Blog

“Mengurung” Anak Sehari Penuh di Sekolah

Wacana sekolah delapan jam (full day school) bagi Warga SALAM  tidak menjadi pemikiran yang serius. Sudah Selesai. Yang penting menjadi pertanyaan yakni 8 jam itu mau ngapain? Mari ikuti ulasan Kumparan

Delapan jam. Selama itulah putra-putri anda kemungkinan akan menghabiskan waktu di sekolah mulai Juli 2017, bertepatan dengan mulainya tahun ajaran baru 2017/2018.

“Kami rencanakan (8 jam di sekolah) mulai berlaku Juli. Sabtu-Minggu libur, bisa digunakan untuk kumpul bersama keluarga dan berwisata,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sumarna Surapranatayang, di Makassar, Sulawesi Selatan, awal Juni, seperti dilansir Antara.

Rencana 8 jam di sekolah –yang kemudian lebih dikenal dengan istilah full day school meski Mendikbud Muhadjir Effendy memintanya tak disebut demikian– langsung menuai reaksi ramai di tengah masyarakat, termasuk netizen. Ada yang pro, banyak pula yang kontra.

“Delapan jam kok kayak kerja aja ya,” ujar seorang netizen, membandingkan aturan baru itu dengan waktu kerja para pekerja yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Kebijakan 8 jam di sekolah diyakini Sumarna akan dapat diadopdsi dengan baik oleh sekolah-sekolah di Indonesia.

“Sekarang kan ada sekolah swasta yang sudah menjalankan (kebijakan itu). Ke depan, seluruh sekolah akan melaksanakannya dengan menyesuaikan fasilitas kantin atau ruang salat,” ujar Sumarna.

[Baca juga: 11 Pasal Peraturan Mendikbud tentang Full Day School]

Fasilitas layak di tiap sekolah memang otomatis langsung menjadi perhatian para orang tua, jika 8 jam di sekolah jadi diterapkan.

“Saya membayangkan sekolah-sekolah punya ruang makan yang bersih dan luas, serta dapur yang higienis sebagai hardware-nya; dan terdapat sistem antrean yang tertib, kesadaran berdoa, kebiasaan membersihkan alat makan dan membuang sisa makanan pada tempatnya sebagai software-nya,” ujar seorang ayah dua orang anak, Victor Pradhitama, dalam akun Facebook-nya.

Lelaki yang kini tinggal di Jakarta itu melanjutkan, “Saya membayangkan pula lapangan bola, atau futsal sajalah, di halaman sekolah, atau setengah lapangan basket, tenis, badminton atau jogging track sederhana, atau tanah lapang berumput begitu saja di sekolah sebagai hardware-nya; dan kebebasan siswa memilih aktivitas olahraga dan menjalaninya dengan riang gembira sebagai software-nya.”

“Saya membayangkan guru-guru yang berbahagia tinggal di sekolah lebih lama, bermain dan berkreasi bersama para siswa, berbincang di kebun sambil bercanda sekaligus menunjukkan teknik dasar bertani –satu aktivitas yang katanya dulu membuat bangsa kita jaya,” kata Victor.

Bila bayangannya itu ternyata sekadar bayangan yang tak mewujud nyata, Victor berkata, “Biarlah kedua anak saya sekolah biasa saja, ndak usah penuh seharian.”

[Baca juga: Pendidikan Indonesia, Tersengal Mengejar Negara Tetangga di ASEAN]

Netizen lain, Mustofa Nahrawardaya yang anggota Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah, juga mencuitkan pendapat pribadinya via Twitter, “Full Day School sangat meringankan tugas ortu. Tapi jangan kemudian menganggap (sekolah) sebagai tempat penitipan anak, loh.”

Ucapan senada dilontarkan Mamat kepada Dewi, rekan kerjanya yang terlihat bingung menimbang baik-buruknya sistem full day school.

“Bukannya seharian di sekolah membantu orang tua ya, terutama para orang tua bekerja? Daripada si anak kelayapan atau main gak jelas,” kata dia.

Justru di situlah letak masalahnya. Dewi, yang anaknya akan masuk SD Juli nanti, menjawab, “Dari sisi itu memang betul. Tapi di sekolah 8 jam itu ngapain saja, ya? Anak-anak bosan atau tidak?”

Ia bertanya-tanya apakah kebijakan 8 jam di sekolah juga diterapkan untuk anak kelas 1 SD yang notabene baru masuk sehingga mesti beradaptasi dengan sejumlah mata pelajaran.

“Boro-boro 8 jam sekolah, meminta anak kelas 1 SD untuk lebih serius belajar saja mungkin sulit dan perlu waktu, karena di TK kan mereka lebih banyak bermain,” ujar Dewi.

[Baca juga: Buat Apa 8 Jam di Sekolah?]

Full day school sudah sejak tahun lalu digaungkan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, selang 10 hari setelah ia dilantik menjadi menteri menggantikan Anies Baswedan yang terkena perombakan kabinet jilid kedua.

“Dengan sistem full day school, anak didik akan terbangun karakternya. Tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja,” kata Muhadjir, 7 Agustus 2016.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu yakin, berkegiatan di sekolah jauh lebih baik ketimbang bengong sendirian di rumah ketika orang tua masih bekerja.

Gagasan full day school diperoleh Muhadjir dari sekolah-sekolah swasta yang biasa menerapkan sistem seharian di sekolah. Pada sekolah swasta, karena murid sudah menghabiskan waktu panjang di sekolah, mereka umumnya tak lagi dibebani pekerjaan rumah (PR).

Baca juga: Sistem Pendidikan Terbaik Dunia: Membandingkan Finlandia dan Singapura]

Wacana full day school pada 2016 itu surut setelah mendapat tentangan, namun belakangan disebut Kemdikbud akan diterapkan mulai Juli 2017.

Tapi jangan salah, ujar Muhadjir. Program 8 jam di sekolah ini berbeda dengan full day school. Sebab dari total 8 jam itu, tak seluruhnya digunakan untuk belajar. Di dalamnya, selain intrakurikuler (kegiatan dalam komponen kurikulum), dimasukkan pula program kokurikuler (kegiatan siswa yang berlangsung di sekolah) dan ekstrakurikuler (kegiatan siswa di luar kurikulum).

“Program kokurikuler dan ekstrakurikuler ini penunjang intrakurikuler untuk penguatan karakter. Jadi rentang 8 jam belajar jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari,” ujar Muhadjir.

Ia juga meminta program-program tambahan tersebut tak dilihat secara saklek, sebab sifatnya adalah pilihan. Tiap sekolah bebas memilih kegiatan apapun untuk murid mereka, sesuai kondisi dan potensi sekolah, siswa, serta daerah tersebut.

“Untuk Madrasah Diniyah, bisa ditekankan pada kegiatan agama. Untuk sekolah lain di daerah lain (dengan tradisi kental) pada seni, maka akan ditekankan di kegiatan kesenian,” kata menteri yang meraih gelar doktor bidang sosiologi militer di Universitas Airlangga itu.

[Baca juga: PBNU Minta Presiden Jokowi Batalkan Kebijakan Full Day School]

Muhadjir menambahkan, “Bahkan saya cenderung ingin mata pelajaran SD dan SMP dikurangi, tapi jumlah kegiatannya semakin banyak.”

Delapan jam di sekolah, ujarnya, merupakan bagian dari reformasi pendidikan. Ia pun meminta para guru kreatif mengembangkan metode untuk membangkitkan aktivitas, minat, dan semangat belajar pada murid mereka.

Sang menteri berpesan, jangan lagi menekankan pola mengajar model monolog atau berceramah pada murid. Tumbuhkan dialog atau interaksi dua arah untuk memancing keaktifan anak didik.

“Kalau pada tiap pelajaran gurunya yang ceramah, yang pintar gurunya, bukan muridnya,” kata Muhadjir.

Ia pun mendorong para guru untuk tak segan mengajak murid berkegiatan di luar ruangan, jika hal itu berguna dalam menunjang pembelajaran.

“Jika guru merasa perlu mengunjungi museum, perpustakaan, atau pasar, boleh saja mata pelajaran hari itu ditangguhkan ke hari berikutnya agar murid bisa fokus. Jadi sekolah harus dibikin luwes, fleksibel, tidak kaku,” ujar Muhadjir.

[Baca juga: Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Indonesia?]

Muhadjir mengatakan sistem 8 jam di sekolah sudah diuji coba pada beberapa sekolah, dan menjamin metode tersebut tak akan menambah beban murid.

Di sisi lain, kata dia, 8 jam di sekolah dapat mengurangi beban guru, sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang di dalamnya memuat beban kerja guru (yang PNS).

Pasal 52 ayat (2) PP tentang Guru menyebut beban kerja guru –yakni merencanakan, melaksanakan, dan menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan, serta membimbing dan melatih peserta didik– paling sedikit dalam seminggu memenuhi 24 jam tatap muka (4,8 jam sehari) dan paling banyak 40 jam (8 jam sehari).

Muhadjir menyatakan, kriteria penilaian terhadap kinerja guru selama ini dianggap tak sesuai dengan kondisi di lapangan.

“Tugas pokok guru tidak hanya mengajar di kelas 24 jam (seminggu). Banyak tugas pokok guru yang tak diakui. Jika kita kedepankan kinerja guru sebagaimana standar yang berlaku bagi ASN (aparatur sipil negara), maka sekolah harus menyesuaikan hari sekolah jadi 5 hari seperti 5 hari kerja,” kata dia.

Hal itu justru menimbulkan pertanyaan: 8 jam di sekolah sesungguhnya dirancang untuk kepentingan guru atau murid? Orang dewasa atau siswa-siswi? Atau keduanya?

[Baca juga: Full Day School Cegah Guru Nyambi Jadi Tukang Ojek]

Jawaban pedas disampaikan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti. Ia berpendapat, kebijakan 8 jam sekolah amat Jakarta-sentris.

“Kebijakan 8 jam di sekolah tak berorientasi pada anak, dan memukul rata tanpa melihat fakta kehidupan anak di Indonesia. Padahal Indonesia bukan Jakarta, dan Indonesia bukan hanya di kota,” kata Retno yang kini juga menjabat sebagai Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

[Baca juga: Jakarta Tak Masalah dengan Aturan Full Day School]

Kondisi di daerah, ujar Retno, jelas berbeda dengan kota-kota besar. Di banyak daerah, jamak ditemui murid-murid yang harus membantu orang tua mereka sepulang sekolah. Belum lagi anak butuh waktu bermain untuk teman-temannya di lingkungan rumah.

Ini misalnya dirasa betul oleh Rizky Sekar yang sejak kecil tak asing dengan full day school. Setiap harinya dulu di Surabaya, ia masuk pukul 07.00 pagi dan baru pulang pukul 17.00 sore. Sepuluh jam di sekolah. Luar biasa.

Hingga kini ia telah bekerja, Rizky masih ingat betul hal-hal yang “hilang” dalam hidupnya sebagai bocah. Ia tak pernah bermain gobak sodor atau benteng-bentengan dengan teman-teman sebaya di lingkungan rumahnya. Sampai sekarang pun, ujarnya, dia jadi tak kenal tetangga.

Selain itu, ia jadi tak dekat dengan keluarga, dan lebih memilih untuk bercerita kepada teman jika sedang memiliki masalah. Kondisi ini berlangsung sampai saat ini, ketika ia sudah dewasa.

Hal nyaris serupa dialami Wahyuni Sarah yang menghabiskan waktu sepanjang hari di sekolah. Hingga lulus kuliah dan kini bekerja, ia selalu ingat betapa kesal tak bisa bermain dengan kawan-kawan di sekitar rumahnya karena ia masih sekolah sementara yang lain sudah jam bebas.

“Di sekolah seharian itu membosankan. Sangat bosan. Mungkin aku menyesal sekolah di sana,” kata perempuan asal Aceh itu, Kamis (15/6).

[Baca juga: Murid Indonesia Sayang, Murid Kami Malang]

“Lamanya waktu belajar tak menentukan kualitas belajar,” tegas Retno. Ia menyatakan, FSGI menolak sistem 8 jam di sekolah itu.

Rekan Retno, Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh, mengatakan kondisi masing-masing anak berbeda sehingga tak dapat disamaratakan antara yang satu dengan lainnya. Ada yang cocok berkegiatan panjang di sekolah, ada pula yang tak senang terlalu lama di sekolah sehingga merasa jenuh, dan malah berpotensi mengancam tumbuh kembangnya.

“Dalam kondisi tertentu, anak tidak perlu lama-lama di sekolah. Ia perlu berinteraksi dengan orang tua guna menjalin kelekatan fisik dan emosional dengan keluarga. Terlebih untuk anak kelas 1 sampai 3 SD. Mereka perlu interaksi dengan teman di sekolah, teman di lingkungan rumah, dan keluarga di rumah,” kata dia.

[Baca juga: 10 Kali Gonta-ganti Kurikulum Pendidikan]

Hal lain yang harus jadi perhatian, kata Niam, adalah kasus kekerasan dan bullying yang cukup tinggi di sekolah selama lima tahun terakhir. Semua itu menunjukkan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia.

“Mewujudkan sekolah yang ramah anak jauh lebih penting daripada memanjangkan jam sekolah. Memanjangkan waktu sekolah tanpa menciptakan lingkungan ramah anak, justru memperbesar potensi kekerasan terhadap anak,” ujarnya.

Jadi, bagaimana menurut anda kebijakan 8 jam di sekolah ini?

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *