Sudah selayaknya kita menghargai dan menghormati orang-orang kreatif yang hasil inovasinya telah diwariskan kepada khalayak dan hingga kini masyarakat telah menikmatinya. Mbah Mukibat Orang biasa—hanyalah petani bukan orang sekolahan, Ia melakukan eksperimen dan dengan media singkong yang setiap hari dihadapi menunjukkan bahwa riset bukan hanya milik kaum sekolahan belaka—dan Mbah Mukibat membuktikan “Ilmu iku ketemune kanthi laku”.
Ketela pohon, ubi kayu, atau singkong (Manihot utilissima) adalah perdu tahunan tropika dan subtropika dari suku Euophorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Pada tahun 1974 sistem Mukibat telah diteliti oleh Universitas Brawijaya, yang menyimpulkan bahwa source potential dari batang atas mampu memasok sink capacity dari batang bawah, sehingga produktivitas ubikayu mampu ditingkatkan menjadi >70 t/ha. Bahkan dengan pemeliharaan intensif dan diumurkan > 1,5 tahun hasil ubikayu sistem Mukibat dapat mencapai >100 kg/tanaman. Lembaga Penelitian Internasional IITA di Nigeria, dan CIAT di Cali Columbia juga telah mencoba menerapkan sistem Mukibat yang berkesimpulan bahwa source-sink relationship meningkat seirama—sehingga mampu meningkatkan produktivitas >100%
Singkong bisa mencapai 7 meter tinggi, dengan cabang agak jarang. Akar tunggang dengan sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan—Ukuran umbi rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm, tergantung dari klon/kultivar. Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.
Singkong atau umbi ketela pohon merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionina. Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (sejak zaman Hindia Belanda) sekitar tahun 1810 setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil. Dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu seringkali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,
Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di wilayah Jawa Timur pada tahun 1852. “Bupati sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan mempercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia
Namun hingga tahun 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu, Creutzberg dan van Laanen mencatat. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah.
Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih saat itu rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.
Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai, Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi dan jagung.
Singkong Mukibat
Singkong Mukibat merupakan hasil sambungan (Okulasi) dari batang bawah singkong/ubi kayu (Manihot esculenta) dengan ubi kayu karet (Manihot glaziovii). Nama Mukibat disematkan dari penemu teknologi tersebut yaitu mBah Mukibat, seorang rakyat biasa, petani, lahir tahun 1903—hidup dan tinggal di daerah Ngadiloyo, kabupaten Kediri pada periode 1903-1966. Menurut keterangan penduduk setempat, Mbah Mukibat memperoleh gagasan menyambung singkong/ubi karet ke singkong/ubi kayu setelah mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh Penyuluh Pertanian di mana kepada setiap peserta kursus ditugasi secara individual mengokulasi tanaman.
Pada saat itu kondisi perekonomian memang sangat sulit sehingga banyak petani yang memanfaatkan singkong sebagai bahan makanan pokok—Namun kerena desakan keadaan ekonomi banyak terjadi pencurian singkong/ubi kayu di ladang-ladang. Untuk mengantisipasi hal tersebut singkong/ubi kayu biasa disambung dengan batang atas ubi karet yang dikenal sebagai telo Gendruwo yang berumbi pahit dan beracun. Ternyata dari hasil okulasi tersebut justru diperoleh hasil umbi yang sangat tinggi, hampir 3-6 kali lipat hasil singkong/ubikayu biasa.
Meskipun pada awalnya Singkong Mukibat merupakan sistem tempelan tunas singkong/ubikayu karet ke batang singkong biasa, namun pada akhirnya sistem grafting (penyambungan) menjadi lebih populer. Selama 20 tahun pertama sejak penemuan teknologi Mukibat, terdapat variasi dan modifikasi yang dilakukan oleh para petani lain yakni sistem Kurur, di mana stek singkong biasa dan 2 singkong karet ditanam terpisah, dan setelah berumur 45 hari tunas muda singkong karet disambungkan ke tunas muda singkong biasa—Dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan singkong karet yang besar dan berat ditopang oleh batang bawah singkong biasa, dengan menyambung batang singkong karet pada tiga batang bawah singkong biasa.
Dengan teknologi ini dimungkinkan menyambung 3-4 bahkan tujuh batang bawah varietas singkong/ubikayu yang berbeda dengan batang atas singkong karet. Beberapa petani di Jawa Timur mengklaim bahwa dengan teknologi yang lebih sederhana yaitu dengan membuat perforasi pada bagian gabus stek ubi kayu biasa dengan sebilah bambu, tanpa harus disambung dengan batang singkong/atas ubi karet hasil umbinya akan meningkat.
Meskipun singkong sistem mukibat ini memberikan hasil yang tinggi, tetapi dalam pengembangannya sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan yakni membutuhkan ketrampilan dalam pembuatan bibit, tanaman singkong karet sebagai batang atas tidak selalu tersedia di setiap daerah, dibutuhkan lubang tanam yang dalam dan besar, pada daerah yang anginnya cukup kencang diperlukan penyangga agar tidak patah sambungannya, dan kesulitan ketika panen karena bentuk umbi yang besar dan panjang.
Penelitian tentang singkong sistim mukibat masih belum banyak dilakukan karena pada saat itu belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dari hasil pengamatan ternyata cara bertanam singkong sistem mukibat masih cukup beragam.
Pada tahun 1974 sistem Mukibat telah diteliti oleh Universitas Brawijaya, yang menyimpulkan bahwa source potential dari batang atas mampu memasok sink capacity dari batang bawah, sehingga produktivitas ubikayu mampu ditingkatkan menjadi >70 t/ha. Bahkan dengan pemeliharaan intensif dan diumurkan > 1,5 tahun hasil ubikayu sistem Mukibat dapat mencapai >100 kg/tanaman. Lembaga Penelitian Internasional IITA di Nigeria, dan CIAT di Cali Columbia juga telah mencoba menerapkan sistem Mukibat yang berkesimpulan bahwa source-sink relationship meningkat seirama—sehingga mampu meningkatkan produktivitas >100% ***
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply