Kadang orang sering lupa menghargai di kala dekat, sering lupa berbuat lebih ketika tak berjarak. Jarak adakalanya menjadi penting, karena dia bisa menjadi pengingat tentang rasa mensyukuri, rasa menghargai, rasa berbuat lebih pada apa yang ada di depan mata. Tanpa jarak, mungkin rindu pun menjadi semu.
Tahun ajaran baru ini anak saya Vadin sudah resmi terdaftar di sebuah sekolah swasta di daerah tempat tinggal kami, di Klaten. Petualangan mencari sekolah lagi-lagi harus kami hadapi. Tentu proses pergantian ini sudah saya bayangkan tidak mudah. Kami harus bisa belajar berdamai dengan diri kami. Berdamai dengan segala idealisme tinggi yang ada di dalam kepala kami, dan tentunya harus bisa menurunkan standar istimewa kami. Proses memilah dan memilah menjadi aktifitas kami beberapa waktu, setelah memantapkan hati dengan sebuah sekolah yang kami rasa nilai-nilai dan visi hampir tidak terlalu jauh dengan Sanggar Anak Alam (SALAM), (kecuali urusan seragam dan gedung betonnya) dan juga Vadin agaknya mulai (sedikit) bisa berdamai dengan sekolah itu—kami putuskan oke, mari kita coba dan kita lihat saja nanti.
Tanggal 9 Juli 2018 lalu, kami bersama dengan para orangtua dan guru dari Kelompok Bermain (KB) SALAM berkumpul untuk penerimaan rapor sekaligus syawalan mengingat aroma Lebaran masih tercium samar-samar. Betapa saya tidak bisa membayangkan bagaimana nanti, sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya berpikir, bergulat dengan perasaan resah, karena bisa saja ini adalah keberangkatan saya dan Vadin menaiki Kereta Api yang terakhir untuk bertemu dengan fasilitator dan juga teman-teman, terlebih dengan sahabat-sahabat para orangtua. Rasa-rasanya satu tahun berlalu begitu cepat. Benar saja, ketika kami datang—kami memang agak terlambat datang saat itu karena sempat tertinggal jam kereta pagi—suasana sudah begitu serius dan acara berpamitan yang diwakili oleh salah seorang orangtua teman kecil di KB SALAM sudah dimulai. Sejatinya saya tidak ingin berbicara apapun saat itu, karena saya tahu betapa berpamitan itu menjadi hal yang emosional dan saya belum cukup tangguh untuk menghadapinya. Betul saja, ketika giliran saya menyampaikan perasaan selama belajar di SALAM, air mata mendadak mengalir deras, antara ucapan, hati, dan pikiran saya bergelut, tidaklah bisa mengucapkan segala kata dengan benar, saya hanya bisa sesenggukan sambil mengulang banyak kata yang sama. Saya memang tidak pandai dalam berkata-kata, ditambah dengan suasana yang penuh haru saat itu. Akhirnya, hanya kata terima kasih yang benar- benar bisa terucap, terungkap. Karena pengalaman berharga, karena rasa sayang, karena cinta yang telah hadir dan menyambut kami selama berada di SALAM tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Secara alami, rasa cinta dan pedih kehilangan itu tumbuh merambat liar begitu saja di dalam diri di luar kendali.
SALAM membuat kami bertumbuh. Bagai bayi baru lahir yang belajar berceloteh, kemudian merangkak, lalu merambat, lantas berjalan, hingga ada masanya kami pun harus mampu berlari. SALAM membuat kami menyadari bahwa alam semesta ini adalah tempat belajar. Alam raya ini bagaikan sebuah sekolah yang Maha luas dimana kita bisa belajar dimana saja, kapan saja, dan bisa dengan berbagai cara. Dasar inilah yang pada akhirnya menjadi tonggak kami untuk membantu Vadin dalam berproses selanjutnya. Tidak hanya saya yang berat berjarak dengan kebersamaan, dengan persahabatan dan cinta kasih yang sudah terjalin satu tahun ini, Vadin pun demikian. Diantara canda tawanya bersama teman-temannya di KB, kadang dia bertanya pada saya ‘kapan aku bisa ketemu teman-teman lagi, Bu?’ Tentu, hati orangtua mana yang tidak mencelos ketika mendengar pertanyaan lugu seperti itu.
Sebagai orang tua saya kembali menyadari bahwa proses belajar ini tidaklah akan pernah berhenti. Liburan ini saya lebih sering meninggalkan aktivitas-aktivitas keseharian saya dan lebih sering mengamati proses perkembangan Vadin dari hari ke hari. Dari SALAM saya belajar untuk mengenal kebutuhan Vadin dan keinginannya. Saya juga belajar untuk menjadi ibu yang lebih peka. Seorang Ibu sejatinya adalah guru belajar pertama dan utama bagi seorang anak. Dari SALAM saya belajar untuk tidak lelah mencari, tidak lelah bertanya. Bagai seorang Ibu, SALAM adalah guru pertama saya yang berhasil membuat saya praktik langsung untuk menjadi seorang “guru” bagi Vadin.
…. SALAM,Sanggar Anak Alam, tempat kami belajar dari kenyataan
SALAM, Sanggar Anak Alam, pelajari hakikat kehidupan …
Bait-bait lagu SALAM menjadi pengingat. Tidak hanya untuk Vadin, namun juga kami sebagai orang tua. Bahwa sebagai orangtua kami pun harus mampu menyatukan diri kami dengan alam, dengan semesta. Membuka telinga, mata dan hati kami lebar-lebar agar tidak hanya sekadar mendengar, melihat dan merasakan, namun lebih dari itu, supaya mampu mencapai intisari kasunyatan kehidupan yang sesungguhnya.
Dalam satu tahun, SALAM telah mampu menggenggam hati kami. Semoga cinta yang diberikan SALAM dalam mendidik, dalam mendampingi mampu kami teladani dan kami bagikan. Tidak ada cinta sejati yang tidak diuji oleh jarak. Tidak ada kerinduan yang lebih besar, ketika mencintai diantara jarak. Jarak bisa saja membuat kita lelah dan kepayahan. Tapi kaki-kaki ini harus terus melangkah dan melawan gundah. Terima kasih SALAM, atas kasihmu yang luar biasa. Semoga rasa cinta ini akan terus bersemi, meski jarak memisahkan. []
Orang Tua SALAM
Leave a Reply