‘Kurikulum Merdeka’? Sudah, lupakan saja semboyan yang kian gencar dan latah dikumandangkan oleh para pegawai pemerintah bidang pendidikan tersebut. Itu cuma istilah yang bikin gaduh. Dalam kenyataannya, kurikulum itu disiapkan oleh satu tim khusus para ‘pakar’, bukan oleh anak-anak sekolah yang justru akan menjalani praktik pemberlakuannya nanti. Kata para pakar itu, ruang lebih terbuka disediakan bagi anak-anak sekolah untuk memilih mata pelajaran dan bidang kajian yang mereka minati. Selain itu, berbagai aturan dibuat lebih pegas (flexible) yang akan membuat para pelajar, misalnya, bisa mengubah pilihan awal mereka atau bahkan pindah sekolah secara lebih mudah.
Tapi, apa saja kandungan mata pelajaran atau bidang kajian pilihan mereka, mengapa isi mata pelajaran dan bidang kajian tersebut seperti itu, bagaimana cara mempelajarinya, dan untuk mencapai atau menghasilkan apa …? Bukan anak-anak sekolah itu yang menentukan! Para pakarlah yang menetapkan batasan pengertian, pokok bahasan, cakupan dan urutan, metode dan media, serta seperangkat aturan baku pemberlakuan kurikulum tersebut.
Lantas, kecuali pada istilah yang digunakan dan pelonggaran berbagai aturan pelaksanaan yang ruwet dan kaku, apa beda hakikinya dengan yang diberlakukan selama ini? Ah, itu cuma ‘anggur lama dalam botol baru’ (old wine in new bottle), kata orang Inggris. Tetap saja, anak-anak sekolah akan jadi objek dari rekayasa para pemegang kuasa kebijakan (aparat birokrasi) dan pemegang kuasa keilmuan (para pakar) pendukungnya. Anak-anak sekolah, lagi-lagi, hanya akan jadi korban dari apa yang orang Yunani Kuno dulu bilang sebagai ‘sesat pikir berdasar pendapat pakar’ (argumentum ad verecundiam)!
Bisa dipastikan, anak-anak dan remaja SALAM, juga para orang tua dan fasilitator mereka, akan menolak tegas kalau kurikulum rekayasa orang lain itu akan diberlakukan kepada mereka. Buat apa? Selama ini, mereka sudah terbukti mampu menyusun kurikulum sendiri yang jauh lebih penad (relevant) bagi minat dan kebutuhan khas mereka dan, tak kalah penting, jauh lebih menyenangkan!
Tanpa harus kehilangan kesempatan menikmati masa ceria sebagai kanak-kanak dan remaja yang sedang tumbuh kembang, para pembelajar muda SALAM mampu melakoni proses belajar melalui penelitian (riset) yang, meskipun masih sangat dasar dan sederhana, tetapi sudah melalui tahapan baku proses penemuan dan produksi pengetahuan yang sesungguhnya. Mereka terbukti mampu memadukan dua kegiatan yang sering dipertentangkan: keceriaan bermain dan kesungguhan meneliti. Dalam keseluruhan proses itu, semua fasilitator SALAM benar-benar menjalankan peran lebih sebagai ‘rekan belajar’ (bukan pengajar) bagi anak-anak dan para remaja yang mereka dampingi. Sehingga, para fasilitator x itu juga belajar banyak dari proses dan hasil belajar anakanak dan remaja tersebut. Kedudukan mereka setara, semuanya (sebagai subjek) yang terlibat penuh, melalui cara dan media yang disepakati bersama (sebagai proses) untuk mengaji dan meneliti suatu realitas tertentu (sebagai objek) yang menghasilkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan tindakan-tindakan baru. Di SALAM, berlaku penuh kaidah ‘tak ada guru, tak ada murid; semua guru adalah juga murid, semua murid adalah juga guru.’ Dengan kata lain, catatan-catatan harian yang terhimpun dalam buku ini sekaligus menyajikan pada kita satu unsur yang jarang dibahas, bahkan sering berusaha dihindari, terutama oleh para penganut mazhab pendidikan arus utama (mainstream), yakni tentang ‘hubungan kuasa’ (power relation) dalam proses pendidikan, dalam pemilikan dan produksi pengetahuan, dan dalam pewarisan nilai-nilai. [] ….bersambung
Pendiri INSIST, Penulis Buku “Sekolah Itu Candu”, Penerjemah Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” Paulo Freire
Leave a Reply