Tulisan Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto sangat menarik untuk disimak—dengan lontara pertanyaan yang menggelitik—yang hampir tak pernah diungkapkan selama ini tentang siapa sesungguhnya Bapak Pendidikan Nasional Kita? ***
Bapak Pendidikan Nasional itu sebenarnya bukan Ki Hadjar Dewantoro, karena apa yang dikenalkan oleh Ki Hadjar Dewantoro sama sekali tak digubris oleh Pemerintahan Republik Indonesia, Pendidikan Taman Siswa tak pernah jadi indikator pendidikan nasional kita, kurikulum pendidikan Taman Siswa tak pernah dijadikan basis dalam sistem pedagogi kita.
Kita ini senang mengunggul-ungguli simbol tapi gagap pada substansi, Ki Hadjar Dewantoro diagung-agungken jadi Bapak Pendidikan, tapi Taman Siswa sendiri hidup tak mau matipun enggan, Taman Siswa seperti sekolah rakyat yang tak tersentuh, jauh dari sekolah para dewa, sekolah internasional dan sekolah negeri yang beracuan pada pendidikan barat.
Bapak Pendidikan secara realistis harus diberikan kepada Daendels, sebab dia-lah penguasa di Nusantara pertama yang menciptakan sistem sekolah rakyat. Pada bulan Juni 1810, di Cirebon Daendels melihat bahwa rakyat sama sekali tak dapat pendidikan aksara, tak mendapat pendidikan mengenal lingkungannya. Lalu ia berbicara dengan Pangeran Cirebon untuk segera dibentuk ‘Sekolah Ronggeng’. Pada dasarnya sekolah ronggeng adalah sekolah pertama kali yang memadukan sistem pendidikan barat dengan sistem pendidikan timur dimana siswa didik dikenalkan pada lingkungannya dengan melek huruf, disini berarti ada pertemuan antara ketercerahan jiwa dengan ketercerahan intelektual.
Daendels terobsesi dengan pemikiran Descartes yang ingin mengenalkan ilmu pengetahuan kepada banyak orang – di masa lalu Descartes menjebol buku-buku berbahasa latin ke bahasa Perancis yang juga berarti bahasa rakyat banyak, apa yang dilakukan Descartes berlawanan dengan sakralitas ilmu pengetahuan di Eropa pada masanya, tapi Descartes menjawab “Ilmu pengetahuan bukanlah barang suci, ia sekedar informasi dan setiap orang berhak atas informasi yang disampaikan ilmu pengetahuan-. ,
Memang ada kesan congkak dalam pemimpin cabutan Napoleon Bonaparte ini, tapi tugas utama Daendels di Jawa yang membangun benteng pertahanan melawan Inggris, juga ia lakukan dengan membangun skema pendidikan dalam tahapan paling dasarnya.
Pada tahun 1811 di Batavia, Daendels melihat begitu banyak kematian bayi-bayi, dan tidak adanya perawatan kesehatan. Daendels memerintahkan dibentuknya sekolah bidan. “Sekolah Bidan” Daendels bisa dikatakan sebagai sekolah kedokteran tahap pertama sebelum adanya sistem pendidikan yang sistematis pada masa-masa selanjutnya.
Daendels mencatat semua persoalan-persoalan penduduk pribumi dalam sebuah arsip, namun manifestasi persoalan penduduk pribumi. Setelah era Daendels datanglah era Raffles dimasan Sir Thomas Stamford Raffles, tidak diperhatikan pendidikan rakyat, Raffles tergila-gila pada ilmu pengetahuan, ia tak peduli dengan pembagian informasi ilmu pengetahuan, Raffles malah membangun perpustakaannya sendiri, kemudian setelah kematiannya di Singapura perpustakaannya jadi sumber penyumbang terbesar bagi perkembangan ilmu sejarah, sosiologi dan arkeologi Asia Tenggara ke Perpustakaan London, salah satu yang menikmati hasil kerja keras Raffles adalah Karl Marx dan Marx sendiri khusus menyebutkan Raffles ke dalam salah satu karya terbesarnya ‘Das Kapital’. Namun kerja Raffles sama sekali tak menyentuh akar-akar pendidikan rakyat. Begitu juga Gubernur-Gubernur Jenderal selanjutnya seperti Van den Bosch yang lebih terobsesi mengembalikan biaya-biaya perang Diponegoro dengan kerja rodi di banyak perkebunan.
Bila Daendels bisa dikatakan Bapak Pendidikan di Nusantara, maka Van Heutz bisa dikatakan Bapak Pembuka Sistem Pendidikan. Van Heutz adalah Gubernur Jenderal terbesar pada masa Hindia Belanda, dimasa dia-lah seluruh Nusantara dijadikan satu jaringan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Setelah pidato-nya yang terkenal di Lapangan Banteng 10 Mei 1907 terntang kesempurnaan geopolitik di wilayah Hindia Belanda, setelah pidato itu ia mengumpulkan seluruh penggede Hindia Belanda dan akan melakukan politik pendidikan rakyat, disini Van Heutz membentuk sistem sekolah desa, sebagai alat pencerdasan rakyat dan memberantas buta huruf, rakyat harus dikenalkan pada dunia baca dan dunia tulis sehingga pikirannya berkembang. -Dimasa Van Heutz pula dibicarakan tentang gagasan sekolah peralihan (Schakel School). Disini Van Heutz menerapkan dasar-dasar pedagogi yang secara sistematis mengenalkan dunia aksara dan dunia hitung lewat sistem yang lebih teratur, Van Heutz juga membaca arsip-arsip yang dilaporkan pada masa Daendels, dan keinginan Daendels membangun sistem pendidikan modern di Jawa sebagai uji coba sistem pendidikan bagi anak pribumi, Van Heutz juga membaca laporan-laporan tentang perkembangan politik di Parlemen Belanda yang menuntut adanya sistem pendidikan teratur di Hindia Belanda, Parlemen Belanda yang pada waktu itu dikuasai dua kelompok besar : Sosialis dan Liberal menuntut dengan satu suara “Hidupkan Sistem Pendidikan Pribumi”.
Sistem pendidikan yang diteriakan kelompok Van Deventer itu tak pernah sampai ke meja Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sampai Van Heutz membentuk inisiatifnya sendiri membangun sistem pendidikan yang progresif.
Apa yang dilakukan Van Heutz ini disempurnakan oleh Idenburg dan lebih sempurna lagi pada masa Van Limburg Stirum dengan memasukkan sistem kurikulum paling teratur dan terintegrasi, sistem kurikulum Van Limburg Stirum sampai sekarang masih digunakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.
Sebenarnya sekolah-sekolah modern dibangun di Indonesia sudah ada sejak 1850, hanya saja pembangunannya itu bertahap, seperti sekolah pendidikan (Kweekschool) itu didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Namun seluruhnya belum teratur dan masih dalam rangkaian proses, substansi seluruh sistem pendidikan baru secara serius digarap dan dijadikan pedoman pedagogis pada tahun 1918 pada masa Van Limburg Stirum ini.
Kesempurnaan seluruh entitas pendidikan terjadi pada tahun 1918. Di Hindia Belanda sudah ada pendidikan kejuruan yang amat efektif seperti sekolah dagang (handels onderweijs), sekolah pertanian (landbouw onderweijs), sekolah pertukangan (amaatsch leergang) dan sekolah pertukangan berbahasa Belanda (Ambaatchsschool).
Sekolah-sekolah formal akademis dari HIS sampai HBS atau AMS dan Universiteit dibangun dimana-mana. Jadi dimasa ketika Ki Hadjar Dewantoro membangun Taman Siswa ini bukan sebagai pembentuk sistem pendidikan nasional, tapi perlawanan terhadap substansi kebangsaan pendidikan nasional.
Berdirinya Taman Siswa tak lepas dari diskusi panjang dua minggu yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro (waktu itu nama resminya masih Suwardi Suryoningrat), Drs. Raden Mas Pandji Sosrokartono, dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat kebangsaan, dialog-dialog mereka amat panjang dan menyentuh pada persoalan kemanusiaan dan rasa jiwa manusia, sehingga dicetuskanlah ide membangun pendidikan berorientas kebangsaan. Beberapa tahun kemudian setelah diskusi panjang itu berdiri sekolah Taman Siswa di Yogyakarta pada tahun 1922.
Pendidikan Taman Siswa adalah pendidikan perlawanan, awal dari mula-mula diuji coba untuk melawan kurikulum Belanda dengan sistem pendidikan yang tak mengasingkan anak didik kepada bangsanya. Ini substansi dari berdirinya Taman Siswa. Namun perkembangan Taman Siswa ke depan malah dilindas dalam laju sejarah, Taman Siswa gagal menjadi sistem alternatif pendidikan, kecuali nama Ki Hadjar Dewantoro yang seakan-akan menjadi simbol atas pendidikan nasional kita.
Adalah Ki Said, salah seorang guru Taman Siswa yang paling terkenal dan mengepalai sekolah Taman Siswa di Djakarta antara tahun 1945-1966, Ki Said mengembangkan sistem pendidikan Taman Siswa dengan amat revolusioner yaitu : “Bahwa setiap orang memiliki bakatnya, setiap orang memiliki takdir atas bakatnya” patokan adagium Ki Said inilah yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan Pendidikan Taman Siswa di Djakarta, dan hasilnya di masa Ki Said, Taman Siswa menyumbangkan seniman-seniman besar Indonesia seperti : Benyamin S dan pelawak Ateng.
Benyamin S mengenang, pendidikan Taman Siswa-lah yang membuat ia mencintai dengan amat sangat bangsa sendiri, ia tidak merasa malu menyanyikan lagu-lagu betawi karena pendidikan Taman Siswa ini, ia bangga berhadapan dengan gengsi lagu asing, karena ia merasa bahwa lagu yang ia bawakan adalah identitas paling awal kemanusiaannya. Ki Said telah membentuk karakter Benyamin S dari seorang anak bandel tukang catut menjadi seniman paling legendaris yang dimiliki bangsa Indonesia.
Ki Said amat mencintai Bung Karno, suatu waktu di awal tahun 1966, Ki Said didatangi mahasiswa-mahasiswa KAMI yang menentang Bung Karno, ia dipaksa menyuarakan kutukan terhadap Bung Karno, tapi apa jawab Ki Said “Bung Karno-lah yang mengenalkan anak-anak seluruh Indonesia di tahun 1945 tentang rasa cinta kepada bangsa sendiri, Bung Karno-lah yang membentuk -nation- Indonesia, itu Bung Karno-ku, perkara Bung Karno yang suka main perempuan, yang kalian cap tak mampu membangun ekonomi bangsanya di tahun 1966, itu Bung Karno kalian, dan aku tak ingin mengutuk sedikitpun Bung Karno-ku-.
Kesadaran Nasional adalah inti dari pendidikan Taman Siswa, inti dari pemikiran Ki Hadjar Dewantoro, apabila sistem pendidikan nasional tak menghasilkan kesadaran nasional, kebanggaan sebagai bangsa, kebanggaan bahwa kita adalah bangsa yang mampu menyumbangkan kebudayaan dunia, membentuk peradaban baru, maka jangan sekali-kali kalian menyatakan Bapak Pendidikan Nasional kalian adalah Ki Hadjar Dewantoro, tapi secara realitas memanglah Bapak Pendidikan Nasional kalian adalah Daendels, karena Daendels membangun pendidikan tanpa jiwa nasionalisme ia hanya ingin menyebarkan ilmu pengetahuan, sama seperti orang tua sekarang yang lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris di tempat-tempat umum ketimbang lancar berbahasa Indonesia. Kepada Ki Hadjar, kepada Ki Said bangsa Indonesia berterima kasih telah dibentuk jiwanya. *** [Anton DH Nugrahanto]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply