“Kalau kita muak dengan Negara, Kita bangun saja negri kita sendiri” –-Toto Rahardjo
Pernyataan itu tidak bisa lepas dari ingatan saya hingga hari ini. Bagi Saya, ini adalah tantangan yang diperoleh dari “Workshop Merancang Sekolah Merdeka” beberapa waktu lalu di SALAM Selama tiga hari—hari pertama mengikuti workshop, pikiran saya diotak-atik. Perasaan saya dibongkar. Hingga akhirnya pada hari keempat para peserta mencoba menemukan apa yang bisa kami lakukan ketika kami kembali ke komunitas.
Toto Rahardjo, seorang yang biasa saja dari segi penampilan tapi memiliki kekayaan pengetahuan yang luar biasa adalah salahsatu pendiri SALAM. Ia membimbing kami untuk berfikir secara terstruktur.Pada awal workshop, Ia menekankan bahwa SALAM tidak akan membuka cabang, tapi para peserta dipersilahkan mengadopsi prasyarat dan prinsip-prinsip yang SALAM miliki. Biasanya jika berbicara tentang pendidikan, kita hanya berfokus, berkutat pada metode, teknik mengajar—padahal yang utama dari pendidikan adalah pra-syarat serta prinsip-prinsip pendidikan.Toto mengingatkan para peserta untuk tidak melulu fokus pada metode, karena menurutnya metode bisa didapatkan dari mana saja, dan kapan saja yang berkeliaran disekitar Anda–“Jagad Raya, Laboratorium Bagi Pembelajar Yang serba Ingin Tahu”. Inilah awal kami membuka pintu gerbang pengetahuanbernama SALAM.
Saya sangat belajar dari SALAM yang bertahan pelan tapi pasti. Saya selalu mengingat salah satu kalimat penyemangat mereka yang menjadi inspirasi saya: “making the road by walking”. Saya rasa semangat ini yang membuat SALAM bisa bertahan untuk tetap berada di hati seluruh keluarga SALAM.
Pada awal workshop kami diminta untuk mencari tahu sendiri apa sebenarnya prinsip-prinsip yang SALAM miliki. Para peserta dibagi menjadi 3 kelompok untuk dibagi berdasarkan kelas-kelas di SALAM.Kelompok besar ini yang terdiri darikelompok kecil (Taman bermainhingga SD kelas 3), Kelompok Sedang (SD kelas 4 hinggakelas 6), dan Kelompok Besar (SMP hingga SMA).
Para peserta mengalami langsung bagaimana suasana kelas. Bertemu dan berdiskusi bersama anak-anak SALAM dan juga fasilitator yang membantu proses belajar di kelas. Dari pengamatan di kelas, banyak sekali fenomena-fenomena baru. Seperti kehadiran orang tua di kelas untuk presentasi anak-nya. Hal ini membuktikan hubungan yang dibangun SALAM dalam proses belajar bukan hanya antara murid dan faslitator di SALAM, tapi juga dengan orang tua-nya.
SALAM menjadi sebuah tempat bagi orang tua yang mencoba berdaulat akan pendidikan untuk anak-anaknya. SALAM berhasil membangun ekosistem belajar antara anak-anak, orang tua murid dan SALAM sebagai fasilitatornya. Banyak juga orang tua murid yang menjadi fasilitator di SALAM. Ini menunjukan bukan hanya ekosistem belajar yang dibangun oleh SALAM, tapi juga SALAM membangun komunitas berbasis pendidikan anak-anak. Orang tua berkumpul di sekolah, bukan hanya membahas mengenai naik-nya uang sekolah, atau membandingkan prestasi anak-anaknya. Orang tua juga ikut menentukan rencana belajar anak-anak mereka.
Ditengah arus globalisasi yang semakin kuat serta kekuatan modal yang bergerak terlalu bebas, terkadang kita sulit membendung pola konsumsi kita. Pergerakan modal juga masuk terlibat mengatur kebijakan-kebijakan Negara—tanpa sadar seluruh tingkah laku kita bergerak ke arah mana modal bergerak. Salah satu perilaku yang mencerminkan fenomena ini adalah ketika kita mulai menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas.
