Akhir-akhir ini anak saya yang masih duduk di tikar playgroup (karena di kelasnya tak ada bangku) mulai gemar membaca. Lebih tepatnya gemar berlagak membaca. Seperti saat membaca tulisan di sebidang tripleks yang digantung di warung soto depan sekolah, misalnya. Dengan mantap dia berujar “Ma, itu aku tahu bacanya apa!” Dengan mata berbinar dia melanjutkan “Itu bacanya ‘tutup’. Iya kan, Ma?”
Sontak kagetlah saya. Sejauh ingatan, saya belum pernah mengajar membaca. Apalagi memperkenalkan alphabet ‘t’, ‘u’ dan’p’ serta cara merangkainya. Kok tiba-tiba bisa membaca ‘tutup’?
“Iya, benar. Kok tahu?” tanya saya. “Iyalah. Kan warungnya tutup. Jadi itu pasti tulisannya ‘tutup” jawabnya santai.
Perbincangan tentang lambang huruf dan angka mulai menjadi topik antara saya dan anak baru-baru ini. Umumnya topik itu mencuat spontan. Saat anak minta diketikkan ‘boboiboy’ di tombol search youtube, misalnya. Agar tidak selalu minta tolong, dia berinisiatif untuk mengingat huruf ‘B’ sebagai huruf pertama untuk diketik di kolom pencari. Saat mesin pencari memunculkan pilihan-pilihan pencarian yang berjejer vertikal dengan awalan ‘b’, dia dengan mudah memilih ‘boboiboy’ yang selalu muncul di urutan teratas.
Meski belum berniat mengajarkan baca-tulis-hitung, tapi saya kerap berpikir pula. Bagaimana mengajar membaca yang efektif dan kontekstual? Tentu saja saya bisa mudah menggunakan teknik ‘ba-bi-bu-be-bo’ hingga ‘ini-ibu-budi’ seperti yang umum digunakan. Toh saya adalah produk kelas menulis dan membaca tekstual macam itu. Namun akan lebih mengena jika anak belajar dari peristiwa.
Tentu saya berharap akan banyak ‘peristiwa’ yang membawa perbincangan kami ke arah ‘kelas membaca kontekstual’ seperti peristiwa ‘warung tutup’ tadi. Anak melihat warung soto langganannya tutup dan menyalakan logika berpikirnya sedemikian rupa hingga tercetus pembacaan spontan yang cukup memorable. Saya pun dengan mudah mengaitkan peristiwa itu dengan bentuk-bentuk huruf, cara membaca dan seterusnya.
Tetapi ada 26 huruf dalam alphabet. Itupun harus dipilah mana yang vokal mana yang konsonan. Belum lagi menjelaskan beda keduanya. Bahwa konsonan jika dibunyikan maka aliran udara akan terhambat pada tempat-tempat artikulasi, sementara vokal tidak. Apa pula itu konsonan rangkap. Bagaimana menjelaskan hal-hal rumit itu dalam logika berpikir anak lima tahun tanpa menghilangkan konteks?
Lagi-lagi, bisa saja kita kembali pada teknik ‘ba-bi-bu-be-bo’ dan seterusnya. Lebih mudah, praktis, dan pada umumnya digunakan manusia lain. Belajar membaca pun jadi persoalan sepele dan mudah. Tetapi apakah metode itu memberi makna pada pelajaran membaca itu sendiri?
HANACARAKA
Tiba-tiba saya teringat aksara Jawa. Dalam aksara Jawa, semua bunyi sudah ‘berkonsonan dan bervokal’ secara bersamaan dalam satu lambang. Ia memiliki 20 aksara yang jika dibandingkan dengan konsonan dalam alphabet maka ‘f’, ‘q’, ‘v’ dan ‘z’ tidak berwujud. Tentu saja, karena bahasa Jawa tidak membutuhkan keempat konsonan itu. Kecuali jika Petruk ingin jadi ‘Fetruk’.
Namun tidak begitu dengan konsonan ganda. Kebutuhan akan bunyi ‘nya’, ‘nga’ dan ‘tha’ teraksara dengan satu lambang (‘Tha’ dalam bahasa Jawa memiliki entitasnya sendiri dan tidak terasimilasi dengan ‘ta’. Secara artikulasi pun berbeda). Sementara bunyi vokal dalam aksara Jawa berupa penambahan tanda baca. Bunyi vokal ‘è’ dan ‘é’ pun memiliki tanda baca yang berbeda.
Meski aksara Jawa pada akhirnya telah menjadi artefak, namun saya membayangkan belajar membaca dalam aksara ini tentu lebih menyenangkan. Bukan karena yang telah menjadi artefak itu kemudian menjadi antik nan eksotik. Tapi lebih karena sudut pandang artikulasi serta kedekatannya dengan konteks. Dalam aksara Jawa, keduapuluh aksara itu disusun dalam rima dan sajak yang penuh makna. Sajak ini berkaitan erat dengan kisah Aji Saka, legenda yang konon dikisahkan sebagai pembawa peradaban di pulau Jawa. Demikian kurang lebih bunyi dan maknanya:
Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka)
Sajak yang cukup singkat. Namun dalam singkatnya sajak ini ada makna tersirat tentang perselisihan dan malapetaka yang menjadi sebuah pesan kuat. Dalam satu tarikan nafas, seorang anak akan belajar membaca keduapuluh aksara secara tersurat sekaligus tersirat. Menghafal bukan lagi perkara sulit ketika di dalamnya mengandung keindahan. Luar biasa kan? Tentu saja. Sayang, sudah jadi artefak.
Seperti halnya pendiri bangsa ini yang kemrungsung membentuk Republik sembari melupakan sejarah bahwa Nusantara adalah sejatinya berdiri di atas puluhan kerajaan- kerajaan kecil, bangsa kita pun kemrungsung mengimpor alphabet yang miskin makna tersirat. Entah berapa aksara asli Nusantara yang kini berhasil masuk museum.
Tentu saja kebijakan pemerintah untuk nguri-uri kebudayaan lewat kelas muatan lokal patut diapresiasi. Namun apa pula gunanya pandai menulis aksara Nusantara jika toh tidak digunakan untuk apapun selain menerjemahkan serat-serat yang sudah masuk museum? Itu pun belum tentu juga kita baca walau sudah diterjemahkan dengan begitu sempurna. Karena kepandaian kita membaca makna tersirat mengalami abrasi hebat bersamaan dengan tumbuhnya kelihaian mengetik di papan ‘QWERTY’.
Mungkinkah carut marut negeri ini terjadi karena perkara sepele macam ‘belajar membaca’? Untuk perkara ini saya akan bergabung dalam generasi E yang akan dengan mudah menjawab semua pertanyaan dengan ‘Entah’ dan ‘Embuh’.
Belajar Membaca Lagi
Di kesempatan lain, lagak membaca kembali terjadi pada anak saya. Saat itu ia melihat sebuah mobil pick up yang berhenti di salah satu sudut perempatan. Di bak terbuka mobil itu tertata rapi beragam buah yang dijual. Sementara di moncong mobil tertempel selembar terpal putih seukuran sekitar 1x1m2 dengan tulisan besar.
“Ma, aku tahu itu bacanya apa!” ujar anak saya girang. “ Itu bacanya ‘jual buah’. Benar kan, Ma?” Seketika senyum saya terkulum saat saya membaca tulisan di spanduk itu. “ Bukan je, nak. Itu bacanya ‘jasa angkut’” Anak saya protes “ Lho, mobilnya kan dipakai jualan buah. Kok tulisannya ‘Jasa Angkut’?”
Begitulah nak. Kadangkala dalam hidup banyak hal tersirat yang tak tersurat.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply