Catatan Kegiatan Diskusi Buku “Sekolah Biasa Saja”
“Di sini ada Taman Siswa?”, Tanya Pak Toto Rahardjo kepada saya. Saya menggeleng tidak tahu. Saya baru tahu kalau Taman Siswa ternyata ada di sini setelah besok harinya diantara peserta bedah buku yang hadir adalah guru Taman Siswa di Purwokerto.
Bapak Pendidikan kita adalah Ki Hajar Dewantoro. Tetapi apa yang Ki Hajar laksanakan di Taman Siswa yang ia dirikan, banyak orang tidak tahu menahu. Yang mainstream berlaku hari ini adalah justru sistem pendidikan yang masih segaris dengan apa yang menjadi haluan pendidikan Gubernur Jenderal Daendeles, ketika tanah ini masih berpemerintahan Hindia-Belanda.
Kesempatan yang langka, Pak Toto Rahardjo hadir bersama Bu Sri Wahyaningsih, istri Beliau. Pak Toto dan Ibu hadir dalam rangka memenuhi agenda kegiatan bedah buku yang diprakarsai oleh Pemkab Purbalingga.
Buku yang didiskusikan adalah buku “Sekolah Biasa Saja” yang baru saja cetak ulang untuk kedua kalinya. Tidak mainstream, nyleneh dan berkebalikan dengan yang wajar berlangsung, itulah Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, wahana pendidikan yang menjadi pokok bahasan di dalam buku yang menurut saya justru menyuguhkan sejatinya pendidikan itu harus diselenggarakan seperti apa.
Sejak malam hari sebelum acara, Pak Toto sudah mewedar cara berfikir beyond yang membuat saya berkali-kali terbelalak. Dengan runut dan sederhana, meskipun melalui diskusi santai di beranda rumah transit, tetapi Pak Toto bisa membuat saya tersadar harus bagaimana berposisi terhadap realitas hari ini. Realitas keluarga, realitas pendidikan, realitas sosial, hingga realitas politik.
Tanpa doktrin dan tanpa afirmasi, Pak Toto menyadarkan saya bahwa ternyata saya masih terlalu “anggur-angguran”, sehingga menyediakan waktu yang melebihi porsinya untuk menyimak berita politik di medsos, di TV. Akibatnya, realitas yang lebih penting untuk diperhatikan, justru menjadi terabaikan.
Memang pendidikan itu bukan hanya kewajiban anak-anak saja. Sepanjang kita masih membutuhkan ilmu untuk menghadapi realitas-realitas hidup, sepanjang itu pula kita masih harus terus belajar mendidik diri sendiri.
Acara diskusi berlangsung di Pendopo Cahyana, Rumah Dinas Wakil Bupati Purbalingga. Peserta yang hadir mulai dari kalangan pendidik, mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Para penggiat Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) dan penggiat Taman Baca Masyarakat (TBM) juga banyak yang hadir pada acara di hari Minggu (7/10) kemarin. Bukan hanya dari wilayah Purbalingga, tetapi juga Purwokerto, Banjarnegara, Cilacap dan Pemalang.
Dari sistem pendidikan di SALAM Jogjakarta, salah satunya Pak Toto dan Bu Wahya menyampiakan bahwa siswanya melakukan riset atau penelitian langsung dalam hal-hal yang nyata. Juga, interaksi langsung dengan para ahli di bidangnya. Jarang sekali sistem belajar-mengajar dilakukan di kelilingi tembok-tembok, papan tulis, dilakukan dengan mendikte dan metode yang mempersulit anak-anak lainnya.
Naelul Fauzi selaku pembedah buku menyampaikan intisari dari bab-bab di dalam buku dengan runut dan dikomparasikan dengan realitas yang Ia hadapi di keseharian sebagai pengajar di daerah terpencil. Sangat menarik apa yg di sampaikan para narasumber, ketika siswa turun ke kebun milik pak tani, melihat langsung, mengamati, meneliti dan apabila ada pertanyaan terkait bisa langsung tanya ke ahlinya, yaitu pak tani. Dan ketika siswa turun ke kebun, ternyata tidak melulu belajar mengenai tanaman, tapi belajar menulis, hitung-hitungan matematika, interaksi sosial dengan kondisi lingkungan, ilmu pengetahuan alam, dan banyak sekali dalam waktu sekaligus termasuk pelajaran agama, karena apabila di simpulkan dari hasil pengamatannya akan mengerucut kepada Sang Maha Pencipta.
Bagaimana semua aspek pembelajaran yang banyak, namun dikonsep menarik bagi para siswa, seperti halnya mainan, menyenangkan namun dasar-dasar mengenai apa itu belajar, tersampaikan dengan apik. Seperti bagaimana falsafah pendidikan sejak awal yang di gaungkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, bahwa sekolah itu ada untuk mengisi waktu luang di tengah masa-masa bermain anak, dan sekolah yang pertama kali berdiri adalah taman, bukan sekolah, yakni Taman Siswa.
Kata taman identik dengan keindahan, menyenangkan suasananya dan alamiah. Bukan suasana penjara dimana tembok, pagar besi yang mengelilingi berdirinya sebuah sekolah. Tembok dari segi bangunan, juga tembok pembatas dalam berkreasi, bernalar dan dalam menempuh pendidikan.
Peserta begitu aktif merespon dan bertanya. Hingga acara ditutup tentu masih banyak yang belum terpuaskan, Rizky sebagai moderator acara menyampaikan bahwa Sanggar Anak Alam terbuka untuk siapa saja yang hendak berkunjung atau sekedar mampir, untuk menuntaskan ketidakpuasan di acara tersebut.
Sanggar Anak Alam memang tidak seperti sekolah alam pada umumnya. Yakni bukan sekolah yang harus ada di alam, tetapi bagaimana Pak Toto dan Bu Wahya mengembangkan pemebelajarn untuk anak alam, yakni sesuai kodrat anak, sesuai alamiahnya bakat, modalitas dan gaya belajar anak.[]
Karyanto, Jamaah Juguran Syafaat Purbalingga
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply