Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini telah mengubah pola hidup kita, tak terkecuali aktivitas belajar di universitas. Proses belajar mengajar yang sejak lama dilakukan secara konvensional atau metode tatap muka tidak dapat berjalan lagi, karena mematuhi kebijakan pemerintah untuk melakukan physical distancing guna mencegah atau menghambat penularan Covid-19.
Perubahan ini tentu saja membuat banyak mahasiswa dan dosen mengalami cultural shock dalam proses belajar mengajar, yang sedianya selalu dilakukan di kampus, saat ini harus dilakukan di rumah masing-masing dengan memanfaatkan platforms belajar online yang disediakan kampus maupun di luar kampus. Covid-19 membuat kita sadar bahwa mental kita sebenarnya belum siap berada di era Revolusi Industri 4.0.
Kendala yang dihadapi dalam belajar online bukan hanya berasal dari beberapa internet provider yang tidak dapat menghadirkan signal yang baik di beberapa daerah, tetapi juga dari mahasiswa atau dosen yang terkadang lupa jadwal yang sudah disepakati, lupa mengunggah tugas atau mungkin gagap teknologi. Banyak di antara mereka yang canggung dengan platform belajar online yang telah disediakan.
Di sinilah dampak positif Covid-19, kita menjadi belajar menghadapi dunia masa depan yang kental akan penggunaan teknologi. Jika berpikir positif, kita akan menjadikan masa pandemik ini sebagai ajang latihan hidup di Era 4.0 yang sebenarnya atau bahkan Era 5.0. Namun itu adalah pilihan, apakah kita memilih mengutuki kegelapan atau memilih untuk menyalakan lilin minimal untuk diri sendiri.
Meski tidak tahu pasti kapan pandemi ini akan teratasi, tetapi kita harus senantiasa berpikir positif bahwa semua ini pasti akan berlalu. Di masa stay at home seperti sekarang ini, kita sebagai mahasiswa bisa memilih untuk menjadi loser atau survivor.
Apakah kita berpotensi menjadi seorang loser?
Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa mendapatkan tugas yang tidak sedikit, terutama bagi mahasiswa yang masih harus mengambil beberapa teori mata kuliah. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah stay at home justru membuat kita menjadi santai dan cenderung membuang waktu? Beberapa dari kita pasti merasakan bahwa ‘dirumahkan’ justru tidak membuat produktif. Bagi mahasiswa tentu perasaan sangat bosan sering menghampiri; kerja tidak, ke kampus pun tidak. Biasanya, situasi seperti ini berpotensi menjebak siapa pun. Lalu, kebiasaan apa saja yang membuat kita berpotensi menjadi loser?
Lima menit lagi
Kalimat ini sangat singkat, namun dapat mengganggu pencapaian target yang ingin diraih. Di antara kita pasti sering sekali dalam hati berkata “lima menit lagi, ah” ketika akan mengerjakan tugas, tetapi scrolling Instagram sedang seru-serunya. Buah dari kalimat pendek ini sangat signifikan, lima menit akan bergulir menjadi satu jam atau bahkan dua jam. Alhasil, waktu sudah menjelang siang, pekerjaan rumah seperti memasak, bermain dengan anak, atau membersihkan rumah sudah menanti. Kalimat “lima menit lagi” selanjutnya akan berganti menjadi “nanti sore, ah” atau “besok pagi masih bisa”, sampai deadline menyadarkan kita.
Peserta debat kusir
Berdiskusi sampai pada berdebat terkadang memang perlu untuk meluruskan sesuatu. Akan tetapi, berdebat tentang hal yang kita tidak memiliki dasar ilmunya tentu saja akan sangat merugikan waktu kita. Banyak ditemui orang-orang di social media yang aktif menjadi peserta debat kusir tema politik atau tema yang lain, saling menghujat, menghina, memaksakan pendapat dan berakhir pada saling menjadi peserta debat kusir hanya akan membuang banyak hal terutama waktu yang sangat berharga dan tidak bisa kembali.
Mendadak pakar
Peserta debat kusir biasanya mendadak menjadi pakar di bidang apa pun dengan modal dasar pengetahuan yang mungkin didapat dari social media, kemudian menjadi ketagihan membuat statement yang diunggah di social media dan menimbulkan opini-opini yang negatif ditengah-tengah masyarakat. Negara kita memang negara demokratis, di mana beropini sah-sah saja dilakukan. Bahkan, mengkritik pemerintah karena kritik yang baik dapat menjadi penyeimbang, tetapi tentu saja sebaiknya dilakukan dengan cara yang baik. Jika saya boleh berpendapat, rasa ingin tahu dan pengetahuan dasar yang kita miliki bisa saja menjadi penelitian yang sangat menarik, bahkan mungkin menjadi referensi yang sangat bermanfaat, daripada sekadar menjadi hidangan ringan dalam acara debat kusir yang sudah pasti tidak akan ketemu jalan tengahnya.
Apakah kita berpotensi menjadi survivor?
Mengapa tulisan ini tidak saya beri judul “Covid-19: Loser vs Winner?”, karena menurut saya menjadi winner atau juara saja tidak cukup. Tidak semua winner dapat bertahan. Beberapa orang dalam sebuah pertandingan atau lomba apa pun bisa menjadi juara bertahan, tetapi juara seperti itu jumlahnya sangat sedikit. Saya memilih untuk mengajak teman-teman menjadi survivor, karena seorang survivor memiliki mental juara dalam “pertandingan” apa pun. Meski tidak mendapatkan medali emas, survivor mampu menyelesaikan pertandingan. Di masa pandemi ini, menjadi survivor jauh lebih dibutuhkan. Tentu saja ini hanyalah sebuah analogi. Tindakan atau aktivitas apa saja yang berpotensi menjadikan kita seorang survivor?
Tidak mudah mengeluh
Kekuatan kita itu ada pada kemampuan mengontrol diri, kekuasaan kita ada pada pemikiran yang baik dan kekuatan itu ada jika tenang. Kontrol, pemikiran, dan ketenangan adalah kunci utama supaya kita tidak mudah mengeluh di masa pandemi ini. “Self-control is strength. Right thought is mastery. Calmness is power” (James Allen).
Peka dengan lingkungan
Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat bagi sesama, mungkin inilah saatnya kita menjadi manusia yang dimaksud tersebut. Survivor akan peka dengan kondisi lingkungannya, mungkin tetangganya membutuhkan pertolongan karena tidak bisa memenuhi kebutuhan makan harian, mungkin kerabatnya adalah orang dalam pengawasan (ODP) yang sedang melakukan isolasi diri yang membutuhkan pertolongan dan perhatian. Seorang survivor akan berpikir dan bertindak untuk menjadikan dirinya berkat bagi sesama.
Target harian
Survivor tidak menggunakan keterbatasan yang ada sebagai alasan untuk menurunkan target pencapaiannya. “Pelaut yang tangguh, bukan dia yang duduk santai di dermaga, tetapi dia yang berani mengarungi samudera”. Meski di tengah pandemi target harian seharusnya tetap dibuat dan berkomitmen untuk menyelesaikannya hari itu. Tangguh itu tidak diam, tetapi bergerak. []
Alumni Fakultät Erziehungswissenschaften, Technische Universität Dresden dan Mahasiswa Program Doktor PTK Universitas Negeri Yogyakarta
Leave a Reply