Seringkali sekolah yang baik adalah sekolah yang berstandart nasional bahkan internasional. Negara mengatur seluruh kualitas pendidikan dengan berbagai penilaian, misalnya akreditasi dansegala ragamnya.
Bagi sebagaian orang, anak berprestasi adalah anak yang mendapat rangking 5 besar di sekolahnya, menjejali anak-anak dengan berbagai bimbel, atauberbagai kursus-kursus tambahan. Mirisnya lagi, masyarakat sering kali menyerahkan tanggungjawab pendidikan hanya pada pihak ke-tiga yakni sekolah. Akhirnya banyak sekali bisnis-bisnis yang berkedok instansi pendidikan yang hanya menawarkan metode dan teknik-teknik belajar yang mutakhir.
SALAM hadir sebagai alternatif pendidikan yang bisa diadaptasi bagi manusia manapun yang sadar betul akan bahaya arus modal yang semakin liar dan besar tersebut—SALAM hadir bagi manusia bebas yang tak mau dibelenggu oleh ketidakadilan.SALAM tidak menggunakan metode mengajar yang diwajibkan oleh Negara lewat pendidikan formal. Mata pelajaran yang utama adalahmenulis melalui riset. Anak-anak murid mulai dari kelas 1 SD sudah terbiasa dengan melakukan riset tentang apa saja yang mereka sukai. Serta tak lupa mereka menuliskan semua pengalaman risetnya dan mempresentasikanya kepada seluruh kawan-kawan di kelas. Tidak ada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, atauPenjaskes. Semua anak belajar segalanya dalam riset tersebut.
SALAM bertahan hingga 17 tahun berkat seorang perempuan bernama Sri Wahyaningsih, atau lebih dikenal dengan Bu Wahya. Semangatnya luar biasa dan memiliki keyakinan bahwa kekuatan utama adalah berbagi. Berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, untuk dapat menikmati kebahagiaan bersama. Selain itu Bu Wahya juga percaya bahwa setiap orang adalah sumber pengetahuan dan kekuatan utama SALAM adalah anak-anak sebagai sumber kekuatan pengetahuan.
Selama 4 hari worshop, Bu Wahya senantiasa mengingatkan peserta bahwa sejatinya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memiliki dampak positif bagi lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya.
SALAM berhasil menginspirasi saya akan tindakan nyata apa yang bisa dilakukan untuk melepas belenggu ketidakadilan dan belenggu impunitas. Masyarakat harus berjuang sendiri dan menciptakan keadilan bagi mereka sendiri. Membangun komunitas dan memperkuat inisiatif-inisiatif dari komunitas adalah hal penting untuk melepaskan kita dari belenggu-belenggu yang menjerat hidup kita. Tidak bisa juga kita hanya menunggu Negara untuk memperbaiki situasi hidup kita, memerangi kemiskinan, bahkan menuntut keadilan semu yang biasanya hanya menjadi janji-janji politik jelang pilpres atau pilkada. Keadilan harus diciptakan oleh masyarakat sendiri.Keadilan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai mereka.
Saat kita-kita harus berani membangun negri kita sendiri, melalui komunitas-komunitas. Biarpun komunitas kecil, tidak masalah asal mimpi setinggi bintang di angkasa. Selain harus memulai, kita juga harus mampu mempertahankan komunitas kita. Karena memiliki kesadaran saja tidak cukup, harus ada tindakan nyata dan juga mekanisme “kontrol” untuk mempertahankannya.
Saya sangat belajar dari SALAM yang bertahan pelan tapi pasti.Saya selalu mengingat salah satu kalimat penyemangat mereka yang menjadi inspirasi saya: “making the road by walking”. Saya rasa semangat ini yang membuat SALAM bisa bertahan untuk tetap berada di hati seluruh keluarga SALAM.
*** Emmanuella Kania Mamonto [Alumni Workshop Merancang Sekolah Merdeka]
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply