Suatu kali,seorang guru Bimbingan Konseling (BK) senior mendapatkan tugas untuk melakukan penelitian kecil mengenai kebiasan-kebiasaan buruk pelajar di sekolah.Untuk mendapatkan data, si guru BK mewawancarai para siswa di sekolah tempat ia bertugas, browsing artikel di internet, dan mencatat pengalamannya ketika masih menjadiseorang pelajar. Ia juga turut menyertakan pengalaman yang ia peroleh dari praktik mengajar di berbagai daerah ketika masih duduk di perguruan tinggi sebagai sumber datanya. Data yang ia peroleh diwujudkan dalam daftar-daftar yang terpisah untuk membedakan sumber data satu dengan lainnya.
Dari daftar-daftar itu, nyatanya, si guru BK menemukan banyak kesamaan isi. Ia pun membuat daftar baru untuk merangkum data-data yang ia peroleh dari sumber-sumber yang berbeda itu. Isi daftar itu menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk pelajar di sekolah adalah seputar membolos; bermain gadget dan mengobrol di kelas ketika guru sedang menerangkan pelajaran; mencontek; berangkat kesiangan;dan mendambakan jam kosong, bel istirahat, dan bel pulang sekolah.
Hal yang menarik dari peristiwa ini si guru BK menemukan fakta bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk pelajar di sekolah tidak berubah dari masa ke masa—masa si guru BK bersekolah sampai masa ketika ia telah menjadi guru—dan tidak berbeda dari daerah satu dengan daerah lainnya. Ada yang tak berubah sekaligus seragam yang menjadi penyebab kebiasaan-kebiasaan buruk pelajar di sekolah tetap eksis di masa kini, di manapun tempatnya.
***
Sekolah tentu saja tidak mengajarkan siswanya untuk melakukan kebiasaan buruk. Sekolah justru membuat segala aturan untuk menangkal kebiasaan buruk itu, dari aturan yang terbilang normal sampai regulasi yang super ketat sehingga sekolah terasa seperti penjara. Namun, apakah terpikirkan bahwa, belajar di sekolah itu membosankan? Minimal 12 tahun, seorang pelajar diwajibkan duduk, mencatat dan mendengarkan guru berkhotbah di depan kelas. Betapa menjemukannya! Jadi tidak heran jika para pelajar kemudian melakukan aneka cara untuk mengalihkan diri dari kewajiban yang menyebalkan meskipun tidak sedikit yang rela mentaati kewajiban semacam itu sehingga tak terasa menjadi mesin penerima informasi.
Ada yang perlu disadari. Bunga tidak tumbuh di lantai keramik, air tidak turun dari plafon, burung tidak bersarang di dinding kelas, bau tidak hanya berasal dari parfum dan sepatu teman sebangku, dan segala hal yang menarik, unik, menggelitik dan sekaligus berharga tidak tersaji di dalam suatu tempat yang berisi meja-kursi dengan dikelilingi tembok-tembok. Sekolah terbaik adalah alam semesta dan guru terbaik adalah pengalaman berinteraksi dengan alam semesta beserta segala isinya.Kalau para pelajar dapat menikmati alam semesta itu, barangkali “kebiasaan buruk pelajar di sekolah” tidak akan lagi ada.Toh jika masih ada, statusnya bukan lagi kebiasaan, tetapi keluarbiasaan karena siapa yang tidak mau untuk menjadi biasa berinteraksi dengan alam semesta dan segala isinya yang beranekaragam itu? Jadi, relakah 12 tahun hanya dihabiskan untuk sekadar mengenyam dan menanamkan pantat pada bangku di ruang kelas? Alam semesta pasti tidak semenjemukan.
Relawan SALAM
Leave a Reply