“Kenapa aku nggak mau rindu sama teman-teman di SALAM? Karena rindu itu berat, nanti aku nggak kuat!” Sebuah pernyataan bungsu saya di usia sembilan, cukup membuat saya terdiam. Walau dia tahu dan paham tentang belajarnya yang kini jarak jauh, rasa kangen berkegiatan bersama teman-teman di kelas 3 Sanggar Anak Alam Yogyakarta tak bisa dipungkiri akan dan selalu ada. Apalagi usianya itu sedang dalam tahap asik bersosialisasi.
Sebulan pertama kepindahan keluarga kami di Bali, saya malah berjibaku melawan virus yang ternyata saat itu kurvanya sedang tinggi di Denpasar. Asumsi nakes yang melakukan PCR adalah, peningkatan terjadi sejak berdatangannya staf pendukung acara G20 dari berbagai negara ke Bali.
Baru menyesuaikan diri lagi di kampung halaman, sedang membongkar barang-barang yang dibawa pindah, serta harus mengurung diri, mengingat minum obat dan banyak beristirahat, sesungguhnya membuat saya stress. Apalagi perasaan tak berdaya untuk memfasilitasi si bungsu untuk tetap konsisten belajar. Alhasil saya jadi agak emosional mendampinginya, meski kemudian menyadari marah-marah seperti itu tiada gunanya juga.
Akhirnya baru tersadar, saya yang lebih baper-bawa perasaan-melakukan proses long distance learning daripada Adyatma, ketika teman-temannya bisa belajar memaknai peristiwa secara langsung. Lah, padahal ini keputusan sadar yang keluarga kami ambil sendiri. Bukan disuruh atau dititahkan orang lain. Namun, perasaan seperti itu tetap ada juga. Perlu kebesaran hati kami melihat dokumentasi kegiatan temannya, ini dan itu. Sambil mengingatkan terus kepada diri sendiri, daripada cemburu lebih baik melakukan sesuatu.
Mulailah kami mengadopsi hewan peliharaan sebagai bentuk latihan tanggung jawabnya, lalu bersama-sama memilih mencari bahan pelajaran yang bisa diakses secara daring untuk proses pengingat kemampuan kognitifnya. Termasuk mencari tempat untuk berlatih renang atau olahraga apapun yang sampai saat ini belum disepakati karena tetiba cuaca menjadi tidak bersahabat.
Ketika berdiskusi dengan fasilitator yang telah mengampu Adyatma sejak kelas satu yaitu Bu Wiwin, hal yang segera disarankan adalah melibatkannya dalam pekerjaan sehari-hari. Saya pun mencoba mengajaknya belajar memasak nasi dengan penanak nasi elektrik mulai dari proses mencuci beras, menampung air cuciannya untuk tanaman bunga, sampai meletakkan di penanak, lalu menyalakan tombol memasak hingga nasinya tanak. Saya berusaha seminimal mungkin memberi bantuan, hanya mendampinginya dari jarak dekat.
Selanjutnya adalah mengepel lantai dengan bantuan alat pel yang sangat dia sukai. Karena proses memerasnya seperti menginjak tuas pemompa, jadi seperti bermain saja. Setiap lima hari sekali Adyatma akan membantu saya mengepel. Aktivitas lain memasang sprei tempat tidurnya sendiri, anak sembilan tahunan ini tidak menolak. Walau tengah-tengah sedang menonton hal yang disukainya, dia mau berhenti sejenak untuk melakukan aktivitas ini.
Kegiatan sehari-hari ini sebenarnya telah menjadi bahan obrolan kami juga. Saya menuturkan anak seusia dia, seharusnya sudah mampu melakukan hal-hal yang disebutkan dalam tabel tersebut, bila tak mau dianggap balita atau anak kecil lagi. Rupanya dia tertantang.
Saya berusaha memahami, ada kerinduan dalam dirinya untuk beraktivitas di luar rumah. Mengajaknya berjalan di sekitar pemukiman mencari buah dan beli makanan untuk sore hari, juga memberinya pengalaman baru. Saya menunjukkan ada pohon dengan buah yang bila dimakan tikus akan mati keracunan, menunjukkan dan mengajari arti pepatah dalam Bahasa Bali untuk menjaga kebersihan lingkungan, yang diukir di pojok jalan.
Lalu, bagaimana bersikap tidak mencurigakan anjing penjaga bila melintasi warung dan toko yang dijaga mereka. Termasuk bagaimana proses berbelanja buah-buahan dengan cermat. Tentu saja, ada bonus untuk mentraktirnya karena jarak kami berjalan kaki cukup jauh.
Seharusnya saya segera menyadari, demikianlah juga proses belajar di Salam dalam belajar dan memaknai peristiwa.
