mengalihaksarakan/meng·a·lih·ak·sa·ra·kan/ v melakukan alih aksara (dari aksara yang satu keaksara lain); melakukan transliterasi; pengalihaksara/peng·a·lih·ak·sa·ra/ n orang yang pekerjaannya melakukan alih aksara; pengalihaksaraan/peng·a·lih·ak·sa·ra·an/ n proses, cara, perbuatan mengalihaksarakan …
Filsafat keaksaraan memandang hekekat keaksaraan sebagai instrumental yang sangat terkait dengan peradaban manusia berupa kemampuan baca tulis sebagai induk bahasa yang digunakan oleh setiap bangsa didunia.
Misalnya, dalam Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak.
Asal usul riwayat dari Aksara Jawa ini sendiri berkaitan dengan kisah Aji Saka untuk mengabadikan dua abdi setianya yang bernama Dora dan Sembada yang mati bertempur demi memperebutkan pusaka sakti milik Aji Saka. Dora ikut serta bersama Aji Saka, sementara Sembada tetap ditempat menjaga pusaka sakti. Kedua orang ini melakukan perjalanan ke Kerajaan Medhangkamulan yang dipimpin Prabu Dewata Cengkar demi menghentikan kebiasaannya yang suka makan daging manusia. Pada akhirnya, Aji Saka berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar dan diangkatlah ia menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan. Sejak saat itu, Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh Aji Saka, seorang raja yang arif dan bijaksana. Tiba-tiba, Aji Saka teringat akan pusaka saktinya, dan menyuruh Dora untuk mengambilnya. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka itu, karena teringat pesan Aji Saka. Maka terjadilah pertarungan yang hebat diantara Dora dan Sembada. Karena memiliki ilmu dan kesaktian yang seimbang, maka meninggallah Dora dan Sembada secara bersamaan.
Aji Saka yang teringat akan pesannya kepada Sembada, segera menyusul. Namun terlambat, karena sesampai di sana, kedua abdinya yang sangat setia itu sudah meninggal dunia. Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya dalam sebuah Aksara/Huruf :
Ha Na Ca Ra Ka (Ono utusan = Ada utusan)
Da Ta Sa Wa La (Padha kekerengan = Saling berkelahi)
Pa Da Ja Ya Nya (Padha digdayane = Sama-sama saktinya)
Ma Ga Ba Tha Nga (Padha nyunggi bathange = Saling berpangku saat meninggal)
Aksara Jawa yang kita kenal saat ini ternyata memiliki makna filosofis. Kenapa Ajisaka sampai menyesal atas kematian dua orang abdinya tersebut, kemudian menciptakan sajak yang menjadi cikal bakal Aksara jawa? Sebagai manusia Ajisaka pasti pernah melakukan kesalahan dan salah satunya adalah saat ia memerintahkan seorang abdi bernama Dora untuk mengambil keris yang sengaja ia titipkan kepada Sembada, padahal sebelumnya Ajisaka telah berpesan kepada Sembada untuk tidak memberikan keris tersebut kepada orang lain selain Ajisaka Sendiri. Pertempuran antara Dora dan Sembada untuk memperebutkan keris tersebut tak bisa dihindarkan dan akhirnya berujung pada kematian keduanya.
Kisah tersebut tercermin dalam arti dari tiap-tiap bait aksara Jawa yaitu hana caraka artinya ada utusan, data sawala artinya mereka bertengkar, padha Jayanya artinya sama-sama kuat, sedangkan maga bathanga berarti sama-sama mati. Makna yang tersirat dibalik kisah tersebut adalah kiasan tentang orang-orang kecil yang selalu menjadi korban kekhilafan penguasa.
Orang-orang Indonesia di zaman dulu lebih suka memberitakan sesuatu dalam bentuk lisan atau kiasan daripada tulisan, itulah sebabnya mengapa candi-candi di Indonesia banyak menampilkan gambar-gambar relief karena lebih mudah dipahami daripada bentuk tulisan.
Tak heran jika asal-usul aksara Jawa beredar dalam bentuk legenda Ajisaka, kebenaran tentang cerita Ajisaka pun sulit dibuktikan. Tapi jika melihat perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia, penggunaan aksara Jawa mulai populer sejak zaman Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung.
Dalam AKSARA terkandung aspek-aspek sbb:
Ideologi Keaksaraan, Model Keaksaraan Teks Lokal (keaksaraan otonomi ) Model Keaksaraan Ideologis Model Keaksaraan Fungsional Model Keaksaraan Kritis Model Keaksaraan Budaya Model Kekasaraan Kelangsungan Hidup Model Keaksaraa Politis Keaksaraan Spiritual Keaksaraan Perempuan Keaksaraan Keluarga Keaksaraan Kontekstual Keaksaraan Fungsional
Huruf LATIN
Dicetuskan oleh UNESCO, awalnya bertujuan untuk menjadikan warga belajar buta aksara LATIN mampu berfungsi sesuai dengan budayanya sendiri. Ada perubahan pikiran, keaksaraan fungsional menjadi lebih dikaitkan dengan ekonomi, sehingga tujuan akhirnya sasaran didik mampu berfungsi dalam kehidupan ekonomi. Dasar Pelaksanaan Program Pendidikan Keaksaraan UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003. Komitmen masyarakat Internasional melalui Menteri Pendidikan, di Jomtien Thailand tahun 1990, yang menyepakati dasar berpijak : World Educational For All. Rencana Aksi Dakar, yang diselenggarakan di Senegal tahun 2000, berisi ujuan dan tekad negara peserta dan komunitas Internasional untuk mencapai pendidikan dasar yang bermutu.
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply