Anak-anak Salam (sanggar anak Alam) dan keluarganya adalah entitas manusia yang akrab dengan peristiwa Kebudayaan (sejak dalam proses maupun hasil cipta karya karsa manusia/komunitas di mana warga belajar hidup dan terlibat dalam kehidupan). Kedekatan itu tidak selalu secara alamiah terjadi tetapi diciptakan habitus Komunitas belajar dengan cara-cara yang manusiawi — yaitu pendayagunaan metode/cara-cara kebudayaan dalam arti luas meliputi segala sesuatu tentang karya, cipta, karsa. Termasuk segala macam pikiran, tindakan dan perbuatan dalam kerangka interaksi sosial keseraharian (everyday life). Kehidupan sehari hari inilah yang menjadi realitas faktual, menjadi pangkal dari proses reproduksi pengetahuan menurut Peter L. Berger.
Dapat disaksikan, betapa banyak dan beragam aktifitas Kebudayaan dalam langgam pikiran Kuntjoroningrat dan Ki Hajar Dewantara secara paripurna sedang dilakoni dan dipraktikan di dalam Komunitas belajar Sanggar Anak Alam (SALAM). Apa yang saya katakan ini adalah sebuah kesaksian sejarah dan bukan ujaran ujaran teoritis untuk menkonstruksi keadaan atau simulakra. Agar lebih dapat dipertanggungjawabkan, mengenai bagaimana penjelasan yang memadai soal kesaksian peristiwa Kebudayaan di tengah tengah manusia Salam? Berikut catatan kecil beberapa titik kisarnya, beberapa penggalangan kecil yang saya pikir berguna bagi saya untuk memperkokoh makna budaya dalam aktifitas belajar.
Pertama, dalam proses penerimaan “murid” baru berjalan sangat manusiawi dan jauh dari peristiwa administratif yang menggalaukan sekaligus bikin mumet. Sangat simple, orang tua dan anak sama sama berkemauan belajar di Salam itu syarat yang paling penting. Bukan hanya anaknya yang belajar di salam, tetapi semua bagian dari keluarga bahkan tetangga orang tua Salam mendapat kesempatan belajar di Salam. Inilah peristiwa Kebudayaan penting yang disinggung oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsep “manunggaling belajar” — di sekolah, di rumah/keluarga, dan di tengah Masyarakat.
Kedua, beragam “praktik” Kebudayaan di Salam seperti pasar ekpresi, gelar karya, festival pendidikan keluarga, merawat tanaman, dan banyak lagi yang tidak tersebutkan. Salam, sebagai media Kebudayaan, menjadikan semua tempat adalah laboratorium pembelajaran yang memadai jika berhasil disestematisasi maknanya. Anak anak salam sangkat akrab dengan model pendidikan membebaskan. Semoga masih ingat lagu ini:
belajar sama-sama…
bekerja sama-sama…
kerja sama-sama…
semua orang itu guru
alam Raya sekolahku…
sejahtera bangsaku…
Hal yang sangat kentara adalah “keguyuban” warga belajar Salam. Orang tua, for Salam, fasilitator, pengelola pendidikan, dan volunteer dalam mendorong karya karya besar bersama. Pada saat catatan ini dibuat telah berlangsung persiapan gelar karya cukup besar Salam dalam menyambut ulang tahun Salam ke 17 (sweetseventeen, nama group panitianya). Teater ‘Kolosal’ dan pameran karya Kali ini digelar di kompleks taman budaya Yogyakarta. Energi sangat besar dibutuhkan untuk persiapan ini. Kurang lebih Sebulan anak anak berjuang keras latihan dengan tetap ceria dan asik. Inilah peristiwa Kebudayaan yang menggetarkan.
Taman budaya, sebagai panggung kebudayaan, bukanlah tempat asing (dibuat dekat dengan anak Salam) sehingga pikiran terkembang untuk menyemai praktik kehidupan aktual: tidak melulu berorientasi ekonomi, materi, hedonisme, pekerjaan bergaji mahal, day tetapi anak Salam belajar mengapresiasi Hasanah Kebudayaan lewat gelar karya juga belajar berbagi peran di atas panggung lalu ditopang oleh praktik emansipatoris dalam kehidupan nyata sehari hari.
Peristiwa budaya yang sangat membelajarkan pernah digelar di rumah maiyah Kadipiro (Rumah Budayawan Emha Ainun Nadjib) dengan tema festival pendidikan keluarga. Di Sana kolaborasi beragam pelaku budaya dipertunjukkan seperti pasar karya, seperti rumah belajar bersama besar tapi autentik. It bagi saya, peristiwa budaya yang tercatat di keluarga. Syawalan Salam pun tahun ini menghadirkan Cak Nun dan memberikan “penerang jiwa” di tengah keluarga pembelajar Salam.
Saya ingin mengapresiasi model cara kerja dan berkarya Salam pada kegiatan ulang tahun Salam ini. Sangat membanggakan, dua Hari berturut-turut yaitu tanggal 21 dan 22 Juli 2017 anak anak pentas. Hari pertama penampilan karya pentas Kolosal ditonton oleh keluarga besar SALAM dan Hari kedua untuk umum (tiket sold out). Mengapa untuk keluarga begitu penting diutamakan? Jawaban saya adalah sangat keren jika semua tenaga dan karya cipta pertama tama dan utama adalah berguna untuk menguatkan warga belajarnya (baru jika bermanfaat untuk Komunitas di luar, itu hanyalah bonus Kebudayaan).
Sebagai penutup, ambisi membangun pendidikan berkarakter tak dapat dirangkai dan dijahit dari jargon setiap periode menteri pendidikan. Mewujudkan pendidikan yang membebaskan tidak bisa ditempuh tanpa mendekatkan anak anak didik kepada peristiwa budaya baik yang hidup di tengah Masyarakat maupun yang berupa karya karya yang dipanggungkan dan disitulah lahir praktik apresiasi yang menjadi energi produksi pengetahuan dan kebudayaan yang tak kenal padam.
Tesis saya cukup meyakinkan bahwa anak anak yang akrab dan gembira dalam interaksi dengan beragam peristiwa Kebudayaan adalah anak anak yang terlatih hidup di tengah beragam situasi ketidakadilan dan responnya akan lebih memadai sebagai bagian dari solusi ketimbang kebanggaan semu menjadi bagian persoalan. Ini adalah keyakinan yang masih melekat kuat, setidaknya, di alam pikiran saya sebagai bagian dari proses belajar di komunitas Salam.
Akhirnya, ingin saya ungkapkan: selamat ulang tahun SALAM semoga panjang umur pembelajaran Komunitas dan terus berkembang menginspirasi keadaan zaman.
Orang tua sekaligus murid SALAM. Penggiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Penggiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas.
Leave a Reply