Pagi itu, ketika masuk ruang kelas, Jalu menyambut saya dengan pertanyaan, “Mbak, kita mau belajar apa hari ini?” lalu dengan cepat saya balik bertanya “Hmmmm, Jalu pinginnya belajar apa?”
Di depan saya terlihat anak-anak sedang asyik mengerumuni peta Indonesia. Asyik sekali kota-kota lain yang mereka kenali sebelumnya.
“Jalu, itu teman-temanmu kok kelihatannya seru sekali ya, sedang mencari apa sih mereka?”
Jalu mendekati kerumunan teman-temannya, beberapa detik kemudian dia melebur dalam keasyikan belajar bersama.
“Mamaku lagi di sini…”, kata Jalu sambil tangannya menunjuk Pulau Irian Jaya.
“Wah, Mama lagi di Papua ya, Jalu?”, tanya saya.
“Mama lagi di Indonesia Timur, katanya di NTT gitu…”, jawabnya.
“O ya ya, yang kamu tunjukkan itu betul, salah satu bagian dari Indonesia Timur. Nah sekarang coba kita cari tahu yuk, di mana tepatnya letak NTT itu. Eh iya, kamu sudah tahu belum NTT itu singkatan dari apa?”
Jalu menggeleng.
“Teman-teman, ada yang tahu NTT itu singkatan dari apa?”
“Aku nggak tau, taunya TNT”, sahut seorang anak yang kemudian disambut tawa seluruh warga kelas 4, termasuk saya.
“Aku tahu, aku tahu, Nusa Tenggara Timur bukan?”, kata Oyi berusaha menjawab.
“Nah iya betul, Nusa Tenggara Timur! Ayo kita bantu Jalu menemukan Nusa Tenggara Timur di peta, yuk!”, ajak saya.
Tanpa dua kali diminta, mereka dengan sigap kembali menyimak peta dan berusaha menemukan lokasi Nusa Tenggara Timur. Jalupun tak ketinggalan bersemangat mencari letaknya.
“Nah iniiiiii, iniiiiii, ketemu! Provinsi Nusa Tenggara Timur! Ini Lu, Jalu, Mamamu di sini!”
“Wah sudah ketemu ya, horeeeee!”, sahut saya.
“Tapi nggak tau Mbak, mamanya Jalu di mana, ini pulaunya banyak banget kecil-kecil”
“O ya, tidak jadi satu seperti pulau Jawa ya?”
“Iya mbak…”
“Kalau dari Yogyakarta, jauh nggak teman-teman?”
Mereka berusaha menemukan kembali letak kota Yogyakarta.
“Hmmmm lumayan jauh sih, Mbak”
“Lalu kira-kira perjalanannya bisa ditempuh dengan menggunakan apa ya, teman-teman?”
“Pake mobil mungkin bisa mbak, tapi harus nyambung nyebrang laut pakai kapal. Tapi paling cepat pakai pesawat terbang, wusssssss nyampai. Tergantung sih di pulau mana tugasnya, kalau nggak bisa pakai pesawat terbang berarti harus nyambung pakai kapal laut!”
Obrolan kami berlanjut seru. Ahhhh anak-anak, segala cara memang bisa ya digunakan untuk belajar. Rasa ingin tahu yang besar ini sayang rasanya kalau dilewatkan. Maka berikutnya saya mengajak mereka untuk mengingat kembali nama-nama kota yang pernah mereka kunjungi, menuliskannya di depan, lalu bersama-sama mencari tahu lokasinya di mana, dekat dengan kota mana saja, masuk di provinsi apa, terletak di pulau mana? Tentu saja tidak, bisa berkembang sampai ke pembahasan makanan khas, budaya khas, suku, bahasa. Ah, tapi kan tidak bisa untuk belajar matematika? Siapa bilang? Coba saja pancing rasa ingin tahu anak tentang ukuran, skala, jarak sebenarnya, dan waktu tempuh dengan kecepatan tertentu (kalau perlu). Banyak sekali bukan yang bisa dipelajari dari bermain peta, lebih dari yang saya bayangkan dari sekadar belajar peta geografis.
Hari itu sebenarnya saya tak pernah merancang untuk membicarakan peta geografis. Rencana saya adalah membahas riset masing-masing anak. Tetapi melihat mereka yang sudah asyik menyimak peta sebelum kelas belajar dimulai, hingga obrolan Jalu tentang mamanya membuat saya merasa sayang kalau harus melewatkan kesempatan emas ini untuk memjadi bahan belajar bersama daripada sekadar mengikuti jadwal yang saya rancang sebelumya. Proses belajar hari itu membuat saya merefleksi dan meyakini bahwa setiap peristiwa itu adalah sebuah berkah. Ya, berkah kesempatan untuk diolah sebagai bahan belajar. Perginya Bu Rina – Mamanya Jalu untuk bertugas ke Nusa Tenggara Timur, adalah berkah bagi kami sekelas untuk belajar peta dan banyak hal di dalamnya. Begitupun untuk setiap peristiwa lainnya. Saya katakan setiap peristiwa, karena ternyata tak harus peristiwa luar biasa, yang sederhana pun bisa. Tak hanya peristiwa baik, bahkan yang tampak burukpun dapat diolah menjadi sarana belajar bersama. Akhirnya saya baru percaya, bahwa tanpa buku teks sekolah, tanpa kurikulum yang memenjarakan, tetapi melalui peristiwa, anak-anak ini bisa belajar bahkan tanpa batas!
Relawan SALAM Yogyakarta
Leave a Reply