Blog

KHAZANAH ETNOGRAFI PENDIDIKAN (4)

Lebih dari tiga abad kemudian, aturan pokok akhlaq (etika) perdagangan dan pelayaran dari jurnal klasik nya Ammana Gappa, dan asas hukum laut bebas dari pamfletnya Huig de Groot, menjadi salah satu landasan penyusunan hukum laut internasional zaman modern, yakni Perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Seas, UNCLOS) yang disahkan pada tahun 1982 dan berlaku efektif sejak 1994.

Itu hanya beberapa contoh untuk memperlihatkan betapa catatan-catatan harian—termasuk catatan-catatan lapangan dan catatan-catatan perjalanan—bisa menjadi salah satu unsur penting dan menentukan dalam membentuk sejarah, menghasilkan pengetahuan, membangun peradaban! Dalam pengertian itulah sebaiknya kita membaca catatan-catatan harian seperti yang terhimpun dalam buku ini. Setakat ini, catatan-catatan harian sebagai salah satu piranti utama riset pendidikan di Indonesia, memang belum berkembang pesat seperti di Eropa (terutama Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman) serta Amerika Serikat. Hasil-hasil riset, khususnya tentang proses belajar atau perilaku dan kebiasaan suatu kelompok pembelajar, masih lumayan langka diperoleh di negeri ini. Saya sendiri hanya pernah membaca beberapa saja, tidak lebih dari hitungan jari. Antara lain, misalnya, hasil pengamatan oleh beberapa mahasiswa perguruan tinggi di Solo dan Yogyakarta tentang ‘budaya sekolah’ di beberapa Sekolah Menegah Atas (SMA) di Surakarta dan Bantul. Juga hasil pengamatan tentang ‘perilaku dan kebiasaan para guru serta birokrat pendidikan’— sebagai satu ‘suku baru’ (new tribe) yang punya bahasa, tata krama, adat istiadat, juga gaya hidup tersendiri—di satu SMA dan Dinas Pendidikan Kota di Malang. Perhatikan, yang sedikit itu saja semuanya berpusat pada lembaga dan dunia persekolahan.

Dengan kata lain, bahkan kajian-kajian etnografis oleh beberapa pakar disebut sebagai bagian dari aliran pemikiran kritis dan holistik, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai metode riset yang ‘keluar dari pakem’ (out of the box)— ternyata juga belum sepenuhnya bebas dari kungkungan pengertian konvensional tentang pendidikan yang diartikan sebatas dunia persekolahan formal. Ini memang gejala umum yang tidak hanya terjadi di sini. Bahkan di negara yang sudah sedemikian laju perkembangan riset etnografi pendidikannya, seperti Amerika Serikat, pun sebagian besar atau hampir semuanya masih tetap sama saja, masih lebih banyak terpusat pada dunia persekolahan. Tak kurang dari seorang mahaguru antropologi dan pendidikan di Fakultas Keguruan (Teachers College) Universitas Columbia, Profesor Hérve Varenne, dalam salah satu edisi tahun 2007 dari jurnal Teacher’s College Record menulis bahwa, “Saling pertentangan terbesar dalam karya-karya tentang pendidikan oleh para ilmuwan sosial adalah karena sebagian besarnya hanya bicara tentang sekolah …,” (The great paradox of work on education by social scientists is that it is mostly about schools …). Karena itu, lanjut dia: “Karya-karya tentang pendidikan, secara saling bertentangan, justru jarang sekali bicara tentang pendidikan,” (Work on education is, paradoxically, rarely about education).”

Walhasil, catatan-catatan harian dalam buku ini bertambah penting, karena justru menuturkan ‘peristiwa pendidikan’ (termasuk proses dan cara belajar) satu kelompok pembelajar yang khas di luar kerangka sekolah-sekolah formal. Selain memperkaya (menambah jumlah) bahan-bahan etnografi pendidikan yang memang masih sangat sedikit di negeri ini, catatan harian itu sekaligus juga memperluas cakrawala pandang dan cakupannya ke suatu dunia pendidikan yang benar-benar berbeda dan serba membaharu. Kalau saja para ‘warga pembejalar’ (civitas academia)—para siswa, para orang tua mereka, juga para fasilitator—SALAM tekun menulis catatan-catatan harian serupa ini maka kita nantinya akan memiliki satu kumpulan bahan etnografi pendidikan yang benar-benar khas, terutama berguna bagi pengembangan gagasan, terobosan pendidikan yang lebih berdaya cipta, lebih memberi harapan, dan lebih manusiawi di luar lembaga persekolahan mapan. Maka, muncul satu gagasan (sekaligus tantangan) baru: bagaimana agar ketekunan dan kemampuan menulis catatan harian sesederhana apa pun— menjadi suatu kebiasaan sebati di kalangan semua warga pembelajar SALAM?

Pada salah satu catatan harian dalam buku ini, yakni tentang ‘puasa gawai’ saat para remaja SALAM libur dan menginap beberapa hari di satu desa di Klaten, Jawa Tengah (Bab II, risalah ‘Ruang Bicara, Ruang Dengar,’ h.103), ternyata mereka sangat senang dan tidak menggerutu panik karena tidak boleh ‘main gawai’ sepanjang siang hari, hanya boleh pada malam hari jelang tidur. Itu membuat mereka benar-benar menikmati ‘kemewahan sederhana’ anak-anak kampung tempatan yang jauh lebih bebas merdeka, tetapi tetap guyub satu sama lain. Prakarsa itu bagus dan patut dihargai, karena memberi x x kesempatan pada para remaja itu untuk menikmati kembali keremajaan mereka yang asali. Tapi, mungkin sebenarnya tak perlu sampai ‘puasa gawai.’ Mungkin lebih baik ajak mereka bersepakat membiasakan diri disiplin memanfaatkan perangkat teknologi modern itu untuk menulis catatan-catatan harian singkat. Satu catatan hanya berisi satu tema sehingga tak perlu panjangpanjang, singkat-singkat saja, seperti menulis cuitan (twit) di aplikasi Twitter. Jelas itu jauh lebih bermakna dibanding menulis cuitan yang—mungkin karena memang dibatasi tak boleh lebih dari 280 huruf—penuh dengan kata-kata dan kalimat ‘aneh’ yang makin mengacaukan ‘Bahasa Indonesia yang baik dan benar.’ Menulis catatan harian dari pengalaman nyata tentu lebih bermakna dibanding kebiasaan (atau kesenangan?) memencet tombol ‘LIKE’ di aplikasi Facebook atau YouTube, apalagi hanya sekadar suka ‘nimbrung’ menulis komentar asal-asalan, lengkap dengan gambar ungkap rasa (emoticons) lucu-lucuan. Menulis memang merupakan salah satu keterampilan dasar literasi di SALAM. Anak-anak dan remaja di sana sudah terbiasa dan mempraktikkannya sejak tingkat usia Sekolah Dasar (SD). Sehingga, mereka yang sekarang sudah berada di tingkat usia SMA praktis tak mengalami kesulitan berarti ketika diminta menulis laporan (reportase) meliput rangkaian kegiatan ‘Bulan Presentasi SALAM’, 2 – 24 Mei 2019. Laporan-laporan mereka (Bab III, ‘Merayakan Keberagaman Pengetahuan’, h.144), pada dasarnya, sudah memenuhi tolok ukur dasar tulisan pewartaan (jurnalistik), lengkap dan jelas 5W+1H-nya. Pilihan kata-kata, susunan kalimat, dan alur tulisantulisan itu umumnya juga memenuhi kaidah baku tata bahasa, gamblang, tidak berliku-liku, terjaga alirannya. Sehingga, cukup alasan untuk percaya bahwa mereka pun akan mampu menulis catatan harian yang lebih rinci dan padat. Bagaimana? Coba saja! []

 

RUMAH PAKEM, Hari Pendidikan Nasional 2022.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *