Barangkali sudah menjadi kesepakatan tak tertulis kalau tidak dibilang “tak terpikirkan”, mengenai pembatasan obrolan seputar agama berikut cabang-cabang bahasannya. Paling banter saling mengucapkan di hari raya, atau mungkin mengingatkan kebiasaan yang berhubungan dengan ibadah harian. Selebihnya, seperti bagaimana orang tua mendampingi anak-anak di rumah mengenal dan menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing, seakan menjadi misteri. Belum lagi jika ada dalam sebuah keluarga yang berbeda agama. Saya sendiri sering bertanya dalam hati, bagaimana ya keluarga A atau B mendidik anak-anak beriman dan bertakwa seperti harapan keluarga, bangsa dan negara. Haruskah saya bertanya langsung? Ah sepertinya tidak sopan, agama bukan urusan yang mudah diperbincangkan saat ini, berbeda dengan yang saya alami di masa kecil. Urusi urusanmu sendiri saja lah, kata hati pada akhirnya.
Suatu hari ada kawan bertanya lewat pesan masuk di Facebook, “Mbak di Salam pelajaran agamanya gimana? Kalo dari kecil TK-SD ga sekolah di sekolah yang agamis, terus ngajarin agamanya gimana?”
Nah lho..menarik ini!
“Ga ada pelajaran agama, semua dikembalikan ke keluarga masing-masing. Orang tua sebagai pendidik pertama dan terutama,” jawab saya yang rasa-rasanya cukup meliputi, meliputi kegundahan pula pastinya, untuk kawan saya ini, sehingga perlu bertanya banyak hal lagi berikutnya. Dalam diskusi kami, saya ceritakan bagaimana saya mengenalkan agama kepada anak saya. “Nek aku lho ya, ngajarin agama tuh ga sekadar ngajarin atau hafal alkitab, tapi lebih ke nilai-nilai kemanusiaan yang dianut sesuai agama. Misal, karena aku Katolik, yang ajaran intinya cinta kasih, nah membangunnya dari pergaulan atau aktivitas sehari-hari aja. Lalu baru dikaitkan ke kitab suci juga bisa. Dulu anakku takikutkan sekolah minggu juga, tapi malah ga cocok, lebih pilih ikut misa. Aku juga ngajari berdoa secara spontan, bukan cuma doa-doa hafalan. Ya ga muluk-muluk sih sebenarnya,” jawab saya waktu itu. Banyak sekali saya sebutkan kepadanya, namun bukan itu yang saya utamakan dalam mendampingi iman anak saya. Itu baru hal-hal di luar, lebih terkait ritual, belum esensial dan kontekstual. Anak saya, Gara, bisa hafal doa Bapa Kami misalnya, itu merupakan bonus bagi saya karena saya tidak pernah memintanya menghafal, hanya rutin mengajaknya ikut pertemuan seperti latihan koor dan sembahyangan, lalu dia hafal dengan sendirinya. Bagi saya, anak mau hafal 1000 doa, itu tidak ada nilainya, jika dia tidak bisa menjadi pribadi welas asih seperti nilai-nilai yang kami imani bersama.
Saya mungkin kurang pandai menyampaikan maksud dari pengalaman saya, namun apa-apa yang telah saya ceritakan di atas secara indah dan pantas direnungkan, sebenarnya tersarikan dalam tulisan Romo Mangun dalam bukunya Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak (Penerbit Buku Kompas/ 2020/ Cetakan pertama oleh Gramedia-1986), demikian saya kutip:
“Agama laksana daun-daun kelopak bunga bahkan madu yang indah sedap, tetapi religiositas bagaikan sari bunganya yang mengandung kehidupan. Kedua-duanya penting, tetapi kehidupan dan penghidupan toh yang paling menentukan. Dan kita boleh berkata dengan aman bahwa pada akhirnya Tuhan menilai manusia bukan atas dasar fakta kita memeluk formal agama mana, melainkan pada kualitas religiositas kita masing-masing (hal.15)”
Lalu apa sebenarnya religiositas ini sehingga boleh kita anggap lebih urgent untuk diperjuangkan dalam kehidupan? Untuk menjawabnya maka sebaiknya pembaca khususnya para orang tua membaca buku apik tersebut, sebab ingin sekali saya menuliskan semua kutipan yang berarti, rasa-rasanya semua kalimat yang tersusun tak dapat dipisahkan untuk memperoleh pemahaman yang utuh. Untuk itu saya hanya memilih beberapa yang bagi saya sangat mengena.
Untuk memberi kelegaan di awal dalam mempermudah pemahaman religiositas, saya pilih sebuah kutipan:
“Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan religius anak-anak tak bisa lain, harus mulai dari orang tuanya, wali, atau mereka yang dalam pertumbuhannya paling dekat dengan si anak itu. Itu tidak berarti bahwa orang tua harus bergaya kiai atau pendeta (hal.19)”
“Begitulah Tuhan telah menggariskan bahwa demi si anak (tetapi juga demi orang tuanya) si manusia mungil yang lemah dalam segala hal itu benar-benar dipercayakan kepada orang tuanya. Artinya, Tuhan mewahyukan diri-Nya pertama-tama melalui orang tuanya. Dan baru sesudah itulah kepada para guru; guru keterampilan segi materiil, mental dan spiritual yang dibutuhkan setiap orang untuk bertahan hidup biologis maupun sosial. Termasuk segi religiositas serta keagamaan, kebaktiannya terhadap Tuhan, namun juga kerukunan selarasnya dengan sesama manusia. Melalui dialog yang berkesinambungan terus. Jadi, dialog dengan orang tua, wali, kakak atau mereka yang paling dekat sehari-hari dengan si anak inilah yang primer. Bukan pengajaran kurikulum agama, mata pelajaran agama di sekolah atau di fakultas kelak (hal.47)”
Dari kedua kutipan di atas, sepertinya sangat jelas bagi kita untuk menjawab apakah pelajaran agama wajib diajarkan di sekolah, di Salam khususnya. Salam yang memegang prinsip-prinsip inklusi meskipun tidak memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusif, menerima siapa saja apa adanya. Seperti kata Pak Toto dalam buku Sekolah Apa Ini?–“Mau Islam radikal, mau ateis liberal, mau LGBT, ya kita terima apa adanya sebagai manusia. Kami hanya sekolah yang memanusiakan manusia.” (Insist Press/ 2019/ Hal.78). Meskipun tidak ada pelajaran agama di SALAM, namun prinsip-prinsip religiositas tetap diutamakan, berporos pada penghargaan terhadap bumi dan sesama manusia.
Apakah tidak ada doa di SALAM? Ya ada tentunya, secara umum dengan bahasa yang umum pula, seperti ketika membuka dan menutup pelajaran, doa makan dan doa untuk anak yang berulang tahun. Berdoa semestinya bisa menjadi sarana menumbuhkembangkan kebersamaan pula, tak perlu berpanjang-panjang dengan bahasa indah-indah, cukup rasa syukur sederhana yang diungkapkan anak bersama fasilitator, dengan cara yang alami namun karena terbiasa sehingga menjadi ucapan syukur spontan yang penuh makna. Saya sebagai orang tua Salam sungguh sadar sepenuhnya dan bersepakat dengan cara-cara yang diambil untuk mewujudkan religiositas seperti yang diungkapkan Romo Mangun maupun Pak Toto tadi.
Apa hanya berdoa cara untuk menumbuhkembangkan religiositas dalam diri anak? Tentu tidak. Romo Mangun memberi penjelasan di Bab 2 bukunya bahwa ada 4 hal yang bisa menjadi “tanah tumbuh” sikap religius. Tanah tumbuh ini pun saya temukan dalam keseharian di Salam, sejak bergabung 3 tahun yang lalu. Pendidikan religius anak harus dimulai dengan pendidikan menghargai serta bertanggung jawab terhadap hal-hal sehari-hari yang seakan-akan tak berarti atau tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan rohani. Bagaimana bila ada tetangga yang sakit, atau hal yang lebih sederhana dalam bermain bola misalnya, ini merupakan jalan masuk pendidikan religius. Anak juga dibiarkan untuk kagum dan terus bertanya. Anak akan belajar mengidentifikasi banyak hal, kata-kata sifat yang muncul dari pengamatan kesehariannya (indah, luhur, nakal, damai dll.) kemudian menghayatinya. Sejauh yang saya amati, anak saya bisa mengajukan berbagai pertanyaan, yang konyol sekalipun, dan tidak perlu takut untuk dicap sebagai pertanyaan aneh. Anak saya lebih tertarik mengamati sesuatu di selokan, padahal sedang berlangsung kegiatan bersama di kelas, fasilitator mengatakan tidak masalah, mereka bergantian mengikuti kemauan anak lalu mengimbangi dengan pertanyaan atau tantangan sehingga anak pun merasa dihargai saat menjadi “berbeda”.
Sementara selama pandemi sejak tahun lalu, pembelajaran lebih banyak dilakukan di rumah atau secara daring, pendidikan agama serta religiositas pun mendapatkan tantangannya. Bisa juga dianggap sebagai kendala kalau kita melemahkan diri. Apa bisa semua ini berjalan dengan baik, serasi, selaras dan seimbang? Tampak sebagai sesuatu yang ideal dan hampir mustahil bukan? Mau ke tempat ibadah saja ada aturan ketat, bahkan kalau di lingkungan saya, perlu undangan untuk bisa ke gereja, belum lagi standar prokes lainnya. Saya sendiri tidak bisa meresapi misa daring di rumah. Terasa hampa dan berbeda, hanya melihat dari televisi atau streaming di Youtube. Jujur saya tidak mengikuti misa-misa itu setiap minggu bahkan setiap hari meskipun banyak grup WA rajin sangat mengirimkan tautan-tautan misa atau konten rohani dari berbagai daerah di dalam atau luar negeri. Saya juga tidak rutin membaca kitab suci. Apalagi anak saya, jelas tidak bisa menghayati misa daring semacam ini. Malah ngantuk dan bosan bahkan mengambil cemilan. Ya ampun!
Terasa “berdosa” kadang-kadang mengingat apa yang sudah kami lakukan selama ini, apalagi kalau membaca buku Cinta Yang Berpikir karangan Charlotte Mason. Beliau menjelaskan bahwa kitab suci adalah menu utama. Di usia sekolah, kesan awal anak tentang agama itu perlu diperkuat dengan pemahaman terhadap kitab suci, sehingga beliau menjadikan beberapa kegiatan seperti menghafal ayat kitab suci, studi geografis dan budaya (terkait kitab suci) serta studi himne dan lukisan (terkait tradisi agama) menjadi kegiatan penunjang pendidikan agama.
Ahhh…saya lebih memilih mencari benang merah ajaran Charlotte Mason atau dikenal dengan metode homeschooling CM ini, dengan ajaran Romo Mangun serta pendiri Salam yaitu Pak Toto dan Bu Wahya, supaya rada adhem pikiran dan hati saya. Ketemulah kutipan berikut ini: “Hikmah dari Kitab Suci yang disampaikan pada momen inspiratif akan melekat seterusnya di hati anak ketimbang kuliah-kuliah yang panjang dan menjemukan. Biarkan anak membangun fondasi keberagamannya lewat pengalaman sehari-hari bersama keluarga. Ibadah rutin harian, percakapan sehari-hari tentang Tuhan dan ajaran-ajarannya, ritual keagamaan yang dijalankan dalam keluarga, sampai ucapan syukur kepada Tuhan yang terlontar spontan dari mulut ayah atau ibunya, semua membentuk cara anak mempersepsi Tuhan dan sikap religiusnya.” (Cinta yang Berpikir/ Ein Institute/ 2016/ Hal.108)
Setelah mencari berbagai sumber yang lebih bersifat konsep atau pandangan tentang religiositas, saya juga berusaha mencari tahu lagi bagaimana religiositas ini jika dijalankan secara praktis di sekolah. Romo Mangun di sumber buku lain yang menceritakan kurikulum pendidikan di Sekolah Mangunan, juga mengatakan bahwa Komunikasi Iman dibuat untuk menggantikan pelajaran Agama dan PKN. Komunikasi Iman lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pelajarannya bersumber dari pengalaman kehidupan sehari-hari karena diharapkan anak dapat melatih mencermati iman dalam keseharian mereka. Praktiknya salah satunya dengan metode diskusi. Guru diminta mencari persamaan-persamaan yang mempersatukan anak di dalam kelas namun tetap mengakui adanya perbedaan. Bahan diskusi bisa macam-macam, salah satu contohnya adalah kasus-kasus dalam lingkungan rumah seperti kasus kakak-adik. Namun Romo Mangun menekankan agar guru tidak serta merta memberi kuliah atau penataran, belum-belum sudah memberi pedoman-pedoman. Sebaiknya anak dibiarkan dulu dalam perbincangan bebas, saling berbagi perasaan atau pengalaman, kemudian ada niat memperbaiki diri, membangun niat menggembirakan kawan lain dan sebagainya (Buku Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional/ Kanisius/ 2012/ Hal.168).