Sebelum anjing adopsinya dibawa pulang, kami pun pergi ke klinik sekaligus tempat penampungan di daerah yang cukup jauh dari rumah. Di sana saya melihat Adyatma begitu gembira. Setiap staf klinik menyebut nama anjing tertentu, dia hendak melihatnya, mencoba mengajaknya berjalan atau sekadar bermain.
Beberapa anjing dan kucing yang menjadi pilihan merupakan proses belajar sendiri bagi Adyatma dalam hal hewan peliharaan apa yang mampu diajaknya bermain dan bisa dijadikan peliharaan yang cocok. Prosesnya cukup lama, termasuk membahas karakter anjing atau kucing yang lebih mudah dijadikan hewan peliharaan. Akhirnya terpilihlah salah satu anjing yang akhirnya diadopsi, dan kini menjadi teman bermain dan kejar-kejaran setiap sore menjelang waktu mandi.
Beberapa kali juga dia juga diajak ayahnya ke vihara. Berkenalan dengan orang baru dan menemui aneka peristiwa baru juga. Ada sebuah kejadian yang membuat saya terkejut dengan responsnya akan hal itu.
Suatu kali beberapa anak mengajaknya bermain kejar-kejaran. Namun, selalu Adyatma yang harus mengejar, tak pernah yang dikejar. Akhirnya dia kelelahan juga, dan mengambil keputusan yang sungguh mengejutkan saya. Dia segera berhenti mengejar, lalu duduk dekat ayahnya dan meminta ponsel. Katanya, “Aku males diprank gitu.”
Bersikap asertif untuk menolak melanjutkan permainan, sungguh sebuah manifestasi prinsip jaga diri yang ditunjukkannya sebagai hasil dari proses belajar selama enam tahunan sejak dia di kelompok bermain.
Belajar peristiwa baru juga dia dapatkan ketika ikut ayahnya bekerja mengecek penginapan. Adyatma sangat antusias menyapa tamu dalam Bahasa Inggris, belajar menjadi resepsionis, bicara dengan tamu orang Jerman. “Sir, if you want anything, just call me, i will tell my dad.” Sang tamu yang mendapat keramahtamahan anak Indonesia merasa senang. Bila menuruti hatinya, dia hendak magang di situ. Sayangnya jaraknya cukup jauh dari rumah.
Sikap lain yang ternyata sempat diperhatikan teman-teman saya saat berjumpa, adalah kemandiriannya. Dia berani menanyakan password, letak toilet di tempat umum, meminta alat makan baru ketika punyanya jatuh, semua bisa dilakukannya sendiri. Sikap tersebut sengaja sudah saya biasakan jauh hari sebenarnya. Tujuannya untuk menggugah dia mencari tahu informasi apa yang dibutuhkan.
Kemandirian ini ternyata termasuk juga sikapnya dalam menjunjung kejujuran. Suatu kali dia meminta saya memberikan kuis tentang pengetahuan Geografi. Beberapa hal yang tidak dia ketahui, dijawabnya dengan jujur tidak tahu. Saya menawarkan, ayo boleh kok lihat di Google, tidak dilarang. Dia merespons, dia jawab tidak tahu karena dia belum belajar tentang hal itu. Dia enggan cari di Google bila hanya sekadar menemukan jawaban kuis saja. Kalau sampai cari, berarti dia harus belajar sekalian. Saya jadi tidak mampu berkata apa-apa.
Hal lain yang juga tak saya sadari telah terjadi proses belajar adalah ketika teman-temannya melakukan riset bersama membuat soto di sekolah. Adyatma malah tertarik menguji coba bagaimana membuat bakwan jagung dengan beberapa kali percobaan. Mengapa bakwan jagung? Karena dia baru saja menemukan bahwa bakwan jagung rasanya enak dan dia tertarik mencoba membuatnya sendiri.
Percobaan pertama karena kondisi dapur masih darurat, menggunakan tepung bumbu instan. Jelas mudah dan cepat membuatnya, tetapi kurang sehat karena tinggi garam dan tinggi msg. Akhirnya bersama saya, dia mencoba bertanya ke seorang teman saya di Jakarta tentang komposisi tepung apa yang bisa membuat bakwan jagung tetap krispi dan rasanya enak.
Uji coba kedua, kami menggunakan tepung terigu dan tepung beras, garam dan lada. Perbandingannya pun tepung beras harus jauh lebih sedikit dari tepung terigu. Kami berhasil dengan resep ini.
Proses selanjutnya adalah menghitung harga bahan membuat bakwan jagung, baik yang instan maupun tidak. Ternyata bedanya tidak banyak.
