Baru-baru ini saya dan Pak Jimmy Paat, aktivis pendidikan yang pernah mengajar sekolah guru Universitas Negeri Jakarta, untuk berbincang-bincang dengan guru-guru di Tangerang Raya, Banten, tentang sekolah sehat.
Rupa-rupanya kampanye sekolah sehat merupakan program Kemendikbud yang diluncurkan sejak Agustus 2022 lalu. Bisa kita tebak apa yang dimaksud dengan sekolah sehat? Ternyata pemaknaannya cenderung sebatas dari kacamata ilmu kesehatan dan ilmu kedokteran semata. Ini segera terkonfirmasi saat kita membuka laman resmi Kemendikbud, program ini dilakukan untuk mengkampanyekan perlunya kesehatan peserta didik dan kebersihan lingkungan sekolah dengan tiga fokus utama: sehat gizi, sehat fisik, dan sehat imunisasi.
Sekolah sehat merupakan sesuatu yang sangat mendasar bila kita tidak memaknainya dari sudut pandang dan birokratis. Bagi kita yang terlibat dalam dunia pendidikan, sekolah sehat sudah semestinya tidak hanya dimaknai dari sudut ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran semata-mata tetapi harus dikaitkan dengan praksis pedagogis dan ilmu pendidikan.
Sekolah Institusi tidak Sehat
Dari studi pendidikan kritis, sekolah pada dasarnya merupakan institusi yang tidak sehat. Sekolah tidak ubahnya institusi penjara atau institusi penjinakan sebagaimana Sekolah Gajah Way Kambas. Kalau kita cermati, berbagai kebiasaan kebiasaan, istilah-istilah, atau karakteristik yang melekat pada institusi penjara atau sekolah gajah Way Kambas persis kita bisa jumpai dalam institusi sekolah. Sebut saja soal peraturan, jadwal, bel, perintah, disiplin, pendisiplinan, pengawasan, kontrol, hukuman dan hadiah (reward and punishment, istilah yang sangat dihafal yang masih menjadi mantra termasuk di sekolah-sekolah elite).
Jangan dikira juga Sekolah Gajah Waykambas bukan sekolah sehat. Para gajah di sana tidur teratur, makan teratur, gizi terpenuhi, lingkungannya bersih dan sehat – bahkan oksigennya berlimpah-limpah, rutin mereka diimunisasi dan kesehatannya rutin dipantau. Bahkan, Unit Kesehatan Sekolah (UKS)-nya mempekerjakan dokter dan tenaga kesehatan profesional. Namun, bila dilihat lebih dalam, proses yang terjadi di sana mungkin baik bagi manusia tetapi tragedi bagi para gajah. Tujuan dan proses pendidikan untuk para gajah itu bertujuan untuk menjinakkan. Agar menjadi penurut dan memberi manfaat ekonomi gajah-gajah itu bahkan diajar untuk melawan kodratnya, dengan diajar menendang dan bermain bola, duduk berjajar di bangku, atau menarik beban. Kalau menurut diberi hadiah, kalau melawan dicolek dengan tongkat yang diberi baja di ujungnya.
Pendidikan seperti sekolah gajah dan mirip penjara ini dikirik oleh Paulo Freire melalui buku klasiknya Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 2022). Freire berangkat dari asumsi dasar bahwa dehuminasi merupakan persoalan sentral yang kita hadapi saat ini. Karena itu harus dilakukan upaya pemerdekaan untuk mengembalikan manusia pada martabatnya sebagai manusia merdeka. Apa yang terjadi di sekolah, secara dasar atau tidak sadar, dilakukan untuk melestarikan status quo ketidakadilan dan penindasan, bukannya memerdekakan. Freire sangat cermat mengamati situasi pendidikan dan relasi antara guru-murid yang cenderung melestarikan status quo itu melalui konsep pendidikan bergaya bank.
Freire mengungkapkan ketidaksetaraan dalam relasi guru dan murid. Relasi guru-murid memiliki watak bercerita di mana guru sebagai subyek bercerita dan murid sebagai objek mendengarkan. Guru membicarakan realitas sebagai sesuatu yang statis, tidak bergerak, terpisah satu-sama lain, dan selalu dapat diprediksi. Topik yang dibicarakan sama sekali asing bai anak dan tugas guru adalah mengisi dengan bahan yand dituturkan yang terpisah dari realitas. Pendidikan lantas menjadi kegiatan menabung, di mana murid menjadi “celengan” dan guru menjadi penabung. Inilah pendidikan bergaya bank yang dikritik Freire. Sebagai antithesisnya, Freire menawarkan alternatif pendidikan sebagai membangun kesadaran kritis yang bersifat memerdekakan, dilandaskan pada kesetaraan hubungan antara guru dan murid dengan dialog dan hadap masalah (problem posing).