Beruntung saya pernah memiliki pengalaman serupa metode di atas waktu SMA. Di sekolah saya tidak ada pelajaran agama tetapi ada pelajaran religiositas. Semua murid dibiasakan untuk saling menghargai perbedaan, hanya saja doa-doa yang dilakukan masih bernafaskan agama Katolik karena sekolah saya merupakan sekolah Katolik. Murid beragama lain dipersilakan berdoa sesuai agama masing-masing. Hal yang paling membekas adalah pengalaman saat kelas 2 SMA, guru memberi penugasan dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat. Kegiatan dilakukan 8 kali dengan tempat belajar bebas pilihan kelompok. Waktu itu kelompok saya memilih kegiatan pengabdian di masjid dekat sekolah, gereja dan di sebuah kampung. Pas sekali di kelompok saya ada yang Muslim dan Katolik. Kami melakukan bersih-bersih area masjid dan gereja. Kami ikut membuat lampion di masjid saat ada kegiatan menyambut sebuah peringatan. Kami bahkan juga mendapat “kuliah pendek” berisi petuah-petuah kehidupan setiap selesai melakukan kegiatan pengabdian di masjid, dan pengurus masjid sangat terbuka terhadap kami, meskipun kami berenam perempuan semua. Saya tidak tahu apakah sekarang masih bisa kita “berdialog” seperti ini untuk saling memahami bukan merasa paling benar. Yang pasti saya yakinkan pada anak saya, dia boleh ingin tahu masjid atau tempat ibadah lainnya, namun tetap dalam koridor pengetahuan dan upaya penghargaan atas perbedaan dengan sesama teman, bukan untuk merendahkan.
Apa yang sebenarnya ingin saya katakan dalam tulisan ini adalah, (selain bersiap-siap jika ada kawan bertanya lagi tentang pelajaran agama di Salam) saya sedang memperingatkan diri sendiri yang terlena dalam mendampingi kehidupan religius anak saya. Saya banyak membiarkan anak saya alih-alih mengajaknya berdialog lebih intens dan mendalam. Sibuk meratapi diri dan masalah sehari-hari menjadi alasan utama yang saya buat-buat. Padahal kembali di awal tadi, secara teori saya paham 10.000 persen bahwa anak tanggung jawab orang tua. Padahal banyak sekali yang dapat dibicarakan atau minimal dikomentari, dikaitkan dengan hubungan antarmanusia dan manusia dengan Tuhan. Saya sering merasa anak terlalu banyak bertanya dan saya terlalu malas menjawab. Kemudian buku-buku yang telah saya sebutkan di atas menjadi pengingat yang mudah-mudahan juga menjadi pencerah untuk kawan-kawan orang tua lainnya. Mari berdialog kembali jangan sampai putus, sebab Romo Mangun mengingatkan, “Anak membutuhkan dialog terus menerus dengan orang tua. Baik itu mengenai uang sekolah, pakaian, rencana piknik, maupun mengenai hal-hal yang lebih pelik dan rumit: soal calon jodol misalnya, soal pandangan serta perubahan zaman.” (Menumbuhkan Sikap Religius Anak/ Hal.35).
Oh ya mumpung saya ingat, alangkah baiknya dalam pertemuan kelas maupun forum-forum daring lainnya di Salam, forum dibuka dan ditutup dengan berdoa bersama, karena sepertinya sering terlupa, padahal itu (salah satu) yang bisa menyatukan kita. Dan kekuatan doa, menjadi salah satu obat paling mujarab penyembuh jiwa yang terluka karena pandemi tak kunjung da da da da.
“Dengan demikian bagi anak hidup beragama dan hidup religius harus berkesan, bukanlah suatu dunia serba sesak sempit dengan keharusan dan larangan, melainkan suatu acara istimewa yang menggembirakan. Demikianlah citra Tuhan dan agama dapat semakin diterima serta dihayati selaku sumber inspirasi serta jalan amal juga yang menggembirakan.” (Y.B. Mangunwijaya)
Orang Tua Siswa SALAM
Leave a Reply