Sekolah tanpa mata pelajaran, tanpa guru, dan tanpa seragam, terasa aneh, kan? Sejak kecil kita banyak mengenal sekolah konvensional dengan atribut—seragam sekolah, gedung, mata pelajaran, dan tata tertib—yang tidak bisa dipisahkan citranya. Citra pendidikan semacam itu membuat sepasang suami-istri di sebuah pelosok desa mencoba untuk menerobos batas-batas, keluar dari sistem, dan membangun peradaban baru. Seperti judul bukunya, sekolah apa ini? “SALAM” begitulah namanya.
SALAM adalah sebuah sanggar belajar sederhana di pinggir Kota Yogyakarta yang telah menginisiasi praktik belajar yang memerdekakan sejak tahun 2002. Keresahan terhadap pemerintah yang telah melakukan kekerasan sistemik terhadap pendidikan di Indonesia membuat SALAM tidak lagi menggunakan kurikulum seragam buatan pemerintah, melainkan kurikulum otentik yang digali dari dalam hidup dan kehidupan anak-anak itu sendiri.
Pendidikan Jiwa Merdeka
Dalam buku ini, penulis seakan meniupkan ruh pada setiap kata sehingga pembacanya terdorong untuk melakukan berbagai gerakan visioner di bidang pendidikan. Penulis membawa nafas segar melalui konsep pendidikan merdeka yang telah dipraktikkan di SALAM. Meskipun Indonesia telah merdeka dari penjajah, kemerdekaan belajar masih menjadi barang yang mewah yang tidak semua orang bisa menikmatinya. Setiap anak kini semakin mudah mengakses pendidikan, namun tidak mudah memperoleh kemerdekaan belajar.
SALAM mendasarkan laku pendidikannya pada konsep pendidikan jiwa merdeka yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara. Tidak ada paksaan di SALAM sebab setiap anak dianugerahi inisitaif belajar. Pada dasarnya setiap anak terlahir dengan dorongan belajar yang kuat, tidak ada seorang pun yang mengancam anak untuk belajar menyusu, makan, dan berjalan.
Tidak ada mata pelajaran di SALAM. Loh, kok bisa? Kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum otentik yang didasarkan kepada kodrat alamiah yang dimiliki oleh masing-masing anak. Sejak sekolah dasar, anak-anak di SALAM telah dikenalkan dengan istilah ‘riset’. Riset di sini bukan lah riset ilmiah yang dilakukan oleh orang dewasa, melainkan disesuaikan dengan jenjang usia belajar anak. Setiap riset yang dilakukan oleh anak-anak berangkat dari kegiatan mengamati, melakukan percobaan, dan mencatat hasilnya. Riset tentunya didasarkan kepada apa yang menarik minat dan bakat anak sehingga setiap anak akan belajar melakukan riset yang berbeda-beda.
Dengan menghapus mata pelajaran dan menggantinya menjadi kegiatan riset, anak akan mengenal bahwa subjek pelajaran tidak berdiri sendiri-sendiri akan tetapi ada keterkaitan satu sama lain. Kegiatan riset juga mendorong anak untuk melakukan sebuah petualang. Mereka tidak hanya mendengar pengetahuan melalui ‘kata Bu Guru’ melainkan melibatkan kelima indranya untuk merasakan secara langsung sebuah pengetahuan. Proses belajar tersebut sejalan dengan pelajaran konfusius yang mengatakan “mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham.” Kemudian SALAM menambahkan dengan prinsip “menemukan sendiri saya kuasai” (hlm. 105).
Prinsip pendidikan jiwa merdeka di SALAM bukan berarti bebas semaunya sendiri. Seperti dasar pendidikan Sistem Among, kemerdekaan individu selalu dibatasi oleh kemerdekaan individu lain. Batasan di SALAM berbeda dengan di sekolah-sekolah konvensional yang berupa sebuah aturan dan hukuman. Aturan biasanya dibuat sepihak oleh pihak yang berkuasa sedangkan di SALAM lebih menekankan kesepakatan yang melibatkan semua pihak. Bagi mereka yang melanggar kesepakatan akan menjalani konsekuensi, bukan hukuman.
Konsekuensi selalu berhubungan dengan sebuah kesalahan yang dilakukan, sedangkan hukuman tidak. Konsekuensi selalu masuk akal sehingga dapat menumbukan kesadaran. Misalnya, ketika terlambat masuk sekolah, konsekuensi yang didapatkan adalah menambah jam belajar sesuai keterlambatan, bukan malah memberi hukuman yang tidak berhubungan dengan kesalahan seperti menyuruh anak membersihkan halaman atau berdiri di lapangan.
Sekolah Kehidupan
Mengutip pernyataan dari alumnus SALAM “kehidupan sekolah saya dimulai sejak saya berada di dalam kandungan” (hlm. 206). Kita telah mengenal dan mengalami banyak bentuk dan jenjang sekolah di Indonesia. Kehadiran SALAM membuat kita tahu bahwa sebenarnya di dunia ini hanya ada satu sekolah yang begitu luas dan tidak akan pernah bisa tuntas, yaitu kehidupan. SALAM tidak menamai dirinya sebagai sekolah, sebab kehidupan adalah yang lebih luas dan pantas dianggap sebagai sekolah.
Semua riset yang dilakukan anak berangkat dari peristiwa sehari-hari yang sangat membantu dalam memahami konsep riil. SALAM menunjukkan bahwa sebuah pengetahuan yang diajarkan di sekolah dapat ditunjukkan melalui aktivitas sehari-hari manusia. Oleh karena itu, memfasilitasi berkembangnya kesadaran anak akan nilai atau prinsip dalam laku hidup akan melampaui batasan dogmatik.
Ruang belajar anak begitu luas, tidak tersekat oleh tembok dan lain sebagainya. Mereka kadang menyusuri dan melompat di pematang sawah, berjalan di jalan saluran irigasi, atau mengamati hewan-hewan di sekitar sawah. Anak-anak akan melihat, mendengar, dan mengalami banyak peritiwa sepanjang waktu. Ekosistem belajar di SALAM secara terus-menerus melibatkan semua elemen. SALAM menyadari bahwa anak memiliki kodrat untuk selalu terhubung dengan Tuhan, alam natural-sosial, dan dirinya sendiri.
Tidak Ada Guru
SALAM menyebut para pendamping sebagai fasilitator, seseorang yang memfasilitasi anak untuk belajar, bukan guru. Fungsi fasilitator bukan sebagai pengajar melainkan sebagai pemantik rasa ingin tahu serta mendampingi anak-anak menemukan sendiri pengetahuannya. Fasilitator selalu menahan diri untuk tidak menggurui sebab tugasnya adalah menghormati dan menghargai keunikan setiap individu.
Fasilitator tidak pernah membandingkan anak satu dengan yang lainnya. Setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing yang perlu digali. Banyak kejadian yang justru membuat fasilitator belajar banyak dari anak. Sehingga proses belajar bukanlah pengajaran melainkan sebuah dialog interaktif antara fasilitator dan anak. Keterlibatan orang tua sebagai fasilitator juga membuat SALAM semakin kokoh dalam menjalankan Tri Sentra pendidikannya.
Lalu bagaimana fasilitator mengukur kemampuan anak? SALAM memilih untuk tidak menggunakan angka sebagai alat ukur evaluasi. Evaluasi yang dilakukan di SALAM cenderung berbeda dengan evaluasi belajar sekolah yang mengutamakan nilai dan peringkat. Fasilitator di SALAM selalu menggunaka diskusi reflektif untuk mengevaluasi seluruh kegiatan harian. Bukan hanya riset, segala kegiatan seperti bermain, berpetualang, serta konflik-konflik yang terjadi dalam proses belajar pun akan senantiasa melalui sebuah evaluasi.
Diskusi reflektif di SALAM dapat menggali ketahanan, ketekunan, tanggung jawab, inisiatif, dan kreatif anak ebihi penilaian menggunakan angka-angka. Hanya melalui diskusi reflektif, fasilitator dan orang tua tidak akan menciderai proses belajar. Ukuran atau standarisasi bukan menjadi bagian yang penting dalam proses belajar anak, proses yang akan mengambil bagian di SALAM.
Di halaman terakhir, penulis menekankan bahwa dalam sejarah panjang prakarsa pendidikan alternatif di berbagai dunia, wahana dan cara belajar menentang kemapanan itu memang berakar dari wacana tanding: konsep-konsep dasar pembebasan dan pemanusiaan manusia (hlm. 238). []
Bibah Pidi
Jl Raya Candi 2 No. 605A Karangbesuki MalangAkun IG/twit: @bibahpidiNomor HP: 08557888847 / 085888802232Seorang praktisi pendidikan dan penulis
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply