Proses belajar yang menekankan keaktifan, kekritisan dan kreatifitas serta lebih cenderung menekankan proses daripada hasil belajar.
Proses belajar seperti ini membuka peluang pada setiap orang untuk terlibat aktif dan interaktif selama proses belajar berlangsung. Dalam model proses belajar seperti ini guru dituntut memiliki pikiran yang terbuka terhadap perbedaan, terutama terhadap siswa-siswa yang dihadapi.
Lahirnya proses belajar partisipatoris—dilatar belakangi oleh dua hal penting terkait dengan perkembangan dunia global yang syarat—identik dengan era informasi. Dua hal penting tersebut adalah : Pertama, era informasi mensyaratkan kegiatan proses belajar tak sebatas “know how”, tetapi menjangkau “know why”. Proses belajar tidak hanya sekadar bagaimana menuntut ilmu, tetapi harus berorientasi memperjelas mengapa ilmu tersebut dipelajari. Kedua, realitas menunjukkan sampai hari ini proses belajar masih dimaknai secara sempit.
Proses belajar sebagian besar masih menekankan pada upaya pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of Knowledge) dari guru ke anak didik. Guru secara bertubi-tubi mendepositokan banyak informasi, tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa (banking concept of education).
Di antara bentuk yang dimaksud adalah bagi sebagaian masyarakat pendidikan masih sekadar sebagai sarana stratifikasi sosial, atau dengan kata lain proses pendidikan dilakukan hanya untuk meningkatkan status sosial, bukan karena kesadaran (rendahnya kebiasaan mengolah pikiran, mengkaji urai pengalamann).
Selain itu, dalam proses belajar sebagian besar masih menekankan pada upaya pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of Knowledge) dari guru ke anak didik. Guru secara bertubi-tubi mendepositokan banyak informasi, tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa (banking concept of education).
Hal lain yang masih menjadi persoalan adalah belum maksimalnya pengembangan sumber daya manusia ke arah tuntutan zaman—Jika dilihat dari kompleksnya perkembangan di era informasi ini, sesungguhnya Sumber Daya manusia yang dibutuhkan adalah manusia pembelajar; manusia yang mampu mengembangkan diri dan berorientasi ke depan; taat pada nilai moral, tanggung jawab apa tindakan yang dipilih, menghargai nilai-nilai sosial; berpikir kritis, kreatif dan inovatif; berkepribadian dan mampu memberikan kontribusi bagi banyak orang.
Sebuah Refleksi
Pada dasarnya konsep pendidikan partisipatoris telah menjadi wacana sejak beberapa tahun lalu. Pada konteks pendidikan di sekolah, model pendidikan ini sebenarnya sudah tergambar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP-2006) yang merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK-2004). Di mana pada kurikulum yang tengah berjalan ini menekankan pada aspek kompetensi sebagai tujuan pembelajaran dan memiliki muatan untuk lebih banyak melibatkan peran serta siswa dalam proses pembelajaran, agar muncul sikap kritis dan kreatif. Sedangkan guru diarahkan untuk mampu menjadi fasilitator dalam proses pengembangan siswa.
Namun persoalannya, sampai saat ini konsep kurikulum ini pada tataran prakteknya menghadapi berbagai kendala. Di antara kendala tersebut adalah tidak adanya pra syarat yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan proses belajar yang partisipatoris antara lain perubahan kedudukan sosial, posisi guru dan murid serta dukungan ekosistem belajar—Daya dukung untuk memberikan stimulus kepada siswa agar dapat belajar dari pengalaman lingkungan menjadi sedikit terhambat. Selain itu, disebagian sekolah masih terdapat tenaga pendidik yang belum siap dengan perubahan. Sehingga masih terdapat banyak proses pembelajaran menggunakan pola lama. Walaupun dalam adminisitrasi mengajar seperti perangkat pembelajaran sudah diarahkan pada sistem yang baru, tetapi dalam implementasinya perangkat tersebut masih sebatas konsep.
Model pengajaran belum menunjukkan semangat pendidikan partisipatif. Dalam hal ini guru dituntut secara sederhana mampu menterjemahkan konsep dalam bentuk aksi serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Guru seharusnya menguasai metodologi agar mampu memproses apa yang dialami oleh siswa-siswanya.
Dengan demikian, diharapkan seorang guru selalu memiliki semangat untuk terus meningkatkan kualitas diri. Maka Guru harus terus meningkatkan kapasitas skill dan keilmuannya. Memang guru bukan satu-satunya penentu hasil pendidikan, tetapi guru merupakan salah satu unsur penting dalam proses pendidikan, selain kebijakan pemerintah, institusi sekolah, orang tua, masyarakat dan siswa-siswa itu sendiri.
Kemudian kendala lain adalah sistem evaluasi akhir pendidikan di sekolah perlu untuk ditinjau kembali kebijakannya. Dalam hal ini Ujian Akhir Nasional (UAN) dinilai sebagian kalangan pendidikan tidak menunjukkan kualitas sebenarnya dari siswa (hanya aspek kognitif) dan belum menggambarkan konsep pendidikan partisipatoris.
Pendidikan partisipatoris yang lebih menekankan penilaian proses daripada hasil belajar, menekankan upaya internalisasi nilai dari ilmu yang diajarkan. Sehingga siswa memahami untuk apa mereka belajar, dan selanjutnya dapat mengaktualisasikan apa yang mereka pelajari.
Pelaksanaan pendidikan partisipatoris tentu harus memperhatikan jenjang pendidikannya. Pola pengajaran di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah apalagi tingkat perguruan tingi tentu berbeda dalam pelaksanaanya. Disini perlu analisis yang tepat sehingga tidak salah pendekatan. Dalam hal ini aspek kurikulum/materi menjadi hal penting untuk diperhatikan, dan berikutnya bagaimana kurikulum dapat dikembangkan sesuai kebutuhan dan situasi yang ada serta mampu memprediksi tuntutan ke depan.
Diharapkan kedepannya, pendidikan partisipatoris dapat menjadi bagian dari pendekatan penting menuju pendidikan yang berkualitas. ***
SALAM (Sanggar Anak Alam), Laboratorium Pendidikan Dasar, berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara.
Leave a Reply