“Luar biasa!”
Begitulah rata-rata komentar penonton pentas teater yang digelar Sanggar Anak Alam (SALAM) pada 22 Juli 2017 kemarin. Begitu juga dengan komentar para pengunjung pameran karya yang berada dalam rangkaian acara yang sama. Decak kagum dan pujian umumnya tertuju pada jumlah penampil yang notabene hampir seluruh siswa SALAM. Mulai dari kelas terkecil, Kelompok Bermain (KB) hingga SMA.
Bagaimana mengkoordinir anak sebanyak itu? Bagaimana latihannya? Bagaimana persiapan karya? Itulah beberapa pertanyaan yang saya tuai, baik dari kawan maupun wartawan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah mudah. Karena yang saya jelaskan adalah sebuah kerja komunal hasil gotong royong seluruh warga komunitas dan kerabat SALAM. Lebih-lebih, dibalik itu semua, gelar karya “Kami Tidak Seragam” ini adalah hasil praksis pendidikan yang memerdekakan yang telah diterapkan selama belasan tahun.
Lha kok pengunjung. Saya saja yang terlibat proses produksinya kagum luar biasa. Saya sengaja duduk di bangku penonton pada malam gladi resik yang terlaksana sehari sebelumnya, Jumat 21 Juli 2017. Sebelum gladi resik digelar pada pukul 19.00 WIB, saya tahu persis sejauh mana latihan yang sudah ditempuh. Gladi resik ini adalah kali kedua bagi seluruh pendukung acara menggelar naskah secara utuh. Kali pertama terjadi dua hari sebelumnya di lapangan sekolah yang penuh debu.
Sementara kesempatan untuk melaksanakan gladi kotor terkuras untuk blocking. Lebih tepatnya “menjelajahi lokasi”. Harap diketahui, Gedung Societet adalah tempat baru yang belum pernah dikunjungi anak-anak SALAM sebelumnya. Situasinya yang berpanggung, dengan ratusan kursi, ditambah sirkulasi di area penonton yang menurun landai menjadi sebuah ‘ruang petualangan’ yang seru. Belum lagi banyaknya pintu sebagai akses baik ke belakang panggung maupun ke area penonton menjadi hal menarik untuk wahana jelajah anak. Maka muskil untuk menghadang keingintahuan anak demi sebuah latihan naskah yang utuh.
Wajar jika sesaat sebelum gladi resik dimulai, gejala grogi berupa perut mules menyerang saya. Walaupun anak saya tidak ikut pentas (karena cita-citanya adalah berperan sebagai penonton), dan pengunjung malam itu adalah seluruhnya keluarga SALAM, tapi kami sepakat gladi resik akan langsung digelar persis seperti pentas sungguhan, tanpa ‘cut’.
Namun ketika lampu panggung menyala dan musik mengalun, semua berjalan sempurna. Aksi anak-anak diatas panggung sangat alami, jauh dari kesan dibuat-buat. Bahkan, saya mengamati anak-anak yang tampak lunglai setiap kali latihan, kali ini tampil begitu bersemangat. Panggung dan lampu sorot tak sedikitpun mengalahkan nyali mereka. Saat itulah saya tahu, bahwa besok semua akan baik-baik saja.
Sementara itu di selasar, tempat pameran karya berlangsung, saya mendapati karya yang jumlahnya jauh di atas ekspektasi tim pameran karya. Sebagai salah satu orangtua yang sempat memfasilitasi proses pembuatan karya pop up, saya sempat khawatir karya yang terkumpul tidak memadai untuk dipamerkan. Selain karena daur belajar sempat terpotong libur panjang, saya juga tidak berkesempatan untuk memfasilitasi ke kelas 1 dan 2 SD. Data terakhir, karya yang terkumpul di sekolah tak lebih dari 25 karya. Namun rupanya para orangtua murid di kelas-kelas kecil, mulai KB hingga kelas 2 SD mengambil peran yang sangat besar dalam persiapan karya putra-putrinya. Proses mempersiapkan karya di kelas KB berlangsung dalam sebuah workshop 1 hari di salah satu rumah siswa KB, Dunia dengan mama Dunia, bu Rika berperan sebagai fasilitator. Sementara orangtua siswa kelas Taman Anak (TA), kelas 1 SD dan 2 SD memfasilitasi masing-masing putra-putrinya di rumah.
Tentu saja acara ‘keluar kandang’ ala SALAM ini dipenuhi cerita-cerita detil tentang hiruk-pikuk persiapannya. Belum lagi hari H-nya berlangsung bersamaan dengan pembukaan Pasar Kangen. Setiap warga belajar SALAM pasti punya cerita ‘belakang layar’ yang berbeda-beda. Namun ketika semua berakhir, lelah itu terbayar lunas.
“Selamat” dan “Terimakasih”
Di penghujung acara, beberapa fasilitator menghampiri saya sambil mengucapkan “Selamat ya, Bu!” dan lebih-lebih “Terimakasih, Bu!” Awalnya saya sempat bingung dan agak gede rasa. Buat apa ucapan itu ditujukan pada saya? Saya tidak merasa berhak untuk itu. Lagipula anak saya tidak ikut pentas malam itu. Di tambah malam sebelumnya, saat gladi resik, si anak sempat mengacaukan beberapa adegan karena peran ‘penonton’ yang ia pilih berbuah ‘menonton terlalu dekat di bibir panggung dan berakhir loncat-loncat di atas panggung’.
Namun saya segera tersadar. Bahwa malam itu, semua berhak mendapat ucapan “selamat” dan “terimakasih”, karena semua telah berperan. Semua sumbangsih berupa waktu, tenaga, pikiran, donasi dana hingga bahan makanan memiliki andil yang sama adil. Besar kecilnya tak pernah menjadi ukuran. Sesisir pisang atau sekarung beras adalah sama-sama sebuah lambang ikhlas.
Gelar karya yang menyerupai panggung kolosal ini menjadi bukti bahwa gotong royong tidak sekedar jadi slogan. Pun kerja komunal di dalam komunitas yang berdiri di atas realitanya sendiri bukanlah sebuah kemustahilan.
Orang Tua Murid & Fasilitator SMA SALAM
Leave a Reply