Saya ingin mengajak warga SALAM dan orang-orang muda yang sudah mulai tertarik dengan kedaulatan pangan untuk mengenali sejumput riwayat Masanobu Fukuoka Penasehat ahli pertanian Jepang yang frustasi justru pada saat Jepang ada dipuncak teknologi modernisasi pertanian—dia memilih kembali ke pertanian tradisi
Fukuoka keluar dari pekerjaannya sebagai penasehat ahli pertanian, dan pulang ke kampung halamannya di Pulau Shikoku, di Jepang bagian selatan. Lelaki yang eksentrik namun arif ini bertekad mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengembangkan sistem pertanian alamiah. “Saya hanya mengosongkan pikiran saya, dan berusaha menyerap apa saja sebanyak mungkin dari alam,” katanya merendah. Ia tahu bahwa lebih dari seribu tahun lampau, para petani Jepang tidak mengenal sistem membajak sawah.
Bertahun-tahun tak ada orang yang peduli pada gagasan Fukuoka yang unik itu. Hanya sedikit orang saja di Jepang mengenal metodenya. Tahun 1975 ia menulis buku berjudul “Revolusi Sebatang Jerami”, yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa. Baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 1991 oleh Yayasan Obor. Sejak bukunya terbit kemudian dia banyak diminati oleh berbagai kelompok yang bersemangat mempelajari sikap “baru”-nya yang aneh dalam cara bercocok tanam
Teknik ini baru dikenal seiring dengan merangseknya modernisasi Barat yang melanda Jepang sejak awal Restorasi Meiji, pada permulaan 1980-an. Pertanian kimiawi menjadi marak laksana banjir bandang (meskipun tidak gampang menyulih pola pertanian alami). Tercatat, sebagian Jepang masih memakai pola lama dalam pertanian sepanjang Zaman Meiji dan Taisho, 1868-1926, hingga akhir Perang Dunia II.
Jagad pertanian di Jepang, pada akhirnya tak beda yang dialami Indonesia, sulit berkelit dari jangkauan tangan-tangan modal dengan jargon modernisasi pertanian akan meningkatkan swa sembada pangan di setiap negara. Dengan menggunakan lembaga yang mengaku penjaga pangan dunia, Food and Agriculture Organization (Indonesia digenggam lewat International Rice Research Institute yang berkedudukan di Filipina).
Bagi FAO, sebagaimana diungkap oleh Dr. Jacques Diouf, “Tantangan bagi ketahanan pangan hanya bisa diatasi melalui kerjasama global yang melibatkan sektor-sektor nasional, internasional, umum, swasta, dan sukarelawan.” Sayangnya, penyelesaian yang dimaksud adalah penandatanganan semacam kontrak bagi hampir setiap negara untuk, salah satunya, menyerahkan segenap plasma nuftah mereka demi rekayasa genetika yang bertujuan pada ‘penyempurnaan’ benih. Kelak, benih-benih hybrida dipasarkan, beserta pupuknya, sehingga tanaman-tanaman lokal tak lagi mudah ditemukan. Tanah menjadi keras dan mati. Pertanian kimiawi menang dalam pertarungan dan menggusur pertanian alami.
Modernisasi pertanian telah obral janji, kasih iming-iming percepatan masa panen, bibit unggul, serta hasil yang melimpah telah membuat para petani dibutakan penglihatannya—Ritual yang diwariskan nenek moyang untuk bekerja dan memuliakan alam digeser oleh nilai-nilai pasar dan modal. Kapitalisme perlahan-lahan mencabut kearifan petani atas lahannya saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidupnya—yang sebenarnya memelihara gemulainya tarian kesuburan dikacaukan oleh kepentingan modal. Negara Indonesia, termasuk yang menyambut dengan suka cita serta memeluk secara suka rela kebijakan pertanian modern pro Barat yang disebut Revolusi Hijau.
Dengan sengaja, kearifan lokal dihancurkan oleh modernisasi pertanian—Petani menjadi ‘buruh tani’ di tanahnya sendiri. Buruh nyemprot pestisida, buruh menabur pupuk kimia pabrik, serta buruh menanam benih hibrida-transgenik ‘ajaib’ yang dikeluarkan dari laboratorium Perguruan Tinggi. Segalanya harus dibeli, harus didapat dari luar ekosistem petani. Petani tidak lagi bercocok-tanam demi mencukupi kebutuhan subsistensinya, tetapi juga mesti memenuhi kebutuhan komoditi negara. Kapitalisme ditanamkan pelan-pelan, dan petani sekaligus menjadi lahan empuknya sekaligus menjadi pelengkap penderita.
Petani menjadi tidak berdaulat atas profesinya, plasma nuftah berangsur-angsur punah, dan pestisida serta insektisida menghancurkan tatanan ekosistem. Manusia meremuk-redamkan kuasa alam. “Kita tidak sedang meningkatkan kesuburan atau hasil produksi, namun hanya menunda kegagalan panen dengan menebar pupuk dan obat-obatan bikinan pabrik,” kata Masanobu Fukuoka.
Kondisi itulah yang ditemui Fukuoka manakala ia berkeputusan untuk berhenti dari pekerjaannya, untuk menggarap tanah orangtuanya. Dengan kondisi lahan rusak, sementara berjenis-jenis hama menyerbu tanpa ampun. Percaya bahwa manusia harus tunduk pada alam dan membiarkan hukum alam bekerja dengan sendirinya, Fukuoka minta izin pada ayahnya untuk merawat lahan dengan cara membiarkannya begitu saja. Ayahnya hanya tertawa geli. Si anak secara radikal mencoba merombak sistem yang sudah lama terbangun. Alhasil, serangga semakin ganas menyerang, dedaunan layu, dan akhirnya semua tanaman sekarat. “Kamu tidak bisa merombak teknik pertanian dengan segera, “ Nasihat sang ayah, “tanaman yang sudah terolah itu tidak gampang beradaptasi.” Itulah pelajaran pertama Fukuoka. Seraya belajar, Fukuoka lantas bekerja sebagai pengawas divisi pertanian ilmiah di The Khochi Prefecture Testing Station (Stasiun Pengujian Prefecture Kochi). Sesungguhnya selama bekerja di situ, Fukuoka mengkaji secara mendalam hubungan antara pertanian ilmiah dan alami—karena ada anggapan bahwa pertanian kimiawi lebih unggul dibanding pertanian alami. Dari sini Fukuoka bertanya-tanya, “Dapatkah pertanian alami berdiri sama tegak dengan pertanian modern?”
Fukuoka dengan tegas menolak pertanian kimiawi. Masanobu Fukuoka, lahir di Shikoku, 2 Februari 1913. Fukuoka dikirim oleh sang ayah untuk mengenyam pendidikan tinggi di Kolese Pertanian Gifu, di jantung pulau Honshu. Di sini ia ditempa oleh Profesor Makoto Hiura, dan lulus pada tahun 1933 dengan menyandang gelar di bidang patologi tumbuhan. Atas saran mentornya, si anak kedua dari tujuh bersaudara meniti karirnya di Yokohama sebagai seorang mikrobiolog, dan bekerja sebagai seorang inspektur pabean pertanian. Di tempat ini ia menyerap pengalaman nyata tentang pertanian, untuk kemudian menarik garis hidupnya yang terkenal: manusia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang alam.
Pertanian bagi Fukuoka, usaha untuk mencoba mengenal serta memahami rahasia alam. Fukuoka memandang, sejak dahulu kala, tanaman tumbuh dengan sendirinya sebagai semacam anugerah dari dewa Okuninushino-mikoto yang berkeliling sembari memanggul karung berisi aneka benih untuk disebar. Alam yang tandus disembuhkan dengan taburan benih, dan dirawat oleh akar-akar yang tumbuh sesuai kodratnya. Tanpa campur tangan manusia, alam telah menunjukkan kebijaksanaannya sendiri. Fukuoka terkesima. Ia melihat sebersit hukum, yang lantas menjadi fondasi bangunan pemikirannya. Tanaman tumbuh sendiri, dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Pada saat itulah ia menyangsikan kaidah ilmu pertanian modern yang lebih menitikberatkan pada intensifikasi, yang bertujuan akhir semata-mata pada hasil produksi, Pupuk dan segala pestisida telah merusak tatanan ekosistem dan mengabaikan kesehatan tanah. Revolusi Hijau, dalam jangka panjang, malah memperburuk kualitas lahan.
Fukuoka memulai bekerja dengan mengurai batang-batang jerami di atas lahan di mana padi sebelumnya sudah ditebarkan. Dari situ ia meletuskan sebuah revolusi. Bukan Revolusi Hijau, melainkan revolusi jerami.
Ia kembali keluar dari pekerjaannya. Kali ini dengan tekad membaja dan pengetahuan setinggi Gunung Fuji: sekali lagi, manusia tidak tahu apa-apa. “Alam akan mengajari,” ujarnya yakin. Empat ratus batang jeruk yang sudah tertancap ia musnahkan. Pada musim gugur, Masanobu Fukuoka menabur benih padi, semanggi putih, dan biji-biji musim dingin di atas lahan-lahan yang sama dan menutupnya dengan lapisan tebal jerami padi. Gandum gerst dan gandum hitam serta semanggi tumbuh tegak, sementara biji-biji padi tetap terbengkelai sampai musim dingin. Gandum hitam dan gandum gerst dituai pada bulan Mei dan disebar di lapangan secara merata selama seminggu atau sepuluh hari biar kering. Kemudian dikirik dan ditampi, lalu dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan. Jerami gandum lantas disebar tanpa dipotong-potong, sebagai mulsa. Demikianlah, ia menunggu tumbuhnya padi.
Sekilas menganalisa keunggulan cara itu, semanggi putih berguna sebagai herbisida bagi gulma; mulsa bermanfaat untuk menahan air, kompos organik, dan sekaligus benteng penahan serbuan pipit. Gulma memang harus dipangkas ketika tanaman sedang dalam masa pertumbuhan. Tetapi, begitu tanaman beranjak dewasa, gulma dibiarkan saja tumbuh bersama padi-padian atau sayur-mayur. Toh, alam mengajarkan demikian pula. Cara ini tentu saja tidak sebegitu mudah diaplikasikan di setiap wilayah pertanian. Namun di Jepang yang beriklim basah dan curah hujannya bisa diandalkan, sang guru ini memantapkan keunggulan tekniknya.
Panennya melimpah, tanahnya semakin subur dari tahun ke tahun, ekosistem terjaga, dan ia dikenal sebagai pioner dari metode bertani tanpa mengolah tanah (kalau seluruh petani Indonesia mengikuti cara Fukuoka, Bulog tak perlu melempar gagasan impor beras!). “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia,” demikian ajaran Fukuoka. Dialah sejatinya ‘peasant’.
Petani yang memuliakan alamnya—Petani yang menyerahkan hidupnya pada kuasa alam. Terang, angin, bumi, air, api, sebenarnya sudah cukup untuk pertanian. Alam sebetulnya sudah menyediakan segalanya. Revolusi berbekal sebatang jerami yang dilakukan Fukuoka menjadi sebenar-benarnya revolusi manakala unsur-unsur tersebut kembali diagungkan oleh manusia.
Mengenang Sosok Masanobu Fukuoka
Jalan pikiran dan jalan hidup legenda pertanian alamiah yaitu Masanobu Fukuoka, petani dari Jepang, Dia adalah sang pelopor pertanian paling sederhana, nyaris tanpa kerja. Itulah yang disebutnya “pertanian alamiah”.
Prinsip pertanian yang dikembangkan seakan berbalik arah. Biasanya di dalam setiap usaha tani, bila ingin mendapatkan hasil yang maksimal: kerjakan ini, kerjakan itu dan kerjakan ini itu.
Sang legenda pertanian alami justru memilih konsep terbalik: jangan kerjakan ini, jangan kerjakan itu dan jangan kerjakan ini itu.
Masanobu Fukuoka meninggal Agustus 2008, usianya mencapai 95 tahun. Tidak aneh, mendapat umur panjang. sebab pola pikir dan pola hidupnya dekat dengan alam. Bahkan seirama dengan alam.
Tahun 1975, sejak dia menulis buku berjudul “Revolusi Sebatang Jerami”, yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tahun 1988 ia mendapatkan dua anugerah sekaligus, Magsaysay dari Filipina dan Deshikottam dari India. Keduanya sangat bergengsi. Tahun 1997 Fukuoka-san, begitu panggilan kehormatannya sebagai orang Jepang, mendapat “Penghargaan Dewan Bumi” (Earth Council Award), kehormatan yang biasanya diberikan pada politisi, pebisnis, sarjana, pegiat NGO karena jasa-jasanya pada pembangunan berkelanjutan.
Tahun 1979 Fukuoka-san berkeliling Amerika Serikat .. Sementara memberikan kuliah di sebuah universitas, dia berbicara selama beberapa jam dengan Larry Korn, seorang mahasiswa yang mempelajari metode pertanian alami. Waktu mereka saling berbicara 1982, orang tua asal Jepang ini sudah beruban, suaranya tertahan, mengenakan pakaian tradisional Jepang. Penampilannya tak memberi kesan sesepuh ini adalah seorang petani inovatif yang telah berhasil menjadi teladan asali. Siapa yang mengira bahwa ladang padinya ternyata di antara yang paling tinggi menghasilkan bulir-bulir bernas di Jepang. Padahal huma yang digarapnya itu lebih mirip hutan atau tanah belukar yang dipenuhi rumput-rumput liar, tanaman semanggi dan tanaman-tanaman penghasil bulir-buliran yang lain. Tapi inilah paradoks yang menyelimuti orang tua ini dan metodenya dalam bertani secara alami.
Di sebuah gunung yang menghadap ke Teluk Matsuyama di bagian selatan pulau Shikoku, Fukuoka-san sudah lama bercocok tanam padi, gandum, bulir-buliran lain di musim dingin, dan jeruk mandarin Jepang .. tapi dengan praktik bertani yang aneh. Banyak orang memandang caranya itu terbelakang atau bodoh! Tapi tanahnya secara konsisten menghasilkan hasil cocok tani yang sama atau bahkan lebih tinggi daripada petani-petani lain tetangganya yang menggunakan banyak tenaga kerja dan berbagai metode yang sangat bergantung pada bahan-bahan tambahan kimiawi. Sistem bertani yang dikembangkan Fukuoka tak hanya membuat orang jadi terheran-heran karena tingginya hasil panen, tapi juga karena fakta bahwa sudah selama puluhan tahun dia tak pernah membajaknya sama sekali. Dia juga tak menggunakan pupuk yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk lahannya. Bahkan kompos juga sesungguhnya tidak. Dia juga tak mencabuti rumput-rumput liar di ladangnya atau menggenangi padinya dengan air sebegitu banyak seperti para tetangganya.
Melalui percobaan yang panjang petani Jepang ini sekarang telah berhasil mengetengahkan suatu metode pertanian yang memantulkan kedekatan yang dirasakannya dengan alam. Ia sekarang yakin bahwa dengan memperluas pemahaman melampaui batas-batas tradisional dari pengetahuan ilmiah tapi juga dengan mempercayakan diri pada kebijakan terhadap proses kehidupan, kita dapat memperoleh apa yang kita perlukan tentang bagaimana cara yang tepat ketika menanam tanaman-tanaman pangan. Dia mengatakan bahwa seorang petani selayaknya lebih baik bersikap cermat mempelajari dan memahami siklus alam lalu bekerja sesuai dengan pola-pola alam itu, daripada mencoba menundukkan dan menjinakkan alam.
Bertahun-tahun tak ada orang yang peduli pada gagasan Fukuoka yang unik itu. Hanya sedikit orang saja di Jepang mengenal metodenya. Tahun 1975 ia menulis buku berjudul “Revolusi Sebatang Jerami”, yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa. Baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 1991 oleh Yayasan Obor. Sejak bukunya terbit kemudian dia banyak diminati oleh berbagai kelompok yang bersemangat mempelajari sikap “baru”-nya yang aneh dalam cara bercocok tanam. ***
Seorang otodidak, masa muda dihabiskan menjadi Fasilitator Pendidikan Popular di Jawa Tengah, DIY, NTT dan Papua. Pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan INSIST. Pendiri Akademi Kebudayaan Yogya (AKY). Pengarah INVOLPMENT. Pendiri KiaiKanjeng dan Pengarah Sekolah Alternatif SALAM Yogyakarta.
Leave a Reply