Blog

Merebak Bunga di Sorga

Mas Yon pernah bercerita tentang asal usul lagu “Bunga di Tepi Jalan” yang ia rangkai di Yogya. Kisah “teknis”nya biarlah kita “pendhem jero”, dikubur dalam-dalam. Menjadi aurat sejarah. Tetapi maknanya bisa kita genggam jadi “jimat” di tengah ZamanNow yang penghuninya semakin banyak yang menjelma jadi “jrangkong”, tulang belulang yang kaku, kasar dan mudah melukai: di wilayah apapun, dari politik kekuasaan, pecah-belah kebudayaan, bahkan-pun di wilayah ketuhanan dan peribadatan.

Koes Plus

“Jimat” dari Mas Yon yang dari lagu 1969 itu misalnya adalah kemuliaan menghijrahkan, mengangkat dan menjunjung bunga yang tergolek di tepi jalan. Lebih mulia lagi karena helai bunga itu bukan sekedar dipindah ke tempat lain yang lebih aman dari kaki-kaki manusia yang sewaktu-waktu bisa menginjaknya tanpa rasa bersalah, sebagaimana tradisi nasional di ZamanNow. Melainkan “biarlah kan kuambil, penghias rumahku”. Dimuliakan oleh Mas Yon, ditinggikan derajatnya dari tepi jalan menjadi “mereka adalah hiasan bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka”. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”. Dan Mas Yon, juga Mas Tony, Mas Nomo dan Mas Yok telah menjalani hidup lebih tigaperempat abad untuk menikmati “amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.

Bahkan putra-putra nasab Koeswoyo yang penuh fadhilah Allah ini tidak lalai, tidak hidup bermewah-mewah bermegah-megah: “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga…”. Tengoklah husnul khatimah Tony Koeswoyo: “Andaikan Kau datang kemari, jawaban apa yang kan kuberi. Adakah jalan yang kutemui, untuk kita kembali lagi”. Sampai akhir hayat mas Tony taka da Ustadz yang menguraikan kepadanya formasi, sistem dan managemen jalan hidup: Sabil, Syari’, Thariq dan Shirath.

Setiap kali mbrabak kangen kepada Mas Tony, saya putar lagu mas Tony yang dinyanyikan oleh Mas Yon: “Kunyalakan api di dalam tungku. Dingin sekali malam itu. Namun jauh dingin dalam hidupku, sejak cintamu telah berlalu….Pernahkah kau coba untuk mengerti, aku ini orang yang tiada arti. Kudengar lolongan anjing di malam hari, menunggu kesepian di dalam hatiku. Waktu hujan turun di malam itu, di bawah payung kuberlindung. Sederas hujannya airmataku, sejak kau putuskan hatimu…”

Andaikan siapapun yang mendengarkan memiliki kedaulatan untuk berpikir dan kemandirian untuk berasosiasi makna dan konteks, dan tidak berhenti pada “madzhab baku” tanpa ijtihad. Banyak di antara masyarakat salah paham terhadap siapa dan di mana alamat spiritual keluarga Koeswoyo. Saya menghibur diri dengan memutar kembali suara sangat lembut, murni dan tulus Mas Yok yang melagukan “Al-Fatihah”, serta canthas-nya vocal Mas Nomo yang menyebarkan “Piweling” Walisongo.

Tetapi, ah, apakah Indonesia ZamanNow memerlukan yang begitu-begitu. Ia pikir Yon Koeswoyo hanyalah “seseorang”. Bapaknya, kakak-kakak dan adiknya hanya “penyanyi”, itupun tidak benar-benar mengerti “penyanyi” itu apa. Kalau keluarga Koes adalah kebun keindahan, pohon-pohon kelapa sempurna berdiri di sana sini, diambil seteguk santannya saja: maka dari kelezatannya kutuliskan minimal 10 tulisan, meskipun seharusnya 100 dan senyatanya 1000. Bahkan dengan karya lebih dari 1000 lagu mereka – aku mengalah paling tidak lahir 10 Doktor dari karya dan kehidupan mereka.

Tetapi apalah dunia pra-Jahiliyah ini. Apalagi Indonesia “Amenangi ZamanNow”. Apalah artinya itu semua buat Mas Yon, bunga yang kini merebak di Sorga. Fa idza faraghta fanshab, wa ila Robbika farghab.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *