Sejak menjadi orangtua, saya kerap mengamati bagaimana seseorang bercerita tentang anak-anaknya. Dari sekian banyak pembicaraan, ada sebuah benang merah: bahwa dalam perkara ‘mengasuh’ anak, semua orang merasa benar. Mengasuh dalam hal ini meliputi: mendidik, melatih, mengajarkan nilai-nilai, mendisiplinkan, membimbing, mencukupi nutrisi, menjaga kesehatan raga dan sekian hal lainnya. Orang masa kini lebih suka menyebut: parenting. Jika bicara politik, seseorang bisa merasa 99% benar, maka untuk urusan parenting kadarnya mencapai 100%. Meski tak menyangkal, saya sendiripun kerap terjebak dalam prosentase yang sama.
Entah itu ‘akibat’ atau ‘sebab’ dari munculnya beragam komunitas dan grup parenting, baik di media sosial maupun yang berlanjut ke pertemuan darat dengan beragam nama. Saya sendiri bukan penggemar grup parenting, karena jika semua saya ikuti, saya bisa berada dalam 729 grup saat anak saya genap berusia 18 tahun. Namun menyimak informasi yang beredar ringan lewat sharing info di timeline sosmed selalu menjadi renungan gaduh dalam benak saya tentang: Bagaimana menjadi orangtua yang baik?
Beberapa orangtua berpendapat bahwa parenting yang baik adalah dengan menerapkan disiplin tinggi dan pembekalan beragam skill yang mumpuni. Orangtua bergenre ini akan membanjiri sekolah-sekolah terbaik yang ada di kota. Mulai dari sekolah dwi bahasa (bahkan tri bahasa) hingga sekolah dengan beragam ekstrakulikuler panen raya. Berapapun ‘tarif’ yang dipatok tidak jadi kendala. Yang penting anak-anak ‘tercetak’ dengan displin tinggi dan tumbuh dengan beragam skill. Mulai dari renang hingga bermain piano, skateboard hingga bahasa asing.
Dengar, saya tidak sedang mencibir.
Saya akui, saya sendiri adalah produk sekolah dengan tingkat kedisiplinan tinggi. Dari bangku TK hingga SMA. Bahkan perut saya masih mules jika memori tentang masa taman kanak-kanak muncul. Saya juga tidak memungkiri bahwa pola kedisiplinan yang saya enyam di bangku sekolah banyak mempengaruhi cara saya bekerja. Namun lucunya tidak banyak ilmu yang saya ingat dengan baik kecuali beberapa hal yang terdengar lucu seperti kjokkenmoddinger atau hermaprodite. Mungkin seharusnya saya masuk Hogwarts.
Namun di rumah saya mendapat pola asuh yang jauh dari horor kedisiplinan. Sebagai contoh, saat kami (saya dan beberapa teman) kedapatan membolos oleh Kepala Sekolah sewaktu SMA. Hukumannya: surat pernyataan maaf dengan tanda tangan orangtua. Semua kawan mendadak dramatis, panik bagaimana cara menyampaikan hal ini pada orangtua masing-masing. Banyak kawan menuai ‘hukuman tambahan’ di rumah. Sementara bapak saya justru tergelak ketika saya mengaku bolos. Komentarnya singkat “Kok bisa ketahuan sih?” Ia bahkan meluangkan waktu untuk membuat editorial surat. “Udah, Bapak aja yang bikin. Jangan sampai terdengar bersalah.” Lelucon macam apa itu?
Gaya bapak saya yang selengekan dalam mengasuh saya itulah yang membuat saya memutuskan bahwa pola parenting yang akan saya anut adalah pola parenting yang ‘memerdekakan’. Meskipun pada prakteknya hampir selalu terkesan ‘membebaskan’ dan hanya sejarak beberapa milimeter dengan ‘membiarkan’. Maka disini saya perlu merujuk Freire untuk mendefinisikan ‘merdeka’, dan membuat pagar bahwa kemerdekaan yang dimaksud adalah: tidak ada yang menindas dan tidak ada yang tertindas.
Saya tidak sedang mendengungkan Freire sebagai gaya parenting. Hanya mencuplik kacamata Freire tentang kemerdekaan. Bahwa dalam mengasuh anak pun ternyata kita –orang-dewasa-yang-merasa-tahu-apa-yang-terbaik-untuk-anaknya- tanpa disadari sangat bisa berperan menjadi ‘penindas’ bagi anak-anak kita.
Tentu melihat potensi anak sendiri tampaknya tak begitu sulit. Terutama jika kacamata kita adalah DNA. Dengan menyadari bahwa setengah DNA anak adalah berasal dari diri kita, maka kemungkinan besar minatnya tak jauh-jauh dari salah satu orangtuanya. Saya pun kerap mengintip coretan anak saya, dan berharap kelak ia mampu menggambar lebih baik dari saya. Namun kacamata DNA ini seringkali terkaburkan dengan kacamata lain, yaitu obsesi. Orangtua sangat mungkin terjebak dengan menganggap obsesi anak dan obsesinya sendiri takjauh beda. Tentu hal ini akan menjerumuskan pada pola didik ‘obsesi terpendam’, dimana orangtua menuntut anaknya menjadi sesuatu yang ‘tak sampai’ ia capai dahulu.
Baru ketika anak enggan sekolah, ketika risetnya mogok di jalan, dan ketika anak memunculkan gejala ketertindasan lain ke permukaan, orangtua resah. Merasa telah melakukan segala hal dan tidak tahu apalagi yang harus dilakukan. Padahal sang anak hanya sedang mengirim sinyal kuat yang bunyinya: Pak, Buk, aku tertindas!
Maka disinilah titik renungnya: bahwa memerdekakan anak itu sulit luar biasa. Antara ‘sayang’ atau ‘tidakpercaya’ menjadi beda tipis. Keputusan mengirim anak mengikuti les piano, misalnya, bisa saja bentuk rasa sayang kita. Namun bisa jadi itu bentuk rasa tidak percaya bahwa anak bisa belajar sendiri hal-hal yang ia sukai. Untuk itu alangkah baiknya jika orangtua selalu ingat “bahwa anak adalah mahaguru bagi dirinya, dan sumber ilmu bagi teman-temannya” ungkapan yang dulu sering dilontarkan almarhum Romo YB. Mangun Widjaya, dan hakekatnya kita tidak pernah benar-benar memerdekakan seekor burung jika ekornya masih kita genggam.
Mari kembali belajar memerdekakan dengan benar.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply