Blog

Mengawal Suara Pemula

Menjadi fasilitator jenjang SMA di Sanggar Anak Alam (SALAM), membuat saya seringkali harus mengikuti banyak perkembangan agar tetap relevan ketika berdiskusi dengan remaja-remaja yang saya fasilitasi. Mulai dari menghafal singkatan semacam YTTA dan OVT, mendengarkan Neck Deep sampai Reality Club, hingga yang terbaru: mengikuti perkembangan berita politik. Maklum, sebagian siswa kelas 10-12 SMA adalah pemilih pemula di pemilu kali ini.

Berbeda dengan suami saya, mengikuti berita politik bukan merupakan hal mengasyikkan buat saya. Selain dinamikanya yang sangat cepat, tetap update terhadap berita politik rasanya kok sulit sekali saya dapatkan manfaatnya. Mungkin karena saya tidak bermain saham. Haha.. Bagaimanapun juga, saya merasa perlu untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan seputar pemilu mengingat teman-teman SMA SALAM banyak yang akan menggunakan hak pilihnya tahun ini.

Media yang saya gunakan untuk menambah pengetahuan, apalagi kalau bukan internet. Saya lantas banyak membaca portal berita, mendengarkan opini lewat beberapa kanal podcast Youtube, hingga yang paling praktis, mendengarkan rangkuman berita yang dikemas ringan lewat podcast juga. Semakin menggali, semakin saya menemui pertanyaan besar: Bagaimana menyampaikan data-data ini ke remaja tujuhbelastahunan tanpa membuat kelas menjadi membosankan? Tanpa menunjukkan keberpihakan (atau ketidak-berpihakan)?

Akhir Desember 2023 lalu, sempat ada sebuah permohonan dari sebuah kampus di Jogja untuk memberikan kelas ‘pendidikan politik’ untuk jenjang SMA di SALAM. Namun, hanya lima anak yang tertarik untuk mengikuti kelas tersebut. Sementara dari pihak kampus terkait mensyaratkan peserta mencapai jumlah minimal 20 anak. Alhasil, kelas tersebut batal.

Saya sempat berbincang bersama Elan, rekan fasilitator kelas 10, bahwa literasi politik, khususnya terkait pemilu, perlu diadakan. “Tapi kemasane pie, Mbak?” tanya Elan. Nah, itu pun entah. Hingga dua hari sebelum agenda kelas literasi berlangsung, saya masih belum menemukan alur fasilitasi yang ‘netral’.

Sampai pada suatu sore, suami saya mengirim sebuah tautan kuis yang ia dapat dari status WhatsApp Mas Muhidin M Dahlan, penulis sekaligus pengarsip idola saya. “Quis Capres-Cawapres 2024” begitu judul kuis tersebut. Kuis itu dibuat oleh Kawula17, sebuah Voting Advice Application (VAA) yang dirancang untuk membantu masyarakat untuk memahami preferensi politik mereka dengan lebih baik. (sumber: https://kawula17.id/)

Untuk memastikan tautan tersebut bonafit, saya mencoba mengisi beberapa kali dan output kuis memberikan hasil prosentase preferensi capres-cawapres yang berbeda-beda. Kuis ini akan menjadi pembuka alur fasilitasi yang cukup menarik.

Dua hari kemudian, saya membuka kelas literasi dengan mantap. Sesaat setelah saya membagikan tautan kuis tersebut di grup WhatsApp kelas, kami lantas mencoba memahami setiap pertanyaan dengan memetakan kata-kata sulit, istilah yang tidak familiar, lalu memilih jawaban yang sesuai dengan preferensi masing-masing.

Sekira ada 14 pertanyaan, masing-masing terkait program seputar kemiskinan, UMKM, Lingkungan Hidup, HAM, dan sebagainya. Ternyata bagi para remaja ini, banyak istilah yang belum mereka pahami seperti: apa yang dimaksud dengan ‘intervensi’, apa itu ‘dana abadi’, apa itu ‘EBT’, siapa saja yang dikategorikan UMKM, dan sebagainya. Tak jarang untuk memahami konteks pertanyaan, kami melakukan penelusuran digital tentang arti kata tertentu.

Di tahap akhir kuis, suasana kelas cukup riuh karena masing-masing siswa mendapat prosentase yang berbeda-beda terkait preferensi pilihan capres-cawapresnya. “Padahal aku mau pilih Prabowo, ternyata aku Anis 53%!” “Asemik, kok iso aku 46% Prabowo?” dan sebagainya.

Beberapa siswa bahkan penasaran dengan ‘jawaban yang benar’ jika ingin memilih paslon tertentu. Tentu saja ‘jawaban yang benar’ tidak disajikan di akhir kuis. Saya lantas mengusulkan teman-teman untuk mengulik lebih jauh di portal bijakmemilih.id. Ketika kami bersama-sama mengunjungi portal tersebut dari gadget masing-masing, kami mendapati tiga langkah yang disarankan portal untuk bijak memilih, yaitu dengan memahami isu, mengenali partai, hingga mempelajari kandidat. Kebanyakan siswa langsung menuju ke tab kandidat dan melakukan penelusuran secara terpisah.

“Wah, Buk, iki ono total harta kekayaan, total utang juga!” “Pak Ganjar utange piro?” “Wow, Pak Prabowo sugih tenan!” Masing-masing siswa kemudian menelusuri data-data yang tersaji. Saya mengajak siswa untuk menyempatkan membaca terkait pencapaian dan kontroversi masing-masing paslon.

Kelas literasi kali ini tidak berlangsung lama. Saya tidak ingin bertele-tele karena tidak semua siswa sudah memiliki hak pilih dan atau tertarik dengan isu seputar pemilu. Kelas ini lebih bertujuan untuk memantik keingintahuan siswa terkait isu-isu politik dan program kerja capres-cawapres, serta menyediakan kanal penelusuran yang tepat sesuai dengan gaya komunikasi mereka.

Bagi saya yang memiliki tanggung jawab fasilitasi di tengah suasana politik yang tidak dingin ini, kawula17.id dan bijakmemilih.id menjadi medium ringkas dan netral ketika ingin membawa diskusi politik bagi remaja.

Mendadak Nobar

Sekira dua minggu kemudian, tepatnya ketika hari tenang dimulai dan semua kampanye usai, muncul film dokumenter Dirty Vote yang viral hanya dalam beberapa jam sejak diunggah. Viralnya film ini menjadi diskusi hangat di awal kelas. Pertanyaan “Kamu udah nonton?” saling beredar antar saya, Elan, dan beberapa anak yang cukup tertarik dengan isu pilpres. Saya kemudian mengusulkan agenda mentoring diundur ke sesi dua dan menyempatkan nonton Dirty Vote di sesi satu.

Bagi fasilitator, viralitas sebuah isu menjadi jalan masuk yang cukup strategis untuk membuka ruang-ruang diskusi. Tendensi FoMO, Fear of Missing Out, menjadi kendaraan untuk menyisipkan edukasi yang aktual. Meski sudah menuntaskan film tersebut malam sebelumnya, dan cukup yakin bahwa kemasan eksplanatori di film tersebut akan cukup membosankan sebagai materi nonton bareng, tapi nonton barang setengah sepertinya cukup lah. Toh, jika memang isu ini menarik, siswa dapat melanjutkan menonton sendiri di rumah.

Begitulah. Lagi-lagi saya terbantu dengan media-media edukasi yang sangat beragam, yang dibangun, diciptakan, dan dikelola oleh orang-orang yang cerdas dan berani. Jika sudah begini, PR saya paling menjawab pertanyaan, “Yang biayain film Dandhi tu siapa ya, Bu?” Lalu lagi-lagi, saya harus menggali lebih dalam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *