Di Jalan Langenarjan Lor No.16, Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta, berdiri sebuah KASULI, akronim dari Kafe Susu Tuli. Dikelola oleh sekelompok penyandang tuna rungu, kafe ini menyediakan minuman dan kudapan.
Tak ketinggalan, sebuah pameran seni rupa dari teman-teman tuna rungu turut terpajang di dalam ruangan.
Untuk kegiatan Jumat mingguan di SMA SALAM, rakyat kelasnya sepakat memilih Kasuli menjadi lokasi aktivitas Jumatan kali ini. Aku antusias pergi ke sana karena lokasinya yang ada di sekitar Alun-Alun Kidul.
Beberapa hari sebelum kami sepakat ke Kasuli, aku sempat pit-pit an di sore hari ke Alun-Alun Kidul. Sepanjang jalan tidak henti-hentinya aku disuguhi keelokan bangunan tua, tetumbuhan hijau, dan pernak-pernik budaya Jawa. Pokoknya aku jatuh hati dengan pemandangan di kiri kananku. Jadi, waktu tahu bahwa aku akan melewatinya lagi, hatiku langsung teriak “yes!”
Hari Jumat itu pun diawali dengan perjalanan menggowes, yang sempat kesasar sana sini karena pengguna sepedanya yang buta arah mata angin. Ternyata sesampainya di Kasuli, pelancongan belum selesai. Aku masih pergi dengan petualanganku selanjutnya, dengan masuk ke kata dan cerita para penyandang tuna rungu. Sebagian kisah hadir dalam bentuk karya seni rupa, dan sebagian lagi kami dengar secara langsung dari teman-teman tuna rungu di sana dengan diterjemahkan kawan mereka.
Bersama kami saat itu ada Mas Zaka dan Mas Ahmad, salah satu pengisi pameran yang juga tak dapat mendengar. Keduanya menceritakan salah satu dari karya mereka masing-masing. Lewat lukisannya Mas Zaka bertutur tentang bagaimana orang tuli seringkali disuruh berdiam saja di rumah, karena dianggap memiliki cacat. Padahal penyandang tuna rungu hanya mempunyai keterbatasan dalam mendengar saja, selebihnya kondisi otak dan tubuh mereka normal. Jadi, sebenarnya selalu ada keinginan dalam diri mereka untuk transfer ilmu dengan dunia luar.
Sementara itu, Mas Ahmad melukis ulat, kupu-kupu, dan kepompong. Mahluk kecil yang ada di lukisannya itu menjadi perumpamaan tentang orang tuli. Awalnya mereka cuma seperti ulat kecil yang lalu menjadi kepompong. Tapi begitu kepompong itu terbuka, keluarlah sebuah kupu-kupu cantik. Kelak, penyandang tuna rungu akan bersinar saat waktunya tiba.
Usai mendengar tutur kata kedua seniman itu, kami juga mendapatkan cerita kuliahnya Mas Zaka. Meski memiliki keterbatasan, ia sukses lulus dari ISI Yogyakarta. Semasa kuliah, Mas Zaka mesti berjuang lebih dibanding teman-teman kampusnya. Karena tidak mampu mendengar penjelasan dosen, Mas Zaka hanya menyimak Power Point yang ditayangkan di depan kelas, selebihnya ia mencari tahu dan memperdalam sendiri point-point yang tertulis di Power Point tersebut selepas kuliah.
Aku cukup bisa membayangkan apa yang dirasakannya, karena belakangan ini aku juga harus mengejar ketinggalan matematikaku secara mandiri. Prosesnya benar-benar membikin emosi bergejolak. Gregetan setengah mati dan minder karena tidak kunjung nge dong.
Tapi bagaimana pun juga, pengalamanku belum bisa dibandingkan dengan kesulitan Mas Zaka di universitasnya. Pasti dia jauh lebih ngos-ngos an lagi. Di perguruan tinggi dia mesti melewati berbagai mata kuliah, KKN, lalu skripsi, dan yang terakhir sidang. Semua dengan keadaan tuli. Aku yakin dari pengalaman hidupnya itu, Mas Zaka terlatih menjadi pembelajar mandiri yang juga seorang fighter. Menurutku semangatnya luar biasa.
Sebenarnya kalau mau merasakan lebih dalam tentang apa yang dialami oleh penyandang tuna rungu, ada sebuah alat peredam suara yang boleh kami coba di Kasuli. Tapi menurutku alat peredam suara itu tidak berhasil mewakili kondisi telinga orang tuli yang sebenarnya. Bolak-balik suara dari luar masih bergemerisik di telinga. Rasanya sama saja, seperti waktu aku dulu mengganjal telinga dengan kapas untuk meredam suara orokan Om ku.
Bicara soal alat, aku jadi teringat ucapan Mas Zaka tentang bagaimana alat bantu dengar tidak membantu orang tuli untuk mendengar. Kata alumni ISI Yogyakarta itu, alat bantu dengar justru membuat penyandang tuna rungu merasa bising, namun mereka tetap saja tidak bisa memahami suara-suara yang bertebaran di sekitar mereka. Jadi, alat bantu dengar terbukti sama sekali tak membantu.
Setelah berbagi kisah, ternyata Mas Zaka dan Mas Ahmad tak ketinggalan membagi pengetahuan bahasa isyarat mereka. Mereka mengajarkan pada kami bahasa isyarat yang paling dasar. Memang bukan bahasa isyarat yang praktis, tapi cukup untuk berkenalan, menyebutkan nama, dan mengucap terima kasih.
Sebelumnya aku pernah mengetahuinya dari guru tariku, yang juga mengajar di SLB setempat. Tapi ternyata begitu sampai di tanganku ada beberapa huruf yang bentuknya berubah drastis. Setelah diajari ulang di Kasuli, bentuk-bentuk itu bisa dikembalikan ke wujudnya yang semula.
Permainan tebak benda dan gerak menjadi penutup kunjungan kami di Kasuli. Selepas foto kami berterima kasih, mengucap pamit, dan melambaikan tangan. Terima kasih Mas Zaka, Mas Ahmad, penerjemah, dan teman-teman tuna rungu. Terima kasih pada kalian semua yang sudah mengajarkan pada kami tentang tekad dan semangat yang luar biasa. []
Murid SMA Eksperimental SALAM
Leave a Reply