Proses mengolah bakwan jagung ini kami ceritakan kepada Kak Rere, mentor Adyatma di semester ini. Lalu, ditawarkan untuk presentasi dan membuat jagung bersama teman-teman melalui Google Meet. Proses untuk presentasi ini malah kami mulai dari Adyatma berbelanja sendiri ke warung. Belajar berhitung juga apakah ada perubahan harga mengingat seringkali hujan yang mungkin membuat sayur membusuk.
Di sini, Adyatma menemukan ternyata harga jagung yang diberikan saat uji coba awal ternyata berbeda. Yang kita gunakan jagung biasa, tetapi diberikan harga jagung manis. Walau demikian, sekali ini dia memilih jagung manis untuk presentasi.
Sesi di Google Meet pada suatu hari Rabu itu berjalan cukup lancar. Adyatma bisa bertanya jawab dengan teman-temannya, termasuk menemukan bahwa satu sendok makan tepung, beratnya adalah 10 gram. Ayah Adyatma pun sempat mengajarkan cara pipil jagung hingga butiran jagung dalam bakwan masih tampak sempurna.
Ketika hasil bakwan jagung setiap anak sudah matang, mereka rata-rata tak sabar menyantapnya. Resep yang diberikan Adyatma cukup berhasil, bahkan tanpa kebiasaan mengulek bawang putih dan merah untuk campuran adonannya. Semua senang, dia juga senang melihat teman-temannya antusias melalui Google Meet, termasuk saya tentunya.
Nah, ‘kan dengan saya melakukan sesuatu bersama Adyatma, menguji coba resep, termasuk mempresentasikannya, tak terelakkan telah terjadi proses belajar pada diri anak tersebut.
Lalu, bagaimana dengan sikap atau karakter pembelajar yang menjunjung tinggi prinsip jaga teman dan jaga lingkungan. Apakah masih terlatih? Ternyata hal tersebut tanpa disadari menyerap dalam sikap perilakunya sehari-hari. Hal ini saya ketahui dari sekali waktu mengintip isi percakapannya dalam aplikasi WhatsApp. Keputusan memperbolehkannya memiliki nomor WhatsApp sendiri ini sudah dimulai ketika mempersiapkan dia sekolah jarak jauh, untuk memudahkan berkomunikasi dengan teman-temannya.
Sungguh sebuah perbedaan yang signifikan isi percakapan WhatsApp-nya dengan teman sebaya yang sangat anak-anak, dibanding dengan orang dewasa yang kata-katanya sangat santun dan respek. Adyatma pun telah belajar sesuatu di sini.
Perihal lain tentang jaga lingkungan, dia menunjukkan sikap tidak membuang sampah sembarangan, menitipkan bungkus permen atau biskuit di tas saya, bila tidak menemukan tempat sampah. Termasuk juga bisa mengulurkan tangan untuk membantu memindahkan barang-barang di rumah dari area yang berisiko bocor bila hari hujan deras.
Semua proses itu sebenarnya telah menunjukkan bahwa si bungsu saya itu telah belajar, banyak malahan. Dia pun mengusulkan ide untuk riset mandiri, akan menumbuhkan bibit menggunakan media rol tisu gulung dan tanah, mau mencoba membuat snack makanan anjing sendiri, maupun mencoba membuat snack sendiri serasa buatan toko roti. Semua ide yang diperolehnya, justru dari YouTube short, yang mungkin banyak dicemaskan orang tua.
Sungguh, pada akhirnya kepanikan saya bahwa dirinya tertinggal jauh dari teman-temannya yang belajar secara langsung, perlu saya evaluasi lagi. Memang dia tak ikut berpetualang lagi untuk ngeRamban (menemukan tanaman di sekitar yang bisa dimakan) atau tak ikut pencak silat maupun mini trip seperti teman-temannya.
Namun, kini kami berpetualang sambil membawa anjing peliharaannya, keliling perumahan, melihat banjar (aula pertemuan masyarakat Bali), Pura desa (tempat sembahyang umat Hindu), melihat ada yang sedang bersembahyang di jalan, mengamati Kori rumah Bali yang punya filosofi sendiri, yang tentu tak akan kekurangan hal-hal yang bisa kami eksplorasi.
Dengan semangat Salam tentang semua murid semua guru, atau alam adalah laboratorium pendidikan, saya seharusnya tak perlu baper atau khawatir meski berbeda lokasi dari bangunan Salam di Nitiprayan maupun waktu pembelajarannya.
Saya hanya perlu meyakinkan diri terus menerus, fasilitasi saja Adyatma secara konsisten, bangkitkan rasa ingin tahunya, ajak dan libatkan dalam keseharian, tanggapi ketika dia ingin belajar tentang Geografi, atau jam analog maupun matematika, tentu dia dan saya akan bisa dan terus berproses, belajar bersama. []
Ortu SALAM
Leave a Reply