Blog

BUKAN SEKOLAH BIASA

Kenapa sih Sanggar Anak Alam (SALAM) disebut sekolah biasa saja oleh warga SALAM? Jelas-jelas dilihat saja sudah kelihatan bedanya. SALAM menurut saya merupakan sekolah yang tidak biasa. Sejak pertama kali mendengar SALAM sekitar tujuh tahun lalu dari salah satu acara di stasiun televisi swasta. saya sangat tertarik mengamati sekolah ini dari layar televisi, sebab sesuatu yang paling terlihat yakni persoalan seragam dan kerapihan rambut.

Anak-anak di SALAM tidak terlihat menggunakan seragam dan sebagian anak memiliki rambut yang gondrong. Berbeda dengan sekolah saya yang mengatur tata cara berpakaian dan potongan rambut dengan alasan kedisiplinan. Persoalan ini yang kala itu menjadi pertanyaan besar di antara saya dan teman-teman terutama perihal kerapihan rambut. Padahal rambut tidak memengaruhi proses dan hasil pembelajaran, justru sebaliknya, anak yang sering kena razia rambut merupakan anak yang pintar dalam banyak mata pelajaran.

Selain dua persoalan tersebut, saya juga mengamati anak-anak yang belajar dengan gembira. Mungkin karena pembelajaran yang dilakukan lebih jelas dan kontekstual seperti belajar matematika melalui pembuatan makanan atau peristiwa, tidak seperti saya dan teman-teman yang melihat matematika sebagai “monster” pada saat itu karena dituntut untuk menghafal perkalian, pembagian, dan banyak rumus tanpa tahu untuk apa itu digunakan.

Hal yang terakhir saya amati yakni letak sekolah yang berada di tengah sawah tanpa ada penghalang tembok bahkan gerbang. Berbeda dengan sekolah saya yang memiliki tembok dan pagar yang dijaga oleh SATPAM sehingga sangat sulit untuk keluar pada jam sekolah, mungkin takut para siswanya tidak kembali. Dari pengalaman melihat teman yang berbeda pandangan agama, sewaktu SMP teman saya yang perlu salat Jum’at di masjid luar sekolah harus menggunakan izin orang tua, sehingga membuat dia terkadang merasa tidak enak dengan teman-teman lain.

Ketertarikan saya terhadap SALAM terkubur pada saat itu karena keterbatasan akses untuk mencari tahu atau bahkan datang langsung untuk berkunjung. Namun, ketertarikan ini mulai kembali muncul pada saat awal masuk kuliah ketika membicarakan perihal fungsi dan peran pendidikan di dalam masyarakat sebagai fungsi social dan penunjang keteraturan sosial, reproduksi budaya, dan membangun nalar kritis. Dari pembelajaran tersebut, pendidikan nyatanya tidak hanya memiliki wajah baiknya yang dapat menjadi alat pembebasan, membangun kesadaran, dan mengembangkan potensi tetapi juga memiliki wajah buruknya  menjadi alat untuk menciptakan tenaga kerja terdidik dan mudah diatur sehingga mereka tidak lebih dari sebuah komoditas.

Dalam proses pembelajaran, misalnya SOKOLA RIMBA, peran dan hubungan pendidikan dengan masyarakat yakni sebagai alat untuk membebaskan dengan menyadarkan mereka dari penindasan dan perampasan hak oleh para kapitalis. Perkuliahan itu cukup membuka mata saya terhadap peran penting pendidikan yang dapat membangun kesadaran sehingga dapat mengeluarkan suatu kelompok dari penindasan.

Berawal dari situ lah kemudian saya kembali mencari tahu terkait Sanggar Anak Alam lebih dalam. Apakah sekolah ini seperti sekolah pada umumnya yang menjunjung kedisiplinan melalui kepatuhan atau kesadaran; menentukan kecerdasan dan keberhasilan siswa melalui standar nilai mata pelajaran yang diterapkan atau keberhasilan tidak di tentukan melalui nilai mata pelajaran tapi dari proses mengenali potensi yang dimilikinya; dan berorientasi pada hasil sehingga melahirkan kategori siswa-siswi terbaik dan terburuk atau berorientasi pada proses pembelajaran yang dilakukan.

Dari rasa penasaran tersebut, saya mencari cara untuk bisa memenuhinya sekaligus memikirkan alasan yang kuat untuk izin ke orang tua serta tidak mengganggu perkuliahan. Akhirnya saya menemukan cara yakni dengan menjadikan keresahan dan rasa penasaran sebagai latar belakang penelitian tugas akhir. Singkat cerita, saya diperkenankan untuk melakukan penelitian sekaligus ditawarkan menjadi fasilitator. Setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing, beliau mendukung keinginan saya untuk terjun langsung menjadi fasilitator.

Pada  pertemuan pertama bersama fasilitator baru, Mas Yudhis dan Pak Gemak menjelaskan pada kami tentang pembelajaran yang diterapkan di SALAM terkait tidak adanya guru dan tidak boleh mengajar. Selain itu, sering kali disebutkan bahwasanya tidak ada yang spesial dengan sekolah ini, sekolah ini adalah sekolah biasa saja. Selaras dengan Mas Yudhis dan Pak Gemak, Pak Toto juga menekankan hal yang sama pada refleksi di pekan kedua bahwa SALAM ini sekolah biasa saja. Namun, bagi saya SALAM merupakan sekolah yang spesial dan tidak biasa. Di mana dari penjelasan yang diberikan mulai dari proses pembelajaran yang diterapkan, tidak ada peraturan melainkan kesepakatan, tidak ada hirarki kekuasaan guru serta murid, dan tidak ada ketentuan menggunakan seragam. Semua itu menabrak banyak realitas sekolah dalam pikiran saya. Konstruksi tentang sekolah yang selama ini tertanam dalam benak dan menjadi bagian dari sistem tersebut membuat saya berpikir SALAM merupakan sekolah yang spesial dan tidak biasa.

Setelah membaca buku dan ikut beberapa diskusi bersama dengan Pak Toto, saya mulai paham apa yang dimaksud dengan “sekolah biasa saja” yang dibicarakan oleh Pak Toto, Mas Yudhis, dan Pak Gemak pada SALAM. Sekolah sudah seharusnya bertujuan untuk membangun nalar kritis bagi warga sekolah, berorientasi pada keunikan dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik, tidak berlomba untuk mengalahkan orang, serta tidak bertujuan untuk ‘mencetak’ peserta didik menjadi produk unggulan. Menurut beliau justru sekolah-sekolah yang ada di luar sana yang tidak biasa.

Jadi, ‘biasa’ menurut beliau adalah menitikberatkan pada nilai-nilai yang seharusnya ada di dalam penyelenggaraan sekolah, sehingga SALAM menjadi sekolah yang biasa karena memang seharusnya sekolah itu demikian dalam penyelenggaraannya. Disisi lain, saya dan mungkin kebanyakkan orang melihat SALAM sebagai sekolah yang spesial dan tidak biasa karena menitikberatkan pada kuantitas penyelenggaraan pendidikan yang ada dan konstruksi sosial tentang sekolah tersebut. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *