Foto: Aji Prasetyo.
Blog

Kami Tidak Lelah

Sedari pagi, sejak tanggal 20 Juli 2017 warga Sanggar Anak Alam (SALAM) sibuknya luar biasa. Bagian wardrobe, setting , sound, lighting panggung dan properti pameran sudah nglembur dari malam sebelumnya.

Foto: Aji Prasetyo.
Foto: Aji Prasetyo.

Bagian dapur  by Ibu-Ibu Diet for Tomorrow juga tak kalah heboh menyiapkan sajian kudapan dan makanan berat. Tak ketinggalan bagian publikasi dan dokumentasi sudah bagi-bagi tugas untuk mendokumentasikan gelaran spesial 17 Tahun SALAM, yang baru akan terjadi satu kali seumuran SALAM ini.

Paling super duper sibuk adalah bagian pertunjukkan, di bawah perhatian Pak Cling dan pak Gemak, anak-anak menyiapkan diri untuk Geladi Bersih (GR) yang khusus untuk dipertontonkan kepada orang tua SALAM dan kerabat-kerabatnya.

Meski baru GR tapi anak-anak tampil maksimal. Wardrobenya oke, gerakannya oke, hingga akhirnya tepuk tangan meriah di penghujung pertunjukkan menjadi penutupnya.

Heboh?? Pasti lah. Karena pertunjukan ini diikuti oleh semua anak Salam dari KB, TA, SD, dan SMA. Dari yang anak lawas hingga anak baru yang mulai bergabung bersama Salam.

Orang tuanya? Jelas lebih heboh. Ibu-ibunya ada yang ikut menari, juga asyik ikut flashmob dengan diiringi lagu Jaga Bumimu.

Foto: Aji Prasetyo.
Foto: Aji Prasetyo.

Untuk sekadar mengingat, GR kemarin dimulai dari pertunjukkan teater yang menceritakan tentang sekolah binatang. Sang Raja Rimba menginginkan pendidikan yang merata bagi warga hutan. Semua penghuni hutan harus bisa memiliki kemampuan yang tinggi dan sama rata. Mereka yang terdiri dari beragam jenis satwa, kijang, kura-kura, monyet, burung, dan lainnya, harus memiliki kemampuan standar, yakni bisa memanjat, berenang, terbang, dan harus bisa cepat berlari. Namun sayangnya, warga hutan justru tersakiti. Akhirnya Sang Raja Rimba tidak lagi meneruskan keinginannya.

Setting kemudian berganti, teater selesai diteruskan oleh pertunjukan musik dari Eman-Eman Band yang digawangi oleh salah satu anak Sanggar Anak Alam, Tanah Liat namanya. Kemudian dilanjutkan dengan aksi Agni Band yang terdiri dari anak-anak kelas 5, 6, dan alumni Salam.

Satu kata untuk menggambarkan pertunjukan kemarin. Seru dan Keren. Apalagi jika melihat lebih dalam, semuanya ikut terlibat. Tak hanya sekadar memberikan ucapan semangat semata, namun semuanya ambil bagian untuk urun rembug, urun tenaga, dan waktu.

Semua ikut berproses mempersiapkan Gelar Karya “Kami Tidak Seragam” ini. Anak-anak, orang tua, fasilitator. Semuanya. Lelah? Tentu saja. Persiapannya saja sudah sejak tiga bulan lalu. Namun semuanya terbayarkan dengan senyum anak-anak yang merasa bangga bisa tampil di depan panggung. Terbayarkan dengan pertanyaan anak-anak yang dengan penuh semangat bertanya “Kapan kita pentas lagi?”

Di Area Pameran Gelar Karya

”Wah seru sekali ya acaranya. Pamerannya bagus. Saya takjub dengan foto yang bisa memunculkan video.”

Begitu gumam Ririn Amrina, salah satu pengunjung pameran Gelar Karya ”Kami Tidak Seragam” di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu (22/7).

Ririn merupakan salah satu guru di SD IT Luqman Hakim Internasional Kotagede, Jogja. Dia sengaja datang untuk melihat langsung bagaimana proses anak-anak Sanggar Anak Alam (Salam) belajar. Dia juga penasaran, seperti apa sih sekolah Salam itu.

Foto: Aji Prasetyo.
Foto: Aji Prasetyo.

Perempuan berkerudung ini lantas memutari beberapa spot pameran. Dia mengamati satu per satu karya pop up kreasi anak-anak SD dan SMP Salam. Dia juga sempat melihat kertas bertuliskan AR Salam17 yang ditulis dengan crayon warna-warni.

”AR itu apa sih? Harus mengunduh dulu di Playstore ya,” ujarnya sembari mendatangi saya yang waktu itu kedapuk untuk menemui tamu dari media koran, online, dan televisi.

Karena waktu itu agak selo, sembari menunggu wartawan datang, saya jelaskan mengenai Augmented Reality (AR) yang disajikan dalam pameran. AR sendiri merupakan teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata. Kemudian memproyeksikan benda maya tersebut dalam waktu nyata.

Penjelasan mudahnya, terdapat aplikasi bagi pengguna Android yang dinamakan AR Salam17 yang bisa diunduh gratis. Kemudian, buka aplikasi tersebut dan arahkan gawai (gadget) ke foto-foto yang dijadikan marker. Nah, di foto tersebut lantas muncul sebuah video tentang riset anak-anak Kelas 5.  Ada 16 foto yang dijadikan marker, otomatis ada 16 video riset yang dibuat sendiri oleh anak-anak.

”Kenapa harus ada pakai AR?,” tanyanya.

”Yah, menurut saya, karena kami ingin menampilkan sesuatu yang berbeda dalam pameran ini. Apalagi era digital merupakan keniscayaan. Jadi kenapa tidak menampilkan AR,” jawab saya.

”Videonya mereka buat sendiri? Lalu AR-nya apakah dibuat juga oleh anak-anak?,” tanyanya lagi.

”Ya, video dibuat sendiri oleh anak-anak. Proses editingnya juga dilakukan oleh teman-teman kecil Kelas 5. Sedangkan foto yang dijadikan marker merupakan karya fotografi salah satu orang tua siswa. AR-nya juga dibuat oleh salah satu orang tua,” jawab saya.

Ririn pun bertanya lagi, apakah orang tua yang terlibat hanya saat pameran saja? Atau memang orang tua memiliki andil besar dalam proses belajar mengajar di Salam.

Saya pun lantas menjelaskan sedikit tentang peran orang tua di Salam. Memang keterlibatan orang tua bisa dibilang cukup besar. Salam merupakan sekolah berbasis komunitas. Keterlibatan orang tua, jika dipersentasekan, sekitar 80 persen. Kenapa? Karena pendidikan anak bukan saja tugas sekolah. Justru orang tua lah yang harusnya memiliki peran besar dalam pendidikan anak-anak mereka. Orang tua juga harus menyadari perannya dalam membentuk karakter anak.

Sebetulnya, saat memutuskan untuk menyekolahkan ke Salam, justru orang tua lah yang belajar, orang tua yang harus beradaptasi. Orang tua harus mau menyadari perannya. Di Salam, fasilitator (jika di luar sana disebut guru) aktif mengajak orang tua untuk berdiskusi tentang perkembangan anak-anak.

Sekitar 20 menit, saya dan Ririn mengobrol. Sebagai seorang guru, Ririn pun mengungkapkan, keresahannya dalam sistem pendidikan saat ini. Banyak orang tua yang pasrah dengan sekolah untuk mendidik putra-putrinya. Mindset orang tua yang hanya merasa memiliki kewajiban mengantar dan menjemput anak perlu diubah.

Foto: Aji Prasetyo.
Foto: Aji Prasetyo.

Kebetulan juga sekolah di tempatnya mengajar juga memiliki semangat untuk mengembalikan khitah anak-anak. Bahwa anak-anak memiliki naluri dan minatnya sendiri untuk mempelajari sesuatu. Ya, hampir sejalan dengan semangat Salam.

”Saya jadi makin penasaran dengan Salam. Apalagi saya, sebagai guru, masih kesulitan untuk mengajak orang tua siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar anak-anak. Kapan-kapan saya dolan ke Salam ya,” ujar Ririn menutup obrolan.

Ya, inilah kami. Warga SALAM. Sekolah berbasis keluarga, sekolah berbasis komunitas. Usai pertunjukan kemarin memberikan semangat kepada kami semua untuk dengan lantang meneriakkan “Kami Tidak Lelah”. Ayo lanjutkan dengan aksi-aksi lain di kemudian SALAM Semangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *