Nampaknya masih relevan tulisan Emha Ainun Nadjib yang pernah dimuat Harian Yogya Post, 14 Desember 1990, tentang debirokratisasi Pendidikan—dalam pengertian merujuk pada upaya untuk mengurangi birokrasi yang terkait dengan sistem pendidikan. Hal ini dapat mencakup pengurangan regulasi dan persyaratan administratif yang berlebihan, serta peningkatan fleksibilitas dan keterlibatan guru, siswa, dan orang tua dalam pengambilan keputusan pendidikan. Tujuan utama debirokratisasi pendidikan adalah untuk mempercepat dan menyederhanakan proses pengambilan keputusan dalam sistem pendidikan, sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan. Beberapa manfaat dari debirokratisasi pendidikan adalah meningkatkan kualitas pendidikan, mengurangi biaya administratif, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, debirokratisasi pendidikan juga dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti kurangnya pengawasan dan akuntabilitas, serta risiko penurunan standar pendidikan jika regulasi yang dibutuhkan untuk memastikan kualitas dihilangkan secara berlebihan. Oleh karena itu, debirokratisasi pendidikan harus dilakukan dengan hati-hati dan dipertimbangkan dengan matang untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tidak merugikan kualitas dan tujuan utama dari sistem Pendidikan itu sendiri. (Red.)
Salah satu persoalan nasional yang akan (dan sebaiknya direkayasa untuk) menjadi isu nasional adalah masalah pendidikan. Proyek Lepas Landas sesungguhnya adalah suatu takabbur sejauh kita menginsafi seberapa borok iklim kependidikan kita selama ini. Tapi justru karena itu maka pelaku-pelaku sejarah yang nonpemerintah jadinya memperoleh bukan saja tantangan. Kita tidak bisa “licin” omong soal Lepas Landas selama dunia pendidikan — yang merupakan software infrastrukturnya — masih sedemikian mengalami kejumudan dan stagnasi.
Kebobrokan dunia pendidikan kita terjadi pada beberapa dataran. Umpamanya dataran filosofis: bahwa kita belum mendidik, melainkan baru mengajar. Itu pun belum mengajar berpikir, melainkan menghapalkan, bahkan hingga saat ini kita membiarkan saja kesalahan filosofis dan ”ideologis” yang merupakan sumbernya. Atau jua bahwa guru itu atasan dan bukan teman. Bahwa banyak muatan kurikulum yang tidak relevan terhadap tahap usia anak didik, pola pengajaran yang feodalistik dan otoriter. Bahkan beberapa ahli menggelisahkan betapa filosofi Taman Kanak-kanak, juga filosofi play group, sudah dirampok oleh “fasisme” birokrasi orang-orang “dewasa”.
Pada dataran perangkat keras-nya dunia pendidikan kita juga mengidap penyakit kanker yang — diakui atau tidak — mengancam kualitas regenerasi bangsa kita. Kalau Anda cukup rajin mengamati dan coba mengalami situasi-situasi kependidikan dari tingkat atas sampai terbawah, dari skala lokal hingga nasional, saya yakin Anda sepakat bahwa dunia pendidikan kita makin tidak terlihat sebagai dunia pendidikan itu sendiri.
Dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang “inheren” dan mekanisme politik, birokrasi, dan mobilisasi. Bersekolah bukanlah mencari ilmu (sekadar menghapalkan pengetahuan tertentu), bukanlah mengolah kreativitas (bahkan guru acapkali merupakan agen dekreativisasi), serta bukan pula menggali dan mengembangkan kepribadian (bersekolah ialah penyeragaman atau penghapusan unikum manusia).
Pada saat yang sama dunia pendidikan juga sudah menjadi bagian dari proses proses wadag industrialisasi. Para pengurus pendidikan, dari pejabat Depdikbud hingga sementara guru-guru, adalah semacam tuan tanah dari lahan pertanian modern yang bernama dunia pendidikan. Dari banyak kasus, tecermin bahwa bagi mereka yang penting bukanlah pertumbuhan anak didik, melainkan posisi birokratis mereka bisa bermanfaat untuk mencari nafkah: perang tender, royokan proyek, jual diktat, dan lain sebagainya. Atmosfer mental dunia kependidikan tidak berpusat pada dunia pendidikan itu sendiri.
Dalam banyak hal sesungguhnya kita sedang menabung dosa kepada Tuhan dan anak cucu, padahal belum tentu kita sudah bercucu.
Apa yang bisa dilakukan oleh institusi-institusi sosial, misalnya Muhammadiyah atau NU dan lain-lain — dalam soal ini — saya kira adalah merintis sungguh-sungguh proses ishlah terhadap dunia kependidikan secara menyeluruh, pada semua dataran.
Sejauh yang saya ketahui, sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang dimiliki oleh umat Islam tidak memiliki iklim yang cukup berbeda dibanding persekolahan pada umumnya — kecuali sementara “sekolah khusus” seperti pesantren yang tanggap terhadap relevansi zaman dan hari depan. Situasi kependidikan Islam, karena halangan birokrasi dan kultur serta karena lemahnya kekhalifahan umat Islam sendiri di bidang itu — sama memprihatinkannya dengan situasi menyeluruh dunia pendidikan kita.
Semua pihak berkewajiban untuk lebih serius memikirkan hal itu. Di bawah maupun di atas. Dan salah satu alternatif yang mutlak diperlukan adalah upaya pemandirian pendidikan, yang dalam hal tertentu berarti debirokratisasi pendidikan.
Saya kira Anda tahu semua bahwa seorang menteri pun, macam Fuad Hassan, tidak dengan gampang melakukan pembenahan-pembenahan sekecil apa pun, “berkat” jumudnya “mafia birokrasi” di bawahnya. []
Budayawan, penyair, esais & pekerja Sosial
Leave a Reply