… wanderer, there is no road, the road is made by walking. By walking one makes the road, and upon glancing behind one sees the path that never will be trod again. … ~ Antonio Machado, Campos de Castilla
(Penggalan puisi yang menginisiasi judul We Make Road by Walking, sebuah kumpulan dialog antara edukator Brazil, Paolo Freire dengan edukator Myles Horton, aktivis The Civil Right Movements di Amerika)
***
Kamis, 26 Oktober beberapa hari yang lalu.
Adyatma berkesempatan lagi menyajikan salah satu proses belajarnya secara daring. Ya, bungsu saya belajar jarak jauh di kelas 4 Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta.
Lho, boleh ya daring di Salam Yogya? Pertanyaan itu kerap ditanyakan kepada saya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjawab.
Dydy-panggilan Adyatma telah mengikuti proses pendidikan di Salam sejak usia 3 tahun di kelas Kelompok Bermain sampai kelas 3 SD. Pengalaman memaknai peristiwa sebagai proses belajar itu, tanpa saya sadari ternyata mampu mendorong bocah usia 10 tahunan mulai menunjukkan hasil sebagai pembelajar mandiri.
Kegiatan Kamis kemarin adalah aktivitas mengolah resep cream soup ala KFC, versi Dydy. Sup krim berisi jagung, ayam, wortel dan parsley itu menjadi makanan favorit Dydy ketika makan di gerai hidangan fast food.
Tak usah cemas, Dydy tidak pergi makan ke sana setiap hari, tidak juga setiap minggu. Bisa saja hanya sebulan sekali atau dua kali. Menu sup ini dia sukai, kadang dia menginginkannya, sampai muncul air liur membayangkan makan cream soup itu. Hanya dia segera menyadari, kalau ingin makan berarti harus repot pergi ke gerainya.
Ke gerai makanan berarti juga harus diantar. Lokasi gerai bukan sejarak warung tetangga. Tak hanya dia perlu transportasi, dia juga perlu uang untuk membelinya. Lalu, biasanya membeli di gerai itu, tak cukup hanya makan cream soup saja. Hal itu berarti pengeluarannya akan menjadi banyak.
Proses pemikiran itu, mendorongnya berpikir lebih jauh bagaimana bila membuat sendiri? Mulailah dia mencari resep, dengan bantuan saya. Dengan mengetikkan kata-kata cream soup ala kfc, lalu muncullah berbagai video para food vlogger. Dari semua tayangan, ada satu video reels di instagram yang tampak mudah dan praktis pembuatannya. Kami berdua memperhatikan video itu beberapa kali.
Dydy mulai mencatat bahan yang diperlukan, lalu bersama saya mengecek dapur dan kulkas, apakah ada bahan yang sudah ada dan tak perlu dibeli. Yang belum ada, baru nanti harus berbelanja.
Lalu, dia mulai menulis apa saja bahan yang dibutuhkan, jumlahnya, dan alat-alat untuk menunjang prosesnya. Sebuah catatan kecil menjadi lanjutannya untuk bahan yang masih perlu dibeli.
Singkat cerita ketika sudah membeli dan nencatat harga-harga bahan, Dydy mulai uji coba resep. Percobaan pertama, jujur ada campur tangan ibunya. Terigu diganti maizena, susu cair full cream diganti susu bubuk standar. Hasilnya kekentalan berbeda dan tak se-creamy yang asli. Intinya tak berhasil.
Bungsu saya tak patah arang. Dia mau mencobanya lagi dan kali ini saya tak ikut campur. Susu dengan susu cair full cream, tepung menggunakan terigu. Langkah dan cara tetap sama. Berhasilkah? Ya, ternyata sangat mirip dengan cream soup yang dijual di gerai, dengan isian ayam dan sayur yang lebih berlimpah.
Dydy senang sekali karena berhasil. Semua proses ini saya sampaikan dalam bentuk tulisan dan foto ke mentornya di kelas 4 Mbak Jatu, sambil menitipkan pesan; bolehkah Dydy berbagi resep ini melalui zoom bareng dengan teman-teman?
Kamis kemarin adalah jawabannya. Teman-teman Dydy mau melakukan bersama di kelas, dengan ‘menonton’ Dydy melalui layar zoom. Terlepas dari teman-teman kelas 4 yang belajar berbagi bahan dan tugas untuk persiapannya, ternyata kemudian Dydy pun belajar hal baru juga dalam proses tersebut.
Dia menemukan, memasak sendiri dengan memasak bersama teman sekelas sungguh berbeda tantangannya. Sendiri, lebih tenang dan tidak ada rebut-rebutan. Bersama-sama perlu kebesaran hati dan kemauan untuk bekerja sama.
Suasana yang riuh di kelas, Dydy dengan bahan-bahan resep yang nyaris sudah siap olah, membuatnya mau tak mau menunggu, dan lama kelamaan mulai tak sabar. Dia lapar karena sudah jelang makan siang di rumah Denpasar yang punya perbedaan waktu 1 jam dengan Yogyakarta.
Dydy lalu off cam dan mute di zoom sementara temannya berkegiatan. Dia mengambil telur dan hendak membuat telur ceplok. Bungsu saya itu tidak kesal, malah beralih fokus mengatasi rasa laparnya
Saya terkejut juga dengan kondisi ini. Kok bisa? Menunggu, merasa lapar, lalu tidak marah, dan mencari jalan keluar dengan membuat makanan lain. Sebuah sikap baru Dydy yang menghangatkan hati. Sebagai Ibu saya paham, anak-anak yang lapar akan merasa gelisah yang berujung marah atau berulah. Tak sadar mata saya berkaca-kaca, menyaksikan betapa Dydy menyikapi peristiwa dengan lebih dewasa.
Bukankah dewasa, ketika situasi tak bisa kita ubah, tak harus juga kita emosi, melainkan mencari jalan dan kesibukan lain untuk tetap happy?
Singkat cerita, bertepatan Dydy selesai menyantap telur ceploknya, teman-teman sudah selesai persiapan. Saatnya menyaksikan Dydy memasak cream soup. Begitu selesai live streaming melakui zoom itu, dia berpamitan dengan teman-teman, lalu segera menyantapnya.
Karena tak melihat lagi proses memasak teman-teman, saya menunggu komentar di grup WhatsApp orang tua yang ikut mendampingi. Ternyata semua anak menyukai cream soup, malah ada yang mau mencoba buat di rumah atau minta dimasakkan ibunya. Mendengar kegembiraan itu, Dydy ikut merasa senang karena resep masakan yang diajarkan berhasil dan disukai semua teman.
Selesai proses itu, saya malah hendak menyelidiki alasan dia menggoreng telur ceplok saat menunggu. Jujur ini pertama kali dia menyatakan ingin membuatnya sendiri. Jawabannya ternyata cukup mengejutkan. “Aku ingin mencoba bagaimana mengolah raw food (telur) sampai bisa dimakan.” Padahal saya mengira dia membuat hanya karena lapar semata
Dari beberapa peristiwa itu, saya mencoba meresapi. Berarti konsep merespons peristiwa serta proses daur belajar telah tertanam dalam diri bungsu saya dengan cukup baik.
Ketika saya mencemaskan, apakah dengan proses jarak jauh ini dia tetap ‘belajar’ dan mengaplikasikan konsep-konsep yang diusung Salam Yogya; tanpa saya minta Dydy menunjukkannya.
Bagaimana konsep We Make Road by Walking (Freire dan Horton) telah mengejawantah, untuk tidak hanya di posisi ingin tahu yang pasti dimiliki setiap anak, tetapi lalu diproses, dicari apa yang perlu disiapkan, dan tentu saja dilakukan.
Mengamati proses yang dialami Dydy dalam beberapa bulan belakangan, membuat saya menyetujui hal ini. Konsep We Make Road by Walking-lah yang paling sesuai dalam pembelajaran mandiri (jarak jauh) yang kini dilakukan Dydy. Di mana saya sebagai fasilitator di rumah perlu bersedia memikirkan desain lingkungan belajar yang menumbuhkan rasa ingin tahu dan memungkinkannya untuk membuat jalannya sendiri (berinisiatif), melaluinya daripada mengikuti yang telah ditetapkan oleh niat saya. (dalam hal ini termasuk keinginan atau ekspektasi orang tua, bercampur dengan kurikulum dan segala aspeknya).
Mudah? Jujur saya bilang tidak. Sulit? Mungkin jawabannya menjadi sedikit repot dibanding menyerahkan ke pihak sekolah saja. Saya bersama Dydy perlu bergiat mengeksplor sumber-sumber belajar sesuai dengan minat dan talentanya.
Mudah-mudahan kami terus bersemangat dan senantiasa dimampukan.
Ortu SALAM
Leave a Reply