (memanipulasi) kita untuk mengikuti pandangannya. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme yang setidaknya akan mempengaruhi keseharian orang, atau setidaknya mengalihkan pandangannya menuju lingkungan terdekatnya sendiri. Mekanisme ini adalah dengan mengajak orang tua (dan anak-anaknya) untuk menemukan setidaknya 3 sumber belajar yang ada di kehidupan dekatnya. Jika semua orang bisa menjadi maha guru bagi seorang yang ingin belajar, maka setiap tempat pun mempunyai potensi untuk menjadi ‘guru’ bagi mereka yang serba ingin tahu.

Dengan sedikit mengganti lensa, dari kacamata sehari-hari menjadi kacamata yang mencari-cari tempat yang bisa dianggap sebagai sumber belajar, maka lingkungan yang terlihat sehari-hari sebagai bangunan-bangunan tak bernama dapat berubah menjadi tempat bernyawa yang ditinggal oleh orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya, sawah yang mungkin selama ini dilihat beberapa orang hanya sebagai latar belakang yang indah di SALAM, bila dilihat dengan lensa sumber belajar, kita dapat melihatnya sebagai sesuatu yang penuh dengan potensi belajar. Dari sistem irigasi yang kompleks, cara para petani memperhatikan jarak saat menanam, cara mereka merawat tempat yang luas tersebut, berapa beaya produsi serta perolehannya dan lainnya. Bahkan anak-anak yang menggunakan lensa bahwa semua tempat itu tempat bermain yang hidup juga sudah bisa mempelajari ekosistem yang ada di sawah, dari kuthuk, yuyu, katak, maupun ular yang hidup di ekosistem tersebut. Lensa inilah yang berusaha ditawarkan melalui mekanisme pengumpulan sumber belajar ini. Nantinya, melalui visualisasi tempat-tempat tersebut, kita dapat melihat peta Salam sebagai peta yang hidup.

Kerendahan Hati Fasilitator Menyadari Keterbatasannya

Terkadang, sulit bagi kita untuk memahami keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kita. Terutama ketika kita berada dalam konteks pendidikan yang berarti kita berurusan dengan anak-anak, makhluk yang hidupnya jauh lebih sebentar daripada kita dan melihat lebih sedikit dibanding kita.

Terkadang, ada celetukan bahwa sangat sulit menjadi fasilitator di SALAM karena harus berkutat dengan riset anak yang bermacam-macam. Namun untuk itulah kita menggunakan kata ‘fasilitator’, bukannya ‘guru’. Kalau guru yang kita kenal di luar sana biasanya dinilai berdasarkan penguasaannya terhadap materi yang ditugaskan terhadapnya. Semakin paham dan semakin mudah menjelaskan pengetahuannya kepada murid-murid, ia akan dicap sebagai guru yang ‘baik’. Berbeda dengan fasilitator yang bertugas untuk memfasilitasi anak yang belajar secara mandiri. Layaknya fasilitas di hotel yang bertujuan untuk memanjakan penghuninya agar dapat beristirahat dengan caranya masing-masing, di konteks pendidikan, fasilitas diberikan dengan tujuan untuk memanjakan pelajar agar dapat belajar dengan caranya sendiri. Kalau di hotel ada fasilitas untuk memanggil taksi, yang artinya penyedianya bukanlah hotel itu sendiri. Di pendidikan, kita bisa memberikan fasilitas untuk menghubungkan pelajar ke narasumber yang mungkin memang lebih ahli di bidang tertentu, tidak perlu si fasilitator itu sendiri yang menyediakan pengetahuan dan keterampilan tersebut.

Akan tetapi, terkadang fasilitator masih terjebak dengan ide peran guru yang seakan bertanggung jawab penuh atas perkembangan anak didiknya sehingga ia berusaha untuk mengambil tanggung jawab yang lebih dari kemampuannya dan enggan untuk mencari bantuan dari luar. Sayangnya, justru hal tersebut mungkin membuat batas eksplorasi anak yang sedang belajar tersebut. Area eksplorasi anak tersebut hanya sebatas pengetahuan fasilitator, padahal di luar sana masih banyak area luas nan indah yang dapat dipetualangi. Fasilitator yang menurut saya bijak bukanlah fasilitator superhero yang punya pengetahuan dan keterampilan super luas, melainkan fasilitator yang mau memahami keterbatasannya itu sehingga ia akan mengajak pihak lain untuk berkolaborasi agar dapat membuka horizon yang lebih luas bagi petualangan anak tersebut.

Pengumpulan data jurnal riset dan sumber belajar ini merupakan usaha untuk membantu fasilitator dengan cara membagikan pengetahuan maupun kesulitan. Pengumpulan data sumber belajar dapat membantu fasilitator untuk menemukan narasumber yang mungkin relevan bagi riset anak yang difasilitasinya. Pengetahuannya kini bukan hanya sebatas pengetahuan pribadi atau orang terdekatnya, namun pengetahuan dan koneksi se-kerabat SALAM. Lebih mudah bukan untuk meminta bantuan orang yang memang sudah terhubung dengan SALAM dibanding mencari narasumber random yang dicari lewat google?

Selain itu, teman-teman fasilitator yang lain dapat ikut membantu apabila memang topik yang dipilih seorang anak memang asing bagi fasilitator yang awalnya bertugas untuk menemaninya. Tanpa harus bersusah payah menceritakan topik riset anak tersebut ke fasilitator lain satu per satu, topik riset tersebut sudah dapat dicermati oleh fasilitator lainnya dan mereka yang merasa topik tersebut merupakan minatnya dapat mengajukan diri untuk membantu. Artinya, fasilitator tidak perlu merasa terbeban sendiri untuk dapat mengetahui semua hal yang ada di dunia ini, justru dengan mengakui ketidaktahuannya, mungkin ia justru dapat membantu anak tersebut untuk belajar.

Ketika perjalanan anak terekam dan dapat diakses oleh fasilitator-fasilitator yang peduli untuk mengembangkan riset anak tersebut, tentunya riset tersebut dapat berkembang ke berbagai arah yang mungkin luput apabila dilihat hanya oleh satu orang. Oleh karena itu, rasanya tidak mungkin riset tersebut akan ‘macet’. Untuk topik es krim saja, sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang bisa kita dalami. Dari mencari bahan-bahan alternatif yang bisa digunakan untuk membuat es krim, sampai mencari tahu bagaimana es krim bisa sampai populer di Indonesia dibanding kudapan-kudapan lokal. Di mata setiap orang yang melihat es krim, mungkin muncul pertanyaan yang berbeda di kepala mereka.

Feedback yang beragam itu juga dapat disampaikan dengan lebih cepat. Tidak seperti dosen pembimbing yang kadang sok sibuk dan enggan untuk sering berkomunikasi dengan mahasiswanya untuk memberikan umpan balik, fasilitator di SALAM dan Pak Toto, yang sudah berjanji akan memantengi setiap laporan jurnal riset selama 1 semester ini, akan memberikan umpan balik dengan cepat. Artinya, seandainya seseorang menemukan kegagalan dalam sebuah langkah, bukan berarti itu akan menjadi akhir sebuah riset, namun masih merupakan hanya suatu peristiwa yang tentunya bisa diolah, selama dilihat oleh orang yang memahami bahwa kegagalan bukanlah hal yang lebih penting dibanding proses. Tanpa umpan balik yang mengajak untuk mengelola ‘kegagalan’ tersebut, ada saja situasi dimana kegagalan direspon dengan banting setir, seperti mengganti topik riset, padahal banyak jalan yang belum dijajaki yang masih bisa dicoba. Apabila kejadian seperti ini tidak direspon dengan cepat dan keburu banting setir, Pak Toto merasa sungguh sayang karena ‘rezeki’ yang tak terduga ini akan hanya lewat sebagai angin lalu.

Pada akhirnya dua objek atau mekanisme yang akan kita mintai bantuan di semester yang akan datang hanyalah sebuah alat. Mau secanggih apapun alat itu, akhirnya yang menentukan fungsi dan kehebatannya adalah si operatornya. Alat ini bukanlah pengganti manusia, melainkan teman bekerja. Bukan untuk menyindir keterbatasan kita untuk mengingat informasi, namun untuk membantu kita menutupi kekurangan tersebut. Lagipula, apakah gengsi kita itu seberharga itu apabila yang dikorbankan adalah potensi anak untuk berkembang? Bila jawabannya tidak, maka marilah kita bekerja sama, bahkan dengan alat-alat yang tidak bernyawa ini. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *