“Kak, banyak banget slime nya? Itu buat kamu semua?”
“Ini nyoba aja sih, ternyata berhasil semua.”
“Trus masa iya mau kamu mainkan semua?”
“Ya enggak sih. Pengen tak jual.”
Hampir tujuh bulan – sejak diberlakukan pembatasan fisik bulan Maret lalu – anakku Febe dan anak-anak lain di Indonesia harus menjalani proses “belajar di rumah”. Ia sempat mengalami kebosanan. Namun makin hari secara alami dan organik dia berhasil menemukan sendiri aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Ada-ada saja kegiatannya dari sepedaan, mencoba resep-resep masakan, mendaur ulang baju, belajar make up, membuat asesoris, mendesain gambar, dan yang terbaru kini : membuat slime untuk dijual.
Sejak slime menjamur di “dunia permainan” anak-anak, Febe sudah menunjukkan ketertarikan pada mainan ini. Tidak sampai puas bermain, ia ternyata juga tertarik mencari tahu bagaimana cara membuatnya. Bertanya pada teman, menonton tutorial di kanal YouTube, dan mencoba beberapa kali hingga menemukan resep andalan dilakukannya dengan keinginan sendiri.
Setelah puas dengan keberhasilannya menemukan formula yang tepat dan menikmati asyiknya bermain slime buatan sendiri, muncullah ide menawarkan slime ke teman-temannya.
“Mi, slime buatanku ini enaknya dijual harga berapa ya?” tanyanya padaku setelah ia mengutarakan idenya untuk menjual slime.
“Ya Mami juga nggak tahu, Kak. Dulu kamu pernah belajar menentukan harga jual waktu riset coklat kan?” aku menanggapi pertanyaannya.
Tak lama dia sudah sibuk memegang pensil dan kertas untuk mencorat-coret. Dia menghitung semua bahan yang dibeli untuk kebutuhan slime-nya. Ketemulah harga yang ditawarkan, dihitung dari jumlah belanja ditambah sedikit ongkos lelah membuatnya.
Kemudian ia mengambil HP. Memotret slime buatannya dan menawarkan via WhatsApp Story dan Instagram. Tak berapa lama tanpa kami sangka ada beberapa temannya memesan, bahkan teman dari luar Jogja.
Setelah merekap semua pesanan mulailah dia menuai kesibukan. Dimulai dari mondar-mandir naik sepeda ke warung tetangga membeli bahan, berkutat dengan membuat slime pesanan, hingga nanya ini itu dan cari kemasan yang bisa dipakai untuk dikirim. Kemasan kertas dipilih untuk menjaga bumi mengurangi plastik.
Sembari mengemas, Febe punya ide untuk memberi nama logo/brand bagi produknya. Tanpa banyak bicara ia ke meja komputer, membuka laptop bapaknya, lalu bertanya bagaimana cara buat logo. Ditemani bapaknya mulailah ia berkutat serius dengan Corel Draw. Setelah beberapa kali mencoba-coba desain, voilaaaaaa, jadilah logo yang ia desain sendiri! (Padahal aku aja enggak bisa). Keesokan harinya dia meminta bapaknya untuk menemani mencetak logo.
Setelah slime pesanan dan kemasan siap, dia mulai mendekatiku,
“Mi gimana sih cara menuliskan alamat biar kiriman ini tu nyampe?”
“Wah, pintu masuk belajar hal baru lagi nih”, batinku.
Aku dan Febe mendiskusikan tentang cara penulisan alamat yang lengkap seperti nama pemesan, nama jalan, nomer rumah, kota, propinsi, dan kode Pos. Ia mempraktikkannya pada kiriman teman-temannya.
Saat pesanan sudah siap dikirim, ia naik sepeda ke Kantor Pos dekat rumah. Oya, sejak masa pandemi ia tetap kuperbolehkan keluar rumah dengan protokol kesehatan yang tepat. Kebiasaan memakai masker, membawa hand sanitizer untuk menbersihkan tangan, dan berusaha menjaga jarak aman perlahan-lahan mulai tumbuh – dilakukan tanpa perlu diingatkan.
Menurut ceritanya, ia bertanya-tanya ke mbak petugas bagaimana cara mengirim paket. Katanya ada beberapa pilihan pengiriman, yang cepat dan yang biasa. Setelah memilih cara pengiriman, ia menyerahkan uang pembayaran sesuai dengan biaya pengiriman.
Setibanya di rumah ia tunjukkan slip bukti pengiriman, memotretnya, dan mengirimkan fotonya ke teman yang memesan. Tidak lupa dia menyertakan nomer rekening bapaknya untuk pembayaran.
“Duh, capek mondar mandir belanja sama kantor pos”, katanya suatu kali.
Meskipun begitu, kulihat dia sangat menikmati semua kesibukannya. Tiga hari kemudian, teman pemesan mengabarkan bahwa barang pesanan sudah tiba dan sangat senang dan puas dengan slime buatan Febe. Bahkan bikin ketagihan mau pesan lagi. Febe tampak senang, ia membaca pesan dari teman-temannya dengan senyum mengembang.
Perjalanan belajarnya ini mengingatkanku pada sesuatu, “Sesungguhnya tidak ada anak yang malas belajar. Yang terjadi biasanya adalah kita orang dewasa yang tidak membolehkan mereka belajar”. Ya, apa jadinya kalau aku tidak membolehkan dia “belajar bersama slime-nya”? Dia (dan tentu saja aku sebagai orangtua) mungkin akan kehilangan banyak pengalaman berharga. Ah, terimakasih ya, Nak. Belajarmu biasa saja, tapi kita bersama-sama belajar banyak hal!
Fasilitator sekaligus Orangtua SALAM
Leave a Reply