Blog

Bukan Zamannya Menghafal

Sejak awal SALAM meyakini adagium “Mendengar, saya lupa; Melihat, saya ingat; Melakukan, saya paham; Menemukan sendiri, saya kuasai”. Maka sebisa mungkin proses belajar diupayakan untuk menemukan sendiri. Dari tiga tulisan tentang “menghafal” yang terakhir ini nampaknya ada cara pandang yang berbeda lagi, mari kita simak.

ginna gallery.com

“Saya ingin menciptakan alat suntik yang bisa menyuntik sendiri. Jadi, alat itu menyuntik setelah teman-teman memencet sendiri komputer karena teman-teman takut kepada dokter,” kata Isabella, murid TK B Sekolah Citra Berkat. Usianya baru lima tahun, tetapi dia telah berpikir untuk menciptakan sesuatu.

Isabella merupakan pelajar Sekolah Citra Berkat, Bukit Palma, Surabaya, lembaga pendidikan yang didirikan Grup Ciputra. Meski mendasarkan diri pada kurikulum nasional 2006, sekolah ini menekankan pada pembentukan pola pikir dan karakter kewirausahaan atau entrepreneurship.

Tidak heran apabila sejak dini, pelajar di sekolah-sekolah Grup Ciputra sudah diajak mengamati berbagai kegiatan bisnis, di antaranya mengunjungi toko dan bengkel mobil.

”Kami berangkat dari pandangan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju harus dengan menambah jumlah pencipta kerja atau entrepreneur,” kata Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC).

Menurut Antonius Tanan, dalam waktu singkat harus diperbanyak anak-anak Indonesia seperti Isabella. Sebab, kini hanya kurang dari 2 persen penduduk Indonesia merupakan entrepreneur.

Menjamurnya pedagang atau kawasan komersial pada saat ini tidak selalu dipandang positif oleh Antonius Tanan. Ada kalanya mereka berdagang karena terpaksa (necessity entrepreneur), wirausaha yang justru menambah panjang rantai perdagangan (redistribusi), pedagang yang sekadar meramaikan tren atau istilah kerennya follower (replikatif).

”Yang dibutuhkan adalah entrepreneur inovatif,” ujarnya.

Wirausaha seperti itu sangat dibutuhkan bukan hanya untuk dunia perdagangan, melainkan juga untuk menciptakan berbagai produk, seperti mobil, motor, dan telepon seluler. Produk yang nantinya layak dilabeli ”made in Indonesia”.

Dalam diskusi pendidikan terkait rencana pemberlakuan Kurikulum 2013, Senin (3/12), di Bentara Budaya Jakarta, misalnya, diangkat realitas jumlah telepon seluler yang melebihi jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, benda itu diimpor dari negara lain.

Perdebatan di Bentara Budaya Jakarta senapas dengan realitas di lapangan. Pada awal Desember 2012 ini ramai dibicarakan di media tentang defisit neraca perdagangan Indonesia bulan Oktober 2012 yang defisit 1,55 miliar dollar Amerika Serikat. Inilah defisit bulanan terbesar sepanjang sejarah, salah satunya karena impor pesawat.

Persoalannya, relatif sulit membentuk generasi muda wirausaha di Indonesia dibanding di negara Asia lain karena lingkungan tidak mendukung. ”Maka, diperlukan intervensi lewat sekolah. Jadi, pendidikanlah yang dapat mengubah wajah Indonesia pada masa depan,” katanya.

Antonius Tanan mengharapkan, Kurikulum 2013 yang sedikit banyak memuat nilai entrepreneurship harus lebih ”dibungkus” dengan program yang mewujudkan nilai-nilai tersebut.

Agung Waluyo, Direktur Program UCEC, mengingatkan, sebaiknya tidak ada penyeragaman dalam pendidikan. ”Papua, misalnya, berbeda. Jadi, tidak dapat (kurikulumnya) disamakan dengan di Jawa,” ujarnya.

Sekolah berkarakter lain, seperti sekolah dengan latar belakang agama, juga masih diminati. Kurikulumnya nasional, tetapi dipadukan dengan nilai-nilai khusus.

Antonius Yanto, guru SD Ursula, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, menginformasikan, kapasitas sekolahnya selalu maksimal. ”Mengapa selalu diminati? Karena kami menawarkan kedisiplinan,” ujar Silviana, rekan guru lain. Meski menawarkan pendidikan berkarakter agama Katolik, nyatanya sekitar 20 persen pelajar non-Katolik. ”Di SMP Santa Ursula, porsinya bisa 50 persen non-Katolik,” tuturnya.

Disiplin juga merupakan salah satu alasan kuat mengapa General Manager Business Radio Sonora Wahyu Astuti menyekolahkan putrinya di SD Sang Timur di Tangerang, Banten. ”Disiplin tidak selalu berarti tak pernah telat, tetapi menghargai waktu dan bertanggung jawab,” ujarnya.

Wahyu tidak menghiraukan stigma bahwa hanya pelajar di sekolah negeri yang nantinya dapat mengenyam pendidikan di universitas negeri terkemuka. ”Saya juga bukan lulusan universitas negeri top, tetapi dapat menyumbangkan kontribusi kerja yang baik. Ada pula nilai-nilai unggul yang dapat dipelajari dari sekolah swasta,” ujar Wahyu, lulusan Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang.

Belajar lebih aktif

Di balik riuhnya kafe, restoran, dan pertokoan di Kemang, Jakarta, Sekolah Kembang juga menawarkan oase tersendiri bagi dunia pendidikan Indonesia. Sekolah yang mendorong anak- anak menjadi pembelajar sejati, tidak sekadar pelajar instan.

Hari Rabu (5/12) pagi, pelajar di kelas I, misalnya, mempelajari pengurangan dengan terlebih dahulu menghitung bulatan di lembar soal. Belajar perkalian juga dengan proses, bukan hafalan. Yang ditekankan adalah prosesnya, bukan cuma hasil.

”Kami memang menjalankan sistem active learning,” ujar Wakil Kepala Sekolah Kembang Lestia Primayanti.

Dia tidak sedang berbasa-basi. Kegiatan belajar-mengajar di kelas menunjukkan proses itu. Sejumlah mahasiswa tamu juga tampak sedang mengobservasi.

Alhasil, pelajar kelas VI, Zahra Aninda Pradiva, misalnya, mampu menjelaskan Iran dengan pengembangan nuklirnya. Bukannya diharuskan menghafal nama ibu kota, Zahra dan teman-temannya diminta mempelajari sebuah negara dan mempresentasikan kelebihan dari negara tersebut.

”Nuklir bisa untuk mengatasi kekurangan listrik. Indonesia harusnya punya, tetapi harus berhati-hati supaya tidak bocor seperti di Jepang,” ujar Zahra dengan percaya diri.

Meski baru duduk di sekolah dasar, Zahra pernah mendapat tugas mewawancarai sebuah grup musik yang pentas di Sekolah Al-Azhar Bintaro. ”Saya menanyakan kapan berdirinya dan genre musik mereka,” ujarnya.

Menurut Lestia, Sekolah Kembang memakai kurikulum nasional, tetapi sedikit nyeleneh. Ambil contoh, sekolah itu tidak mengharuskan siswanya berseragam selain mengganti pelajaran agama dengan religion knowledge yang memperkenalkan semua agama.

Walau demikian, para guru mengabdi penuh pada pendidikan. Mereka mengajar dengan sabar, lemah lembut, dan selalu membimbing siswa di kelas. Jumlah jam mengajar guru memang relatif sedikit—14 jam per pekan—yang memungkinkan guru mempersiapkan bahan ajar dengan matang.

Ketika menghadapi ujian nasional, menariknya, pelajar Sekolah Kembang tidak tergagap- gagap. Nilai rata-rata UN 2011/2012, misalnya, untuk Matematika mencapai 9, IPA 8, dan Bahasa Indonesia 8,97.

”UN tak masalah,” kata Lestia.

Nilai UN yang dicapai relatif tinggi meskipun sistem pembelajaran tidak dengan menggenjot siswa. Semua siswa benar-benar menikmati proses belajar. Mungkin ini yang dikatakan Romo Mangun sebagai ”pendidikan yang membebaskan”.

Siang itu, dengan mata berbinar dan sesekali menggerakkan tangannya, Jasmine Nadila Putri, pelajar kelas V, menceritakan tentang Papua sebagai bagian dari tugasnya untuk mempelajari Indonesia. ”Kalau mau wisata ke Papua. Biar aman naik Garuda. Harga tiketnya Rp 3,6 juta, itu one way, lho, ya. Alamnya indah sekali,” ujar Jasmine.

Tahu dari mana, Jasmine? ”Dari Google,” ujar Jasmine sambil tersenyum manis. Jasmine gemar matematika. Alasannya, tak perlu banyak mengingat dalam matematika, tinggal menghitung saja.

Zaman sudah berubah. Bagi generasi Z seperti Jasmine, mungkin menghafal sudah bukan zamannya lagi. Siapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? ”Hmm, tidak tahu,” ujar Jasmine dengan tetap ceria. [Haryo Damarsono]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *