Selamat ulang tahun sanggar anak alam. kamu patut berbahagia, Kado terindah di usiamu yang ke 21 adalah kamu berhasil melahirkan para generasi riset yang mengunakan metode riset sederhana . Sistem riset mandiri dalam metode belajar yang ada di SALAM sangat berbeda dengan riset ilmiah kaum akademisi yang di buat sedemikian rumit dengan bahasa yang bengitu rumit agar di anggap sebagai jurnal riset yang berkelas dari kaum akademisi.
SALAM melakukan riset dengan sangat sederhana, mengacu dari hal sederhana yang diminati anak kemudian berproses menjadi sebuah penelitian , lalu di tulis dalam sebuah jurnal dengan bahasa yang sangat mudah di pahami. Saya sangat takjub melihat persentasi riset anak-anak di SALAM. Riset sederhana tapi bisa di pergunakan untu anak itu sendiri bahkan untuk masyarakat sekitar, karena mudah di pahami oleh masyarakat secara umum . Ada beberapa anak yang melakukan riset makanan , ada yang membuat mainan, ada yang menulis buku, dan masih banyak judul riset lainnya yang di kembangkan anak-anak SALAM.
Anakku kini kelas empat SD, ide risetnya berasal dari rasa penasarannya tentang sebuah nama jalan yang hampir tiap hari dilaluinya ketika berangkat ke SALAM, nama jalan itu jalan Bugisan, rasa penasarannya muncul karena nama jalan itu mirip dengan nama suku saya yaitu Bugis. Akhirnya dia memutuskan untuk membuat riset yang berhubungan dengan nama jalan tersebut. “ bu ko namanya jalan bugisan ya? sama dengan suku ibu, wah jangan-jangan orang yang tinggal disitu orang bugis juga , aku riset ini saja sebagai ganti risetku yang gagal, lah ibu saja gak tau apalagi teman-temanku .
Ide riset yang muncul tiba-tiba semakin membuat saya sebagai orang tua meyakini bahwa anak adalah pribadi yang memiliki hasrat belajar yang kuat dan rasa penasaran yang tinggi terhadap suatu objek, hal alami ini tidak perlu di buat-buat dengan metode yang rumit seperti yang biasa di lakukan di sekolah-sekolah elit. Di SALAM anak-anak terbiasa mengekspresikan berbagai ide yang ada dalam dirinya, karena metode belajar di SALAM didampingi fasilotator yang tidak menggurui, sehingga anak terbiasa menggunakan akal budinya menemukan ide belajar yang iya minati dan yang ingin tau secara alamiah lahir dari pemikirannya, bukan dari stimulus bahan ajar guru.
Karena terbiasa belajar dengan ide mandiri dia mencari tau sendiri tentang risetnya melaui nara sumber, internet dan buku-buku yang kami sediakan. Dari situ dia menemukan bahwa risetnya ini termasuk dalam katagori antropologi, karena menyangkut budaya. namun bisa juga tergolong dalam ilmu sejarah, tapi dia lebih tertarik mengkaji dari sisi Antropologinya.
“duh bu kok kayanya orang pintar itu ribet ya harus pake istilah-istilah yang susah untuk menyatakan sesuatu, kaya misalnya sosialisme, sosiologi, antropologi tinggal bilang aja budaya atau masyarakat ko susah amat si pake istila-istilah begitu?”.
Saya selaku orang tua sekaligus fasilitator dalam mendampingi risetnya mencoba memebrikan pemahaman. Bahwa ilmu pengetahuan di kalangan akademisi memang rumit dengan berbagai istilah. Dan saya menyarankan agar dia mengabaikan istila-istilah ilmiah yang rumit itu, cukup pahami saja bahwa Antropologi ilmu yang mempelajari budaya manusia. Ditulis sesederhana yang mudah di pahami orang banyak. Bukan yang mudah di pahami orang pintar saja.
“waduh kalau bisa di buat bahasa yang ringan kenapa harus di buat susah, hemmm orang dewasa ribet juga ya , mungkin biyar di bilang pintar kali ya , kaya teman ibu tadi aduh dia ngomongnya gak jelas mau cerita suku bugis aja ko bahasanya di tambahin gi,mi, katanya bahasa yunani, aissssss ribet baget si, ikut-ikut orang yunani. ( percakapn mengomentari narasumber yang memberikan penjelasangan dengan bahasa ilmia)”.
Dari proses riset anak saya ini saya belajar banyak hal, bahwa betapa selama ini kita terjebak dengan sistem pendidikan yang fokus pada hasil yang terlihat bagus secara akademisi, tapi mengabaikan kebermanfaatannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Banyak sekali para ilmuan atau dosen menggunakan bahasa menulis riset dengan bahasa yang berat kurang familiar di masyarakat, sehingga risetnya tidak bisa di akses masyarakat banyak karena tidak bisa di pahami.
Banyak peneliti sekarang lebih senang dilihat pintar dengan gaya penulisan yang ribet, daripada memberikan pemahaman ilmu pengetahuan ke masyarakat. Jumlah produksi riset di Indonesia sangat tinggi, namun tidak di fokuskan tahap kebermanfaatannya terhadap masyarakat. Inilah salah satu bentuk kegagalan riset dari para akademisi di negri ini. Jurnal ilmiah hanya berfokus pada alat ukur kecerdasan penulisnya dan para akdemisi saja. Mengabaikan manfaatnya untuk masyarakat.
Sekali lagi panjang umur SALAM teruslah bertumbuh melahirkan generasi riset yang fokus pada kebutuhan masyarakan dan lingkungan sekitar.
Orang Tua Siswa SALAM
Leave a Reply