Judul di atas kira-kira kalimat yang hendak ingin saya sampaikan kepada anak-anak didik yang sedang belajar di Sanggar Anak Alam (SALAM). Saya barangkali salah satu dari sekian banyak orang tua anak yang yakin bahwa di SALAM, anak-anak hebat belajar kemandirian, rasa percaya diri (self-confidence), menghargai teman (apreciative) atau empati, tanggung jawab dan solidaritas. Dengan begitu, saya jadi yakin dengan sepenuh hati bahwa anak-anak SALAM akan mampu survive di kemudian hari, di dunia kenyataan yang tak selalu simetris. Sepintas lalu, anak-anak SALAM sudah terlatih belajar dengan alam, dengan segala keterbatasan yang justru menginspirasi.
Saya pribadi selalu percaya bahwa “semua tempat adalah sekolah, dan semua orang dan keadaan adalah guru”, karenanya saya sangat gembira mendapatkan makluk hidup bernama SALAM. Bertemunya saya dengan SALAM ini adalah karena interaksi saya pribadi dengan salah satu volunteer SALAM tiga tahun lalu, juga bertemu dengan salah satu orang tua yang membatalkan anaknya sekolah di SALAM lantaran di tempat ini tak diajarkan ilmu agama di dalam kelas. Sementara istri saya yang jebolan pesantren menikmati buku “Sekolah Biasa Saja” yang ditulis oleh Toto Rahardjo. Walau demikian, saya tak lantas mencari tahu siapa pendiri sekolah ini karena hal yang terpenting dari saya adalah bahwa anak saya dapat belajar dengan menyenangkan dengan berbagai ambisinya dan ekspresinya. Itulah sebaik-baiknya kepentingan orang tua yang dititiktekankan pada hal terbaik bagi anak-anaknya.
Beberapa tahun sebelumnya, karena alasan saya yang terlibat dalam aktifisme sosial dalam bidang literasi yang juga tak terpisahkan dari upaya belajar bersama anak-anak di pedesaan, saya pun membacai buku-buku karya Munif Chatib yaitu sekolahnya manusia yang sangat menarik buat saya, tapi saya masih bertanya-tanya adalah sekolah itu mampu menjadi rumah yang manusiawi? Di mana saya mendapatkan model pembelajaran demikian? Saya bahkan sangat kecewa dengan pendidikan PAUD atau TK ber-merk dagang “Islam” yang beberapa kali meneror anak saya sebagai anak yang ketinggalan teman-teman dikarenakan anak-anak lain sudah mampu membaca dan berhitung serta ‘tertib belajar’ di ruang kelas yang sempit.
Anak-anak adalah istimewa. “semua anak itu spesial”, kata Ibu Wahya yang pernah saya dengar sendiri ketika sharing dengan beberapa orang tua. Kalimat yang sama juga pernah didapatai istri saya ketika berkonsultasi dengan seorang fasilitator di SALAM mengenai Hafiz, anak yang kuat walau sedikit manja dengan gurunya. Barangkali kemanjaan anak ini dikarenakan di sekolah sebelumnya dia tak cukup mendapati gizi kasih sayang. Bisa juga orang tuanya yang terlalu sibuk mengurus anak-anak orang lain di sekolah atau di komunitasnya. Saya yang bergiat di dunia gerakan literasi (Rumah Baca Komunitas), sedikitpun tak tersinggung atau marah lantaran anak saya terlambat bisa membaca. Saya sendiri yang pernah kuliah Master ilmu politik dua kali di dalam dan luar negeri dulunya baru bisa membaca baru usia 11 tahun atau kelas empat madrasah (SD). Jadi, ya biasa-biasa saja. Mungkin juga orang tua SALAM lainnya akan melihat ini sebagai sesuatu yang tak perlu direspon berlebihan.
Keluar dari Tempurung
Janganlah di zaman ini ada orang tua anak yang merasa memiliki anak baik jasad, akal maupun bathinnya. Anak-anak itu bukanlah milik orang tua. Anak-anak itu harusnya kita perlakukan sebagai pemilik masa depan yang kita sama sekali tak akan melewati masa-masa itu. Maka orang tua haruslah berfikir futuristik dan meninggalkan model orang tua yang ownership kelas berat sampai-sampai kehadiran anak dijadikan alat bargaining sosial kepada orang atau lembaga tertentu.
Salah satu alasan yang didasarkan pada pengalaman hidup saya mengapa mengirimkan anak saya ke SALAM adalah karena saya merasa menjadi korban dari terror pendidikan dasar di sekolah formal. Karena saya lambat membaca dan berhitung berkali-kali saya dihukum di depan kelas dan juga dipukul guru kelas. Saya tak suka mengerjakan PR hingga kelas 6 SD. Itu pengalaman getir yang tak boleh saya wariskan untuk anak saya. Lagian, zaman sudah berubah. Guru tak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan kemajuan seseorang. Iya bukan?
Untuk menghasilkan anak dengan kesadaran kritis, hal pertama yang harus dilakukan orang tua adalah keluar dari tempurung. Lari dari disiplin hidup yang serba seragam dan konvensional. Bagaimana mungkin, orang tua yang paradigmanya masih tengkurap di dalam tempurung dapat mendorong anak-anak tumbuh sebagai manusia bebas, mandiri, dan punya solidaritas yang kuat di dalam kehidupannya? Bagaimana mungkin orang tua yang egois yang membangun standar kemajuan untuk anak-ananya dalam perspektif dirinya (merasa benar) dapat mengilhami anak-anak melampaui keterbatasannya dengan ide-ide brilian yang ada di otaknya? Bagaimana mungkin orang tua yang masih berfikir bahwa sekolah adalah cara terbaik untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang baik di masa depan dapat menjadikan anak-anak berfikir merdeka dan juara untuk menghadapi kenyataan hidupnya sendiri?
Di SALAM, sejak kelas satu, anak-anak mulai dikenalkan ‘tradisi riset’ dengan caranya sendiri, memilih apa yang menjadi passion untuk diketahui. Walau tak menjamin ini sebagai metode mutakhir pembelajaran, setidaknya anak-anak tidak dipenjarahkan kreatifitasnya dan keingintahuannya. Di SALAM, “keingintahuan adalah guru” dan segala sesuatu dapat diciptakan sebagai metode untuk menjawab rasa penasaran anak-anak untuk mengetahui banyak hal.
Sekolah Biasa Saja
“Anak-anak adalah pemikir kritis yang akan mengajarkan Anda banyak hal berkat rasa keingintahuan alamiah mereka.”
Anak anak hebat itu tidak ditumbuhkan dari kekuatan fasilitas yang mahal, juga tidak ditumbuhkan dari kebesaran jargon keren yang dimiliki sekolah. Jadi justru dengan merk dagang sekolah biasa saja itu dapat membentuk pola pikir kritis baik anak didik maupun orang tua untuk menjadikan situasi pembelajaran menjadi bermakna. Apalah arti ilmu setinggi langit tetapi buta terhadap realitas faktual di sekelilingnya.
Selama ini, sebagian besar orang tua yang saya kenal cenderung mendorong anaknya untuk berprestasi di dunia akademik khususnya dua mata pelajaran ini: Bahasa Asing dan Matematika. Padahal melatih anak berfikir kritis baik malalui kegiatan menulis atau ber komunitas sangatlah penting. Menulis itu tak hanya diperuntukkan bagi anak yang bercita-cita menjadi penulis. Dengan menulis, anak belajar berpikir kritis, peka terhadap dunia luar, dan belajar berpikit sistematis.
Syukurlah, belakangan paradigma tersebut mulai berubah. Orang tua mulai tergelitik untuk mendorong anaknya belajar secara mandiri dan tak tergantung pada sekolah (otodidak). Situasi ini akan mendorong lahirnya generasi baru yang kuat, berdedikasi, antusias, tidak manja, dan penuh tanggung jawab. Untunglah kekuatan ini telah diukir dalam tembok SALAM sebagai nilai-nilai dasar kehidupan yaitu “menjaga diri sendiri, menjaga teman, dan menjaga lingkungan.” Dengan daya tahan di dalam menjaga etos interaksi tesebut tentu saja anak-anak SALAM adalah anak-anak hebat di zamannya, dan mereka hari ini sedang menempa diri sendiri (ditemani fasilitator dan orang tua) menjadi pribadi unggul dan berdaya tahan baja. Karenanya anak-anak SALAM bukanlah termasuk anak-anak yang disebut Ben Anderson sebagai anak-anak yang puas hidup di dalam tempurung seperti halnya katak.
Maka satu pekikan di hari kemerdekaan ini yang aku persembahkan untuk anak SALAM adalah: Anak-anak hebat (SALAM), bersatulah!
Orang tua sekaligus murid SALAM. Penggiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Penggiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas.
Leave a Reply