“Definisi belajar itu apa sih,” tanya Gareng kepada Petruk pada suatu siang yang terik namun diselimuti angin yang sedikit sepoi-sepoi.
“Masa gitu aja kamu nanya ke aku to Reng. Belajar itu ya mendengarkan pelajaran dari guru. Biasanya guru menyarankan untuk membaca buku pelajaran. Makanya kadang guru ngasih tugas ke muridnya untuk merangkum biar anak didiknya mau belajar,” jelas Petruk dengan nada deklamasi.
“Ngrangkum opo,” tanya Gareng lagi.
“Yo ngrangkum apa yang kamu baca. Karena otomatis kalau merangkum sekalian membaca. Gitu loh Reng,” Petruk kembali menjelaskan.
“Ahh dangkal sekali definisi belajarmu ya Truk,” tiba-tiba Bagong menimpali obrolan.
“Kok bisa-bisanya kamu ngomong gitu Gong. Belajar itu dimana-mana ya membaca buku,” sanggah Petruk dengan nada yang sedikit dongkol.
“Kalau menurutmu Gong, belajar itu apa,” tanya Gareng dengan nada makin penasaran.
“Belajar itu artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Nah, membaca itu hanya salah satu caranya saja. Saiki pertanyaannya, membaca itu apa hanya sekadar moco buku pelajaran?,” ujar Bagong.
Mungkin tak hanya Petruk yang merasa jika sudah membaca buku pelajaran, maka sudah sah disebut belajar. Apalagi bagi generasi macam saya, yang lahir di era 1980an. Generasi yang jika ditanya cita-citanya apa akan menjawab dokter dengan senyum bangga. Generasi yang didoktrin orang pintar itu ya yang baca buku. Generasi yang didoktrin siswa dengan nilai bagus saja yang akan meraih sukses dan pekerjaan mapan.
Jika menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi membaca tidak hanya melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Membaca juga memiliki makna memperhitungkan, meramalkan, dan memahami.
Membaca tidak hanya melihat dan memahami isi buku. Membaca dalam arti yang lebih luas adalah melihat dan memahami isi dunia. Ya lingkungan, sosial masyarakatnya, dan segala-galanya yang tampak dan bisa dirasa oleh panca indra.
Lalu apakah salah jika belajar hanya dari membaca buku pelajaran? Apakah salah jika hanya mendengarkan pelajaran dari guru? Tentu saja tidak, hanya eman-eman saja. Karena di luar sana masih ada banyak hal yang patut dieksplorasi.
“Anak cewek kok sukanya ngegames. Mbok belajar sana.”
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga. Hingga terkadang saat main games, mulai dari zamannya Nitendo, Sega, Play Station, PC sampai sekarang games di handphone, saya merasa bersalah. Karena main games hanya sebuah kesenangan semata. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, saya bisa mengerti kosa kata Bahasa Inggris dari gulity pleasure ini, ngegames.
Maka ketika anak saya atau keponakan saya keranjingan games saya tidak khawatir. Karena mereka juga bisa mendapatkan “ilmu” sendiri. Tugas saya, kita, para orang tua adalah mendampingi anak-anak untuk mempelajari segala hal sesuai keinginan dan minatnya. Dan tentu saja memberi batasan kepada mereka, karena segala hal yang berlebihan tidak baik, bahkan membaca sekalipun.
Memberikan pendampingan sesuai minat anak ini pula yang diterapkan di Sanggar Anak Alam, tempat di mana anak saya belajar. Ya belajar, bukan sekadar bersekolah. Di sana, anak-anak dibebaskan memilih untuk mempelajari bahkan menemukan sesuatu lewat riset pribadi yang dilakukan. Sebab dengan menemukan sendiri, mereka akan menguasainya. Karena belajar tidak (hanya) membaca.
ORTU SALAM, Jurnalis
Leave a Reply