Sejarah manusia telah ditandai oleh jejak-jejak ketidaksetaraan yang merentang di seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik menjadi medan subur bagi lahirnya diskriminasi, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi. Dalam konteks ini, wacana mengenai hak suara untuk caci maki muncul sebagai suara kaum terluka, yang pada hakikatnya adalah bentuk manifestasi dari kesenjangan yang menghantui masyarakat kita.
Caci maki, meskipun sering dianggap sebagai bentuk komunikasi yang kasar dan tidak terpuji, sebenarnya memiliki peran yang lebih dalam dan kompleks dalam ruang publik. Seperti halnya batuk, bersin, kentut, muntah, atau bahkan pecahnya bisul bernanah, caci maki juga bisa dilihat sebagai reaksi alami terhadap “infeksi” sosial yang lebih besar, yaitu ketidaksetaraan. Dalam hal ini, ketidaksetaraan bisa merujuk pada ketidaksetaraan dalam hak-hak, peluang, dan akses yang ada di masyarakat.
Sejarah manusia yang sarat dengan ketimpangan telah memberikan pijakan bagi kelompok yang diuntungkan oleh situasi tersebut untuk memegang kendali atas sumber daya dan keputusan. Mereka yang memiliki keistimewaan, entah berdasarkan garis keturunan, usia, jender, harta, jabatan, atau status sebagai kelompok mayoritas, cenderung memiliki akses lebih besar terhadap hak-hak dan peluang yang mungkin tidak diberikan kepada kelompok lain. Dalam konteks ini, caci maki menjadi suara yang menyuarakan ketidakpuasan kaum terpinggirkan terhadap ketidakadilan ini.
Ketidaksetaraan tidak hanya tampak dalam skala besar, tetapi juga meresap dalam hubungan sehari-hari. Hubungan antara orangtua dan anak, majikan dan pegawai, atasan dan bawahan, serta guru dan siswa sering kali dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan yang mencuat dari ketimpangan. Lebih mudah bagi pihak yang berada dalam posisi superior untuk merendahkan pihak yang lebih lemah, dan ini mencerminkan dominasi struktural yang telah tumbuh subur sepanjang sejarah.
Contohnya, dalam konteks global, sulit bagi bangsa berkulit putih untuk menghindari perasaan superioritas ketika berinteraksi dengan negara-negara bekas jajahan di Asia atau Afrika. Ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang terus berlanjut di antara negara-negara tersebut menciptakan ketegangan dan paradoks dalam hubungan internasional, dengan jejak kolonialisme yang masih terasa nyata.
Di sisi lain, ketidaksetaraan juga tercermin dalam kelas sosial dan ekonomi. Mereka yang memiliki kekayaan lebih cenderung meremehkan mereka yang kurang beruntung secara finansial. Caci maki, dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai ekspresi amarah dan frustrasi dari pihak yang terpinggirkan akibat perlakuan meremehkan ini.
Caci maki dapat dipahami sebagai jeritan dari kaum terluka, yang mencerminkan suara perlawanan terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada di tengah masyarakat kita. Meskipun terkadang terbungkus dalam kasar dan tidak bermartabat, suara ini memiliki akar yang dalam dalam kompleksitas sejarah manusia yang penuh dengan ketimpangan. Untuk mengatasi caci maki dan dampak buruknya, masyarakat harus berkomitmen untuk mengurangi ketidaksetaraan, mempromosikan inklusivitas, dan membangun lingkungan yang adil bagi semua anggotanya.[]
pembelajar, pejalan sunyi
Leave a Reply