Hakikat sekolah
Jadi, ketika membicarakan soal sekolah sehat mau tidak mau kita harus melihat kembali apa itu sekolah, apa itu pendidikan, dan apa itu maksud dan tujuan pendidikan. Gizi, fisik yang sehat, imunisasi memang penting tetapi sangat tidak memadai untuk mewujudkan sekolah sehat, bahkan dari perspektif ilmu kesehatan atau ilmu kedokteran itu sendiri. Sekolah sehat bukan hanya soal lingkungan atau bangunan sekolah yang sehat dan aman bagi anak tetapi juga juga terkait dengan lingkungan kehidupan yang sehat. Bagaimana kita bicara sekolah sehat, apabila udara yang kita hirup tercemar gas buangan, baik karena asap kendaraan ataupun listrik dari batu bara? Bagaimana kita sehat bila air yang sehari-hari kita minum adalah air yang tidak sehat. Bagaimana kita sehat, apabila makanan yang kita makan mengandung bahan kimia berbahaya dari baik dari pupuk, mikro plakstik, ataupun pengawet. Entitas sekolah tidak berdiri sendiri, baik dalam aspek kesehatan mapun nonkesehatan, terhubung timbal balik dengan keluarga dan masyarakat.
Lalu apa maksud dan tujuan pendidikan? Tujuan pendidikan tidak lain adalah melahirkan manusia yang otonom, merdeka, dan baik kepribadiannya. Ki Hadjar Dewantara merumuskan tujuan pendidikan untuk memerdekakan manusia atas hidup lahir dan batin. Sedangkan maksud dari pengajaran dan pendidikan adalah memerdekakan manusia, bukan hanya sebagai individu tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Pendidikan adalah “tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”, sedangkan maksud maksud pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebaai anggota masyarakat dapatlah mencapai kesalamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Maksud dan tujuan itu pendidikan itu bisa kita baca dalam tulisan Ki Hadjar “Pendidikan dan Pengajaran Nasional” (Dewantara: 1928) yang bisa kita temukan di halaman-halaman pertama buku kuning karya pendidikan Ki Hadjar yang diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa).
Ki Hadjar menggarisbawahi pentingnya tuntunan itu disesuakan dengan kodrat anak. Ibarat seorang petani menuntun tumbuhnya padi, seorang juru tani akan berusaha memperbaiki tanah, merabuk, memberi air, menjauhkan tanamannya dari ulat dan jamur agar tumbuh menjadi padi, bukan menjadi tanaman kedelai. Maka sekolah bisa disejajarkan dengan “taman”, tempat bibit tanaman dirawat dengan sebaik-baiknya. Gambaran sekolah sebagai taman ini merupakan antitesa sekolah sebagai penjara atau sebagai tempat penjinakan.
Gert Biesta, seorang ahli pedagogik asal Belanda, menyebutkan tiga domain dalam maksud dan tujuan pendidikan, yaitu kualifikasi, sosialisasi dan subjektivikasi. Menurut Biesta, subjektivitas berarada pada hirarki pertama dan merupakan inti dari pendidikan (Biesta, 2022). Subjektivikasi tidak lain dari upaya menuntun anak menjadi manusia dewasa yang merdeka, menjadi diriinya sendiri dan tidak didikte oleh orang lain. Tidak itu saja, subjektivikasi juga terkait dari kemampuan memposisikan dirin dalam dunia, menjadi agen yang mampu mempertanyakan dan mengubah keadaan. Ini bisa terjadi bila anak-anak terbiasa berpikir reflektif, berpikir dan bertindak dalam kesadaran, dan terlatih dalam berbahasa kritis.
Ada unsur pentng dalam relasi yang harus dibangun sekolah, yaitu guru, murid, dan pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Penguasaan pengetahuan menjadi hal yang sangat penting akan tanpa harus terjebak dalam intelektualisme sebagaimana dikritik oleh Ki Hadjar. Karena pada hakikatnya manusia terdiri dari badan dan jiwa, maka olah tubuh, kerja tangan, dan berkesenian menjadi hal yang penting bagi anak.
Banyak Pekerjaan Rumah
Dari sarana dan prasarana dasar saja, banyak hal yang harus menjadi agenda bila kita ingin benar-benar mewujudkan sekolah sehat. Bila merujuk pada pembagian usia menurut Ki Hadjar, sampai usia delapan tahun anak-anak berada dalam masa wiraga, di mana anak-anak sedang tumbuh secara fisik dan banyak bergerak. Tengoklah bangunan SD kita, khususnya untuk kelas 1 dan 2 SD. Anak-anak dipaksa duduk manis tiga sampai empat jam, bahkan lebih di bangku yang berdesak-desakan. Di darah pinggiran kota dengan pemukiman padat tidak jarang bangku satu meter dipergunakan lebih dari tiga anak. Jelas situasi ini tidak saja tidak sehat, menghambat pertumbuhan fisik anak, tetapi juga berlawanan dengan kodrat anak.
Realitas masih hidupnya kultur kekerasan, korupsi, dan tindak kejahatan yang terjadi di sekolah kain menjauhkan kita dari keinginan untuk mewujudkan sekolah sehat. Lalu apakah mewujudkan sekolah sehati di Indonesia sesuatu yang utopis? Jawabannya tentu saja tidak. Kita bisa menemukan sekolah-sekolah yang cukup sehat ataupun benar-benar sehat. Sanggar Anak Alam (Salam) Jogja salah satu contohnya. Dan anehnya, ketika kita mencari contoh sekolah aman, sekolah ramah anak, sekolah inklusif, sekolah multikultural, sekolah antikorupsi, sekolah profil pelajar Pancasila, kita juga bisa merujuk ke Salam. []
- Bambang Wisudo, akivis Sekolah Tanpa Batas
Eks. Wartawan Harian Kompas. Direktur Sekolah Tanpa Batas.
Leave a